Info

BARANG DAN JASA KENA PAJAK

Menjelaskan Jenis-Jenis Pajak yang Dikenakan untuk Wiraswasta

Konsultasi Pajak – Bagi seorang wiraswasta Depok atau dimana pun, pemahaman yang baik tentang pajak sangat penting. Pajak adalah kewajiban yang harus dipenuhi oleh setiap individu atau perusahaan yang memiliki penghasilan atau melakukan kegiatan usaha. Supaya kewajiban perpajakan dijalankan dengan efektif dan efisien, seorang wiraswasta tentunya juga bisa memanfaatkan layanan mengurus pajak Jakarta. Karena layanan pengurusan pajak seperti ini akan sangat membantu mengatasi berbagai kasus perpajakan.

Pajak Penghasilan (PPh)

Pajak Penghasilan (PPh) adalah pajak yang dibebankan atas penghasilan yang didapatkan oleh seorang wiraswasta dari aktivitas usahanya. Pajak Penghasilan memiliki dua jenis, yaitu PPh pasal 21 dan PPh pasal 25. PPh pasal 21 dikenakan pada penghasilan yang diterima wiraswasta sebagai pegawai atau karyawan dari perusahaan lain. Sedangkan PPh pasal 25 dikenakan pada penghasilan yang diperoleh wiraswasta dari kegiatan usahanya sendiri. PPh pasal 25 biasanya dibayarkan secara bersamaan dengan pembayaran faktur atau pembayaran kepada pihak ketiga.

Implikasi: Wiraswasta harus menghitung dan melaporkan penghasilan mereka dengan tepat, serta membayar PPh sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Perhitungan PPh harus memperhatikan tarif yang berlaku, pengurangan atau pengembalian pajak, dan kewajiban pelaporan yang sesuai.

Pajak Pertambahan Nilai (PPN)

Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah pajak yang dibebankan atas penjualan barang atau jasa yang dilakukan oleh wiraswasta. PPN dibebankan ketika tahap produksi dan distribusi, mulai dari produsen sampai konsumen akhir. Wiraswasta bertanggung jawab untuk mengumpulkan PPN dari pelanggan dan membayarkannya kepada pihak berwenang.

Implikasi: Wiraswasta harus memahami tarif PPN yang berlaku dan memastikan bahwa penjualan mereka mencakup pajak yang harus dibayarkan kepada pihak berwenang. Pemungutan dan pelaporan PPN harus dilakukan secara benar dan tepat waktu.

Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)

Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) adalah pajak yang dikenakan atas kepemilikan atau penggunaan tanah dan bangunan oleh wiraswasta. PBB dikenakan oleh pemerintah daerah dan biasanya dihitung berdasarkan nilai properti dan tarif yang telah ditetapkan.

Implikasi: Wiraswasta yang memiliki properti atau tanah harus membayar PBB sesuai dengan ketentuan yang berlaku di wilayah tempat properti tersebut berada. Perhitungan dan pembayaran PBB harus dilakukan secara tepat waktu untuk menghindari denda atau sanksi.

Baca Juga: contoh jenis pekerjaan yang tidak bisa pakai pph final 0,5.

Pajak Kendaraan Bermotor

Pajak Kendaraan Bermotor merupakan pajak yang dibebankan untuk kepemilikan dan penggunaan kendaraan bermotor oleh pihak wiraswasta. Pajak ini bertujuan untuk mengatur dan mengendalikan penggunaan kendaraan bermotor serta untuk membiayai infrastruktur jalan dan transportasi.

Implikasi: Wiraswasta yang memiliki kendaraan bermotor harus membayar pajak kendaraan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di wilayah tempat kendaraan tersebut terdaftar. Pembayaran pajak kendaraan harus dilakukan secara tepat waktu agar kendaraan tetap terdaftar dan dapat digunakan secara legal.

Pajak Lainnya

Selain pajak yang telah disebutkan di atas, ada juga pajak lainnya yang mungkin dikenakan kepada wiraswasta, tergantung pada jenis kegiatan usaha yang dilakukan. Beberapa contoh pajak lainnya termasuk Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), Pajak Hotel, dan Pajak Hiburan. Setiap jenis pajak ini memiliki ketentuan dan implikasi yang berbeda.

Sebagai seorang bisnis owner, pemahaman tentang pajak sangat penting untuk mengelola keuangan dan kegiatan usaha Anda dengan baik. Anda juga bisa berkonsultasi dengan penasihat pajak atau konsultan pajak Bogor dan Depok

yang profesional. Penasihat pajak dapat membantu mengidentifikasi peluang perpajakan yang menguntungkan dan memberikan saran yang tepat sesuai dengan situasi keuangan dan bisnis wiraswasta.

 

 

Ini Dia Jenis Pekerjaan yang Tidak Bisa Pakai PPh Final 0,5%

JAKARTA, KWA News – Wajib pajak perlu mengenali lagi bahwa ada beberapa kondisi yang membuat mereka tidak bisa menggunakan tarif PPh final sebesar 0,5%. Hal ini tentu sudah diatur dalam PP 55/2022 (mencabut PP 23/2018).

Pasal 56 PP 55/2022 menyebutkan yang tidak termasuk penghasilan dari usaha yang dikenai PPh final adalah sebagai berikut :

  1. Penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas;
  2. Penghasilan yang diterima atau diperoleh di luar negeri yang pajaknya terutang atau telah dibayar di luar negeri;
  3. Penghasilan yang telah dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan tersendiri;
  4. Penghasilan yang dikecualikan sebagai objek pajak.

"Jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas meliputi tenaga ahli yang terdiri atas pengacara, akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, pejabat pembuat akta tanah, penilai, dan aktuaris," bunyi Pasal 56 ayat (4) huruf a PP 55/2022.

Kemudian, jasa lain sehubungan pekerjaan bebas yang tidak bisa menggunakan PPh final 0,5%, yakni pemain drama, pemain musik, penyanyi, penari, foto model, peragawan/peragawati, bintang film/sinetron, bintang iklan, kru film, sutradara, pelawak, pembawa acara.

Selanjutnya, pengecualian pemanfaatan PPh final UMKM juga berlaku untuk moderator, penyuluh, penceramah, pengajar, pelatih, olahragawan, dan penasihat.

Jasa-jasa lainnya, juga termasuk olahragawan, pengarang, peneliti, penerjemah, agen iklan, pengawasan atau pengelola proyek, perantara, petugas penjaga barang dagangan, agen asuransi, dan distributor perusahaan pemasaran berjenjang (MLM) atau penjualan langsung dan kegiatan sejenis lainnya.

Contoh:
PP 55/2022 memberikan contoh kasus jasa sehubungan pekerjaan bebas yang tak bisa menggunakan PPh final UMKM 0,5%, yaitu sebagai berikut:

Dipta memiliki keahlian sebagai pemain biola. Dalam hal ini, Dipta mengajar biola untuk dan atas namanya sendiri agar memperoleh penghasilan yang tidak terikat oleh suatu hubungan kerja, Dipta menyerahkan jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas.

Penghasilan Dipta dari mengajar biola dikecualikan dari penghasilan usaha yang dikenai PPh final 0,5% berdasarkan PP 55/2022.

Namun demikian, dalam hal ini, Dipta memiliki usaha kursus biola dan mempekerjakan orang lain, penghasilan dari usaha tersebut bukan merupakan penghasilan jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas.

Segera Update e-SPT Masa PPh Pasal 21-26 ke Versi 2.5.0.0!

JAKARTA, KWA News – Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menghimbau Wajib Pajak untuk segera memperbarui aplikasi e-SPT Masa Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21. Pembaruan ini harus dilakukan untuk mengakomodir penyesuaian tarif dan perhitungan atas perubahan tarif pajak Orang Pribadi pada Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh Undang-Undang Republik Indonesia No 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.

Seperti yang diketahui, e-SPT Masa PPh adalah surat pemberitahuan elektronik atas pemungutan/pemotongan atau pun pembayaran Pajak Penghasilan (PPh). Lalu dengan adanya update terbaru ini memperbarui aplikasi e- SPT Masa versi sebelumnya yaitu e-SPT Masa PPh Pasal 21-26 versi 2.4.0.0.

Dalam UU PPh, terdapat 4 lapis (layer) tarif pajak progresif yang diatur dalam Pasal 17 ayat (1) huruf a yaitu :  

  • Lapis ke-1: Penghasilan Kena Pajak ≤ Rp50juta
  • Lapis ke-2: Rp50 Juta < Penghasilan Kena Pajak ≤ Rp250 Juta
  • Lapis ke-3: Rp250 Juta < Penghasilan Kena Pajak ≤ Rp500 Juta
  • Lapis ke-4: Penghasilan Kena Pajak > Rp500 Juta

Adapaun hasil revisi yang dilakukan pada UU HPP sebagai berikut :

  • Lapis ke-1 : Penghasilan Kena Pajak ≤ Rp60 Juta
  • Lapis ke-2 : Rp60 Juta < Penghasilan Kena Pajak ≤ Rp250 Juta
  • Lapis ke-3 : Rp250 Juta < Penghasilan Kena Pajak ≤ Rp500 Juta
  • Lapis ke-4 : Rp500 Juta < Penghasilan Kena Pajak ≤ Rp5 Miliar
  • Lapis ke-5 : Penghasilan Kena Pajak > Rp5 Miliar

Berikut cara untuk mengupdate e-SPT Masa PPh Pasal 21-26 Versi 2.5.0.0 :

  1. Pengguna yang sudah pernah meng-install aplikasi e-SPT Masa PPh Pasal 21-26 versi 2.4.0.0 sebelumnya, hanya perlu install file patch update versi 2.5.0.0 DISINI
  2. Pengguna baru dan belum pernah meng-install aplikasi e-SPT Masa PPh Pasal 21-26 dapat meng-install dengan file Single Installer Aplikasi e-SPT Masa PPh Pasal 21-26 Versi 2.4.0.0 kemudian melakukan pembaruan versi 2.5.0.0 dengan menggunakan patch yang tersedia pada halaman INI

Aturan baru! DJP ingatkan NSFP tidak perlu dikembalikan ke KPP

JAKARTA, KWA News – Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menjelaskan bahwa tidak perlu mengembalikan Nomor Seri Faktur Pajak (NSFP) yang tidak terpakai ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP).

Dikutip melalui akun Twitter @kring_pajak, DJP mengungkap berdasarkan PER-03/PJ/2021 s.t.d.t.d PER-11/PJ/2022 untuk pengembalian NSFP sudah tidak lagi disebutkan, itu artinya NSFP yang tidak digunakan tidak perlu dikembalikan ke KPP.

Hal ini jauh berbeda dari peraturan sebelumnya, dimana Pengusaha Kena Pajak (PKP) harus mengembalikan NSFP yang tidak digunakan secara langsung atau mengirimkannya ke KPP melalui kantor pos.

Sebagai landasan, Perubahan Pendirian No. PER-03/PJ/2022 tentang Faktur Pajak memang tidak lagi mengatur tentang pengembalian NSFP yang tidak digunakan. Ketentuan pengembalian NSFP terakhir ditetapkan pada PER-24/2012 tentang Bentuk, Ukuran, Tata Cara Pengisian Keterangan, Prosedur Pemberitahuan dalam Rangka Pembuatan, Tata Cara Pembetulan atau Penggantian, dan Tata Cara Pembatalan Faktur Pajak. Dengan berlakunya PER-03/PJ/2022, ketentuan PER-24/2012  tentu tidak berlaku lagi.

Sebelumnya pada Pasal 10 PER-24/2012, disebutkan bahwa NSFP yang tidak digunakan dalam suatu tahun pajak tertentu harus dilaporkan ke KPP tempat PKP dikukuhkan bersamaan dengan SPT Masa PPN Pajak Desember tahun pajak yang bersangkutan dengan menggunakan formulir sebagaimana diatur dalam Lampiran IVF.

Meski NSFP “sisa” tidak perlu dikembalikan, PKP tetap harus ingat bahwa NSFP hanya berlaku selama 1 tahun karena adanya kode khusus dalam serial number yang ditetapkan.

"NSFP digunakan untuk pembuatan Faktur Pajak mulai tanggal surat pemberian NSFP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (5) atau ayat (6), atau Pasal 16 ayat (5) sesuai dengan tahun peruntukan yang tercantum dalam surat pemberian NSFP dimaksud," bunyi Pasal 17 PER-03/PJ/2022

DJP Ingatkan, PKP Bisa Dicabut Jika Tak Lapor SPT Masa PPN 3 Bulan!

 

JAKARTA, KWA News – Ditjen Pajak (DJP) mengingatkan Pengusaha Kena Pajak (PKP) agar selalu melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT) masa Pajak Pertambahan Nilai (PPN) setiap bulannya.

Fungsional Penyuluh Pajak Kantor Wilayah DJP Kalimantan Timur dan Utara Agus Sugianto menjelaskan DJP akan mencabut status pengukuhan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) apabila SPT Masa PPN tidak dilaporkan untuk masa pajak berturut-turut. Akibatnya, PKP menjadi tidak bisa lagi membuat faktur pajak.

“Jadi cabut (pengukuhan PKP)nya by system. Kalau sudah punya aplikasi e-faktur, jadi tidak bisa membuat faktur lagi kalau setelah 3 bulan (tidak lapor SPT Masa PPN)”, ujar Agus dalam Live Instagram @pajakkaltimtara, dikutip Rabu (30/11/2022).

Penjelasan DJP ini berpacu pada Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia No. 147/PMK.03/2017 yaitu tentang Tata Cara Pendaftaran Wajib Pajak dan Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak Serta Pengukuhan dan Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak.

Apabila PKP tidak melaporkan SPT Masa PPN untuk 3 masa pajak berturut turut maka DJP akan menonaktifkan sementara sertifikat elektronik yang digunakan untuk mengakses layanan perpajakan, seperti e-faktur.

Lalu, jika sampai dengan 1 bulan sejak penonaktifan PKP tersebut tidak melakukan klarifikasi atau klarifikasinya ditolak maka DJP berhak untuk melakukan pencabutan pengukuhan PKP secara jabatan.

Oleh karena itu, Agus juga menjelaskan jika PKP memiliki keinginan untuk kembali membuat faktur pajak maka harus melakukan pendaftaran ulang untuk dikukuhkan sebagai PKP. Sebab, secara system sudah tidak lagi terdaftar sebagai PKP.

“Kalau mau buat faktur lagi gimana? Harus daftar PKP lagi karena secara jabatan dan secara system sudah bukan PKP. Jadi harus mengulang dari awal”, jelas Agus.

Perlu diketahui, jika ingin kembali melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP maka pengusaha harus menyampaikan permohonan kepada Kantor Pelayanan Pajak (KPP) atau Kantor Pelayanan, Penyuluhan, dan Konsultasi Perpajakan (KP2KP) yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal, tempat kedudukan, atau tempat kegiatan usaha pengusaha.

Selain itu, bisa juga melaporkan untuk dikukuhkan sebagai PKP pada tempat tempat tertentu yang ditetapkan Dirjen Pajak. Dan juga, permohonannya harus disertai dengan lampiran dokumen pendukung lainnya.

Adapun permohonan dapat dilakukan wajib pajak, baik secara tertulis maupun elektronik. Permohonan pengukuhan PKP secara elektronik dapat dilakukan oleh wajib pajak dengan mengakses pada laman ereg.pajak.go.id

Ada 3 Opsi Penghitungan Pajak Bagi WP Beromzet di Bawah Rp4,8 Miliar

JAKARTA, KWA News – Ditjen Pajak (DJP) menegaskan orang pribadi yang berjualan secara online (seller online) dan memiliki omzet di atas Rp500 juta per tahun wajib membayar pajak. Yang dikenakan pajak ialah selisih setelah melewati batasan tertentu saja. Orang pribadi yang telah melewati batas omzet tersebut dapat memilih beberapa cara untuk menghitung pajak terutangnya.

Terdapat 3 opsi cara menghitung pajak untuk wajib pajak jika omzetnya masih kurang dari Rp4,8 miliar dalam satu tahun. Pertama, menggunakan tarif Pajak Penghasilan (PPh) UMKM sebesar 0,5% dikali omzet.

Kedua, menggunakann cara pembukuan dan diberlakukan tarif umum PPh Pasal 17. Untuk wajib pajak badan tarif umum yang berlangsung adalah sebesar 22%. Sementara itu, orang pribadi dikenakan tarif pajak progresif. Pajak progresif sendiri merupakan tarif pemungutan pajak dengan persentase yang akan bertambah bersamaan dengan semakin besarnya jumlah yang digunakan sebagai dasar pengenaan pajak, dan kenaikan persentase untuk setiap jumlah tertentu setiap kali naik.

Saat ini, terdapat 5 lapisan tarif PPh Pasal 17. Lapisan tarif yang dimaksud ialah sebagai berikut :
1. Penghasilan hingga Rp60 juta dikenai tarif 5%
2. Di atas Rp60 juta hingga Rp250 juta dikenai tarif 15%
3. Di atas Rp250 juta hingga Rp500 juta dikenai tarif 25%
4. Di atas Rp500 juta hingga Rp5 miliar dikenai tarif 30%
5. Di atas Rp5 miliar dikenai tarif 35%

Ketiga, khusus untuk orang pribadi pengusaha tertentu, termasuk seller online, terdapat intensif untuk menggunakan pencatatan dengan norma perhitungan penghasilan neto (NPPN). Namun, wajib pajak harus terlebih dahulu mengajukan pemberitahuan penggunaan norma ke KPP terdaftar.

Untuk wajib pajak orang pribadi dan badan yang memiliki omzet di atas Rp4,8 miliar per tahun, diwajibkan untuk melakukan pembukuan dan dikenakan tarif pajak PPh Pasal 17 yang bersifat progresif.

KWA Consulting adalah salah satu perusahaan Jasa konsultan Pajak professional di Indonesia yang menyediakan layanan dengan cakupan luas di bidang konsultasi Pajak, Akutansi, Keuangan dan Pembukuan Perusahaan.
Contact Detail
Whatsapp: +62 81808328841
Email: admin@kwa-consulting.id
Podomoro Golf View Tower Dahoma

Jl. Raya Bojong Nangka, Bojong Nangka, Kec. Gn. Putri, Kabupaten Bogor 16963.

Office Hour

Monday - Friday,
08:00 17:00