Info

Cara Atasi Error ETAX-40003 dan ETAXSERVICE-20017 pada e-Faktur 3.2

 

JAKARTA, KWA News - Terkadang, Pengusaha Kena Pajak (PKP) menghadapi masalah error dalam mengakses aplikasi e-faktur versi 3.2. Salah satu jenis error yang mungkin muncul dalam aplikasi tersebut ialah ETAX-40003 dan ETAXSERVICE-20017.

Jenis error ini mengakibatkan PKP tidak dapat meng-upload faktur pajak melalui aplikasi tersebut. Kemunculan error tersebut sebenarnya dapat disebabkan oleh tiga hal. Pertama, aplikasi e-faktur versi lama sudah dilakukan reset oleh PKP.

Kedua, PKP telah melakukan registrasi di aplikasi e-faktur versi 3.2 sedangkan database yang digunakan telah dilakukan reset. Ketiga, PKP melakukan login di aplikasi e-faktur versi lama dan menjalankan start up-loader.

Nah, KWA News kali ini akan menjelaskan bagaimana cara mengatasi error ETAX-40003. Dalam praktiknya, terdapat tujuh tahapan yang dapat digunakan dalam mengatasi masalah ini. Maka dengan hal tersebut, KWA News akan mengupas tujuh tahapan tersebut.

Pertama, export data faktur keluaran, faktur masukan, barang jasa, lawan transaksi, retur faktur keluaran, dan retur faktur masukan. Metode ini dapat dilakukan dengan memilih menu Faktur pada aplikasi e-faktur versi 3.2.

Lalu, pilih Pajak Keluaran dan klik Export. Lalu, klik Save File dan tentukan tempat penyimpanan data. Lakukan juga export data pada faktur masukan, barang jasa, lawan transaksi, retur faktur keluaran, dan retur faktur masukan.

Kedua, reset aplikasi client di e-nofa. Reset dapat dilakukan dengan mengunjungi laman efaktur.pajak.go.id/login dan lakukan login. Pilih Reset Aplikasi Client dan tekan tombol Reset Aplikasi. Lengkapi kode aktivasi aplikasi dan password. Lalu, proses reset hingga selesai.

Ketiga, unduh e-faktur desktop. Anda dapat mengunduh e-faktur melalui tautan efaktur.pajak.go.id/aplikasi. Silahkan pilih patch aplikasi e-faktur versi 3.2. Setelah berhasil diunduh, silahkan lakukan extract file.

Keempat, melakukan registrasi e-faktur yang baru. Caranya, buka aplikasi e-faktur yang sudah diunduh. Anda akan diminta untuk melakukan registrasi pada aplikasi e-faktur. Jangan lupa masukkan kode aktivasi yang baru saat registrasi. Kode aktivasi yang baru dapat dilihat di menu Profile User dalam tautan efaktur.pajak.go.id.

Kelima, impor sertifikat elektronik e-faktur. Tahapan ini dapat dilakukan dengan memilih menu Referensi dan klik Administrasi Sertifikat. Selanjutnya, masukkan sertifikat Anda dan lengkapi passphrase. Lalu, klik OK dan Simpan.

Keenam, rekam nomor seri faktur pajak. Kembali ke tautan efaktur.pajak.go.id dan pilih Riwayat Permintaan NSFP. Periksa nomor seri faktur pajak. Jika sudah, silahkan kembali ke aplikasi e-faktur. Pilih menu Referensi Nomor Faktur dan tekan tombol Rekam Range Nomor Faktur. Masukkan range nomor faktur berbagai tahun pajak sesuai dengan riwayat data permohonan NSFP. Setiap kali melengkapi nomor faktur pajak, Anda dapat menekan tombol Rekam Nomor Faktur dan klik OK.

Ketujuh, melakukan impor faktur keluaran, faktur masukan, barang jasa, lawan transaksi, dan retur. Impor data dapat dilakukan dengan cara, klik Import. Kemudian, tekan Open File. Lalu pilih data yang sudah diekspor.

Kemudian, silahkan proses impor data pada bagian faktur masukan, barang jasa, lawan transaksi, dan retur. Jika sudah, Anda dapat mulai melakukan upload faktur pajak.

Selesai, Semoga bermanfaat.

Masih Banyak WP Bingung, PER-11/PJ/2022 Tetap Berlaku Bulan Depan

JAKARTA, KWA News – Menjelang berlakunya Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-11/PJ/2022, masih banyak wajib pajak yang belum memahami ketentuan pengisian faktur pajak pada peraturan tersebut.

Hal ini tampak dari banyaknya pertanyaan yang diajukan oleh para wajib pajak kepada Ditjen Pajak (DJP) melalui Twitter resmi @kring pajak.

Terlepas dari hal tersebut, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas DJP Neilmaldrin Noor mengatakan PER-11/PJ/2022 tetap akan berlaku mulai 1 September 2022.

"Sampai saat ini PER-11/PJ/2022 akan berlaku sesuai dengan yang telah disebutkan dalam ketentuan tersebut yaitu tanggal 1 September 2022," ujar Neilmaldrin, Rabu (24/8/2022).

Mayoritas pertanyaan wajib pajak adalah terkait dengan ketentuan pencantuman nama, NPWP, dan alamat PKP pembeli sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (6) PER-11/PJ/2022.

Melalui ayat tersebut, DJP mengatur secara khusus tentang pencantuman nama, NPWP, dan alamat PKP pembeli bila penyerahan dilakukan kepada PKP pembeli yang melakukan pemusatan PPN, tapi BKP/JKP diserahkan di kawasan tertentu yang mendapatkan fasilitas PPN tidak dipungut serta penyerahan BKP/JKP dimaksud merupakan penyerahan yang mendapat fasilitas tidak dipungut PPN.

Kawasan tertentu yang dimaksud adalah tempat penimbunan berikat, kawasan ekonomi khusus (KEK), atau kawasan tertentu lainnya di dalam daerah pabean yang mendapatkan fasilitas PPN tidak dipungut.

Bila kriteria Pasal 6 ayat (6) tersebut terpenuhi, nama dan NPWP PKP pembeli yang dicantumkan dalam faktur pajak adalah nama dan NPWP pusat, sedangkan alamat yang dicantumkan ialah alamat cabang yang terletak di kawasan tertentu tersebut.

Perlu diingat pula, ketentuan pencantuman nama, NPWP, dan alamat pada Pasal 6 ayat (6) tersebut hanya berlaku bila PKP pembeli ialah PKP yang terdaftar di KPP pada Kanwil DJP Wajib Pajak Besar, KPP pada Kanwil DJP Jakarta Khusus, dan KPP Madya (KPP BKM) dan melakukan pemusatan PPN sesuai dengan PER-07/PJ/2020 s.t.d.d PER-05/PJ/2021.

Status NPWP Aktif Tapi Tidak Berpenghasilan, Tetap Harus Bayar Pajak?

JAKARTA, KWA News – Masih banyak masyarakat yang beranggapan bahwa dengan memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), seseorang sudah memiliki kewajiban membayar pajak kepada negara. Padahal, kenyataannya tidak demikian.

Sesuai dengan UU KUP s.t.t.d. UU 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), NPWP merupakan sarana administrasi perpajakan sekaligus sebagai tanda pengenal bagi wajib pajak dalam menjalankan hak dan kewajiban perpajakannya. Wajib pajak yang sudah memunuhi syarat objektif dan subjektif sesuai dengan peraturan, wajib memiliki NPWP.

"Sepanjang NPWP aktif, wajib pajak punya kewajiban melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan. Pembayaran pajak [hanya] dilakukan apabila status SPT 'Kurang Bayar"," cuit @kring_pajak saat merespons netizen, dikutip Jumat (26/8/2022).

Meski sudah memiliki NPWP, tidak semua wajib pajak wajib membayar pajak. Wajib pajak yang belum atau sudah memiliki NPWP tetapi penghasilannya di bawah batas penghasilan tidak kena pajak (PTKP), terhadapnya tidak wajib membayar pajak. Ketentuan ini diatur dalam UU PPh s.t.t.d. UU HPP.

"Apabila belum memiliki penghasilan maka status SPT seharusnya 'Nihil' dan tidak ada pajak yang harus dibayarkan," sambung DJP.

Artinya, seseorang yang sudah memenuhi syarat subjektif dan objektif sebagai wajib pajak maka wajib memiliki NPWP. Terhadapnya, wajib juga melaporkan SPT Tahunan. Namun, tetap ada ketentuan PTKP yang menjadi dasar seseorang perlu membayar pajaknya atau tidak.

Besaran PTKP diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 101/2016. Nilainya, Rp54 juta bagi wajib pajak orang pribadi (satu tahun pajak); Rp4,5 juta tambahan untuk wajib pajak yang kawin; Rp54 juta tambahan untuk seorang istri yang penghasilannya digabung dengan suami; dan Rp4,5 juta tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan serta anak angkat, yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 orang untuk setiap keluarga.

Penjelasan DJP di atas merespons pertanyaan netizen tentang ketentuan kewajiban perpajakan yang perlu dijalaninya. Seorang wajib pajak tersebut mengaku sudah mendaftarkan NPRP secara online. Kemudian, saat dicek di laman DJP Online ditemukan NPWP-nya berstatus aktif.

"Ini artinya apakah saya harus bayar pajak ya? Sedangkan saya belum bekerja dan tidak berpenghasilan," tanya wajib pajak tersebut.

PKP Pedagang Eceran Buat Faktur Pajak? Minimal Ada Keterangan Ini

JAKARTA, KWANews – Pengusaha kena pajak (PKP) pedagang eceran dapat membuat faktur pajak tanpa mencantumkan keterangan mengenai identitas pembeli serta nama dan tanda tangan penjual.

Adapun PKP pedagang eceran adalah PKP yang seluruh atau sebagian kegiatan usahanya melakukan penyerahan barang kena pajak (BKP) dan/atau jasa kena pajak (JKP) kepada pembeli dan/atau penerima dengan karakteristik konsumen akhir.

“Termasuk yang dilakukan melalui perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE),” bunyi penggalan Pasal 25 ayat (2) PER-03/PJ/2022.

PKP pedagang eceran tidak ditentukan berdasarkan klasifikasi lapangan usaha, tetapi berdasarkan transaksi penyerahan BKP dan/atau JKP kepada pembeli BKP dan/atau penerima JKP dengan karakteristik konsumen akhir.

Kendati pembuatan dapat dilakukan tanpa mencantumkan keterangan mengenai identitas pembeli/penerima serta nama dan tanda tangan pihak yang berhak menandatanganinya, faktur pajak harus tetap mencantumkan sejumlah keterangan minimal.

Pertamanama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) yang melakukan penyerahan BKP dan/atau JKP. Keterangan ini wajib diisi sesuai dengan nama, alamat, dan NPWP yang tercantum dalam surat pengukuhan PKP yang menyerahkan BKP atau JKP.

Keduajenis barang atau jasa, jumlah harga jual atau penggantian, dan potongan harga. Jenis barang atau jasa wajib diisi dengan keterangan yang sebenarnya atau sesungguhnya mengenai BKP dan/atau JKP yang diserahkan.

KetigaPPN atau PPN dan PPnBM yang dipungut. PPN atau PPN dan PPnBM yang dipungut dapat termasuk dalam harga jual atau penggantian; atau dicantumkan secara terpisah dari harga jual atau penggantian.

Keempatkode, nomor seri, dan tanggal pembuatan faktur pajak. Adapun kode dan nomor seri faktur pajak dapat ditentukan sendiri sesuai dengan kelaziman usaha PKP pedagang eceran. Faktur pajak dibuat paling sedikit untuk pembeli BKP dan/atau penerima JKP serta arsip PKP pedagang eceran.

Arsip PKP pedagang eceran dapat berupa rekaman faktur pajak dalam bentuk media elektronik sebagai sarana penyimpanan data. PPN yang tercantum dalam faktur pajak merupakan pajak masukan yang tidak dapat dikreditkan. 

Selama Punya NPWP, Agen Asuransi Dianggap sebagai Pengusaha Kena Pajak

JAKARTA, KWA News - Ditjen Pajak (DJP) telah menetapkan agen asuransi yang memiliki nomor pokok wajib pajak (NPWP) dianggap telah dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak (PKP). Sementara bagi agen asuransi yang belum ber-NPWP, wajib mendaftarkan diri ke kantor pelayanan pajak (KPP).

Kebijakan tersebut diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 67/PMK.03/2022 tentang Pajak Pertambahan Nilai atas Penyerahan Jasa Agen Asuransi, Jasa Pialang Asuransi, dan Jasa Pialang Reasuransi.

"Agen asuransi yang telah memiliki NPWP dianggap telah dikukuhkan sebagai PKP. Agen asuransi yang belum memiliki NPWP wajib mendaftarkan diri ke KPP yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan dan/atau tempat kegiatan usaha dilakukan untuk diberikan NPWP," bunyi Pasal 4 ayat (3) dan ayat (4) PMK 67/2022, dikutip pada Kamis (14/4/2022).

Lebih lanjut, PMK 67/2022 juga mengatur tarif pajak pertambahan nilai (PPN) atas jasa agen asuransi sebesar 1,1% atas komisi atau imbalan dengan nama dan dalam bentuk apapun yang dibayarkan kepada agen asuransi. Besaran tarif ini sejalan dengan tarif umum baru PPN sebesar 11% sebagaimana dituangkan dalam UU 7/2022 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).

"10% [sepuluh persen] dari tarif PPN sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) UU PPN dikalikan dengan komisi atau imbalan dengan nama dan dalam bentuk apapun yang dibayarkan kepada agen asuransi," tulis Pasal 3 ayat (2a).

Adapun nilai pembayaran PPN ditetapkan sebelum dipotong pajak penghasilan atau pungutan lainnya, termasuk dalam komisi yang dibayarkan berdasarkan penerimaan komisi atau imbalan agen asuransi di bawah manajemennya. Kemudian, agen asuransi juga diwajibkan membuat faktur pajak untuk melaporkan kewajiban PPN tersebut.

Di sisi lain, DJP juga mengatur jasa agen asuransi wajib menyerahkan barang kena pajak (BKP) dan/atau jasa kena pajak (JKP) lainnya. Lalu, wajib melaporkan kegiatan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP sepanjang jumlah peredaran usahanya melebihi batasan pengusaha kecil.

"Dalam hal agen asuransi selain menyerahkan jasa agen asuransi juga menyerahkan BKP dan/atau JKP lainnya, agen asuransi wajib melaporkan kegiatan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP sepanjang jumlah peredaran usahanya melebihi batasan pengusaha kecil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan ," tulis Pasal 4 ayat (5).

Upload e-Faktur Lewat Tanggal 15 Di-Reject! Batas SPT Masa PPN Mundur

JAKARTA, KWA News - Terbitnya Peraturan Dirjen Pajak (Perdirjen) PER-03/PJ/2022 menjadi topik yang paling banyak dibicarakan netizen selama 1 pekan terakhir.

Beleid ini menjadi pedoman pelaksana atas Peraturan Menteri Keuangan (PMK 18/2021). Perdirjen teranyar ini sekaligus memberikan kepastian hukum dan kemudahan bagi pengusaha kena pajak (PKP) dalam membuat dan mengadministrasikan faktur pajak.

Salah satu poin paling menarik perhatian dalam Perdirjen ini adalah ketentuan baru mengenai batas akhir pengunggahan (uploade-faktur. Disebutkan dalam beleid ini, e-faktur wajib diunggah (di-upload) ke Ditjen Pajak (DJP) menggunakan aplikasi e-faktur dan memperoleh persetujuan DJP paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya setelah tanggal pembuatan e-faktur.

Perlu dicatat, ada 2 hal yang membuat sebuah e-faktur mendapat persetujuan DJP. 

Pertama, nomor seri faktur pajak (NSFP) yang digunakan untuk penomoran e-faktur merupakan NSFP yang diberikan oleh DJP. 

Kedua, e-faktur diunggah (di-upload) dalam jangka waktu paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya setelah tanggal pembuatan e-faktur.

Dalam Pasal 18 ayat (3) PER-03/PJ/2022 disebutkan e-faktur yang tidak memperoleh persetujuan dari DJP bukan merupakan faktur pajak.

DJP lantas memberikan contoh kasus mengenai batas waktu pengunggahan (peng-upload-an) dan persetujuan e-faktur melalui Perdirjen ini:

"PT H yang merupakan PKP melakukan penyerahan BKP pada tanggal 18 April 2022. PT H membuat e-faktur pada tanggal 18 April 2022 menggunakan aplikasi e-faktur dengan mengisi kolom tanggal faktur pajak 18 April 2022. Namun, e-faktur tersebut baru diunggah (di-upload) ke DJP dengan menggunakan aplikasi e-faktur pada 16 Mei 2022.

Berdasarkan ketentuan dalam Perdirjen, DJP tidak memberikan persetujuan (reject) atas e-faktur yang diunggah tersebut karena diunggah setelah tanggal 15 Mei 2022. E-faktur yang tidak memperoleh persetujuan DJP bukan merupakan faktur pajak."

Perdirjen ini juga memuat ketentuan-ketentuan lain yang perlu dipahami oleh pengusaha kena pajak.

Sesuai dengan Pasal 2, PKP yang menyerahkan BKP dan/atau JKP wajib memungut pajak pertambahan nilai (PPN) terutang dan membuat faktur pajak sebagai bukti pungutan PPN.

Di dalam faktur pajak harus dicantumkan keterangan tentang penyerahan BKP dan/atau JKP.

Faktur pajak yang dibuat oleh PKP atas penyerahan BKP dan/atau JKP wajib berbentuk elektronik. Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 2 ayat (3), PKP dapat melakukan pembetulan atau penggantian dan pembatalan faktur pajak.

PKP yang melakukan penyerahan BKP dan/atau JKP kepada pembeli BKP dan/atau penerima JKP dengan karakteristik konsumen akhir dapat membuat faktur pajak tanpa mencantumkan keterangan mengenai identitas pembeli serta nama dan tanda tangan penjual.

Selain 2 topik di atas, pembahasan mengenai terbitnya 14 peraturan menteri keuangan (PMK) sebagai aturan turunan UU HPP klaster PPN juga ramai dibicarakan warganet. Berikut adalah rangkuman 5 berita terpopuler DDTCNews lainnya yang sayang untuk dilewatkan:

1. Penjelasan Resmi Ditjen Pajak Soal 14 Aturan Baru Turunan UU HPP
Pemerintah resmi menerbitkan 14 aturan turunan berupa PMK untuk mengimplementasikan sejumlah ketentuan dalam UU 7/2021 tentang HPP.

Melalui ke-14 PMK ini, otoritas ingin merumuskan kebijakan yang seimbang untuk mendukung pemulihan ekonomi nasional.

“Kami berharap agar wajib pajak dapat melaksanakan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan pada UU HPP serta aturan turunannya,” ujar Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas DJP Neilmaldrin Noor.

Apa saja ke-14 PMK yang baru saja terbit ini? Simak daftar lengkapnya melalui tautan di atas.

2. Sri Mulyani Revisi Aturan PPN Kegiatan Membangun Sendiri, Cek di Sini
Menteri Keuangan Sri Mulyani menyesuaikan aturan PPN atas kegiatan membangun sendiri (KMS) menyusul diterbitkannya PMK 61/2022. Beleid yang berlaku mulai 1 April 2022 itu mencabut dan menggantikan PMK 163/2012.

Merujuk pada PMK 61/2022, KMS adalah kegiatan membangun bangunan, baik bangunan baru maupun perluasan bangunan lama, yang dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaan oleh orang pribadi atau badan yang hasilnya digunakan sendiri atau digunakan pihak lain.

Bangunan yang dimaksud berupa 1 atau lebih konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada satu kesatuan tanah dan/atau perairan dengan memenuhi 3 kriteria. Pertama, konstruksi utamanya terdiri dari kayu, beton, pasangan batu bata atau bahan sejenis, dan/ atau baja.

Kedua, diperuntukkan bagi tempat tinggal atau tempat kegiatan usaha. Ketiga, luas bangunan yang dibangun paling sedikit 200 m2.

KMS dapat dilakukan dalam jangka waktu tertentu atau bertahap sebagai satu kesatuan kegiatan sepanjang tenggang waktu antara tahapan membangun tidak lebih dari 2 tahun.

Bagaimana perhitungan PPN atas KMS? Klik tautan di atas.

3. Tarif Pajak Naik, Sri Mulyani Resmi Revisi Aturan PPN Kendaraan Bekas
Sri Mulyani menerbitkan PMK 65/2022 yang mengatur tentang ketentuan PPN atas penyerahan kendaraan bermotor bekas.

Beleid yang berlaku mulai 1 April 2022 itu mencabut dan menggantikan PMK 79/2010. Penggantian ketentuan dilakukan untuk lebih memberikan kemudahan dan kesederhanaan serta kepastian hukum dalam pengenaan PPN atas penyerahan kendaraan bermotor bekas.

Berdasarkan PMK 65/2022, PKP yang melakukan penyerahan kendaraan bermotor bekas wajib memungut dan menyetorkan PPN dengan besaran tertentu. Besaran tertentu itu diperoleh dari hasil perkalian 10% dari tarif PPN dikalikan dengan harga jual.

Dengan demikian, besaran tertentu yang digunakan untuk menghitung PPN atas kendaraan bekas per 1 April 2022 sebesar 1,1% dari harga jual. Sementara itu, besaran tertentu sebesar 1,2% dari harga jual akan digunakan saat tarif PPN 12% resmi berlaku.

4. DJP Sebut Jatuh Tempo SPT Masa PPN Periode Maret Jadi 9 Mei 2022
DJP menyebut batas akhir pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Masa PPN untuk bulan Maret 2022 diundur menjadi Senin (9/5/2022) seiring dengan adanya hari libur nasional dan cuti bersama.

Neilmaldrin Noor mengatakan batas waktu pelaporan SPT Masa PPN untuk Maret 2022 sejatinya jatuh pada Sabtu (30/4/2022). Mengingat 30 April bukan hari kerja maka tenggat waktu pelaporan digeser pada hari kerja berikutnya.

"Apabila dilihat dari kalender libur nasional yang jatuh pada tanggal 29 April 2022 sampai dengan 6 Mei 2022 maka jatuh tempo pelaporan SPT Masa PPN jatuh pada Senin, 9 Mei 2022," katanya.

5. Bersamaan dengan Libur Lebaran, Batas Waktu SPT PPh Badan Tidak Mundur
Tenggat waktu penyampaian SPT Tahunan bagi wajib pajak badan pada tahun ini bertepatan dengan rangkaian hari libur dan cuti bersama Idulfitri.

Neilmaldrin Noor mengatakan DJP belum memiliki rencana untuk mengundur batas waktu penyampaian SPT Tahunan untuk wajib pajak badan.

"Sampai saat ini belum ada, sesuai ketentuan batas waktu pelaporan SPT Tahunan wajib pajak badan tanggal 30 April," ujar Neilmaldrin.

KWA Consulting adalah salah satu perusahaan Jasa konsultan Pajak professional di Indonesia yang menyediakan layanan dengan cakupan luas di bidang konsultasi Pajak, Akutansi, Keuangan dan Pembukuan Perusahaan.
Contact Detail
Whatsapp: +62 81808328841
Email: admin@kwa-consulting.id
Podomoro Golf View Tower Dahoma

Jl. Raya Bojong Nangka, Bojong Nangka, Kec. Gn. Putri, Kabupaten Bogor 16963.

Office Hour

Monday - Friday,
08:00 17:00