Info

Resmi Terbit! PP Penurunan Tarif Pajak Penghasilan Perseroan Terbuka

JAKARTA, KWANews – Pemerintah menerbitkan beleid baru mengenai penurunan tarif pajak penghasilan (PPh) bagi wajib pajak badan dalam negeri yang berbentuk perseroan terbuka.

Beleid yang dimaksud adalah Peraturan Pemerintah (PP) No. 30 Tahun 2020. PP yang menjadi salah satu aturan turunan dari Undang-Undang (UU) No. 2 Tahun 2020 ini berlaku sejak tanggal diundangkan, yaitu pada 19 Juni 2020.

“Untuk melaksanakan ketentuan Pasal 5 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020,” demikian bunyi penggalan bagian pertimbangan dalam PP tersebut.

Dalam bagian penjelasan PP ini dinyatakan sektor pasar modal memiliki peran penting dalam pertumbuhan investasi, perbaikan struktur permodalan usaha, dan percepatan pertumbuhan ekonomi.

Penguatan pasar modal dapat diwujudkan dengan meningkatkan jumlah perusahaan yang terdaftar sebagai perseroan terbuka dengan saham diperdagangkan di Bursa Efek Indonesia. Dengan pertimbangan tersebut, pemerintah menyatakan perlu ada insentif fiskal berupa penurunan PPh badan bagi wajib pajak perseroan terbuka.

Dalam Pasal 2 ditegaskan lagi adanya penyesuaian tarif PPh wajib pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap menjadi 22% yang berlaku pada tahun pajak 2020 dan 2021. Tarif kembali turun menjadi 20% dan mulai berlaku pada tahun pajak 2022.

Kemudian, ada tarif pajak 3% lebih rendah dari tarif PPh badan tersebut bagi wajib pajak dalam negeri berbentuk perseroan terbuka dengan jumlah keseluruhan saham yang disetor ke perdagangan pada bursa efek di Indonesia paling sedikit 40% dan memenuhi persyaratan tertentu.

Jika dilihat, ketentuan ini juga sudah dinyatakan pemerintah dalam PP No. 29 Tahun 2020 saat memberikan fasilitas yang berkaitan dengan buyback saham. Simak artikel ‘Persyaratan Perseroan Terbuka yang Bisa Dapat Tarif Pajak Lebih Rendah’.

Dalam PP No. 30 Tahun 2020 ditegaskan persyaratan tertentu yang harus dipenuhi mencakup empat aspek. Pertama, saham yang lepas ke bursa efek harus dimiliki oleh paling sedikit 300 pihak. Kedua, masing-masing pihak hanya boleh memiliki saham kurang dari 5% dari keseluruhan saham yang ditempatkan atau disetor penuh.Baca Juga: PPN Nihil? Pemungut Tetap Wajib Sampaikan Laporan Triwulanan ke DJP

Pihak yang dimaksud tidak termasuk wajib pajak perseroan terbuka yang membeli kembali (buyback) sahamnya dan/atau yang memiliki hubungan istimewa sebagaimana diatur dalam UU PPh dengan wajib pajak perseroan terbuka.

Ketiga,ketentuan minimal setor saham, jumlah pihak, dan persentase kepemilikan saham tiap pihak harus dipenuhi dalam waktu paling singkat 183 hari kalender dalam jangka waktu satu tahun pajak. Keempat, pemenuhan persyaratan dilakukan wajib pajak perseroan terbuka dengan menyampaikan laporan kepada Ditjen Pajak (DJP).

“Dalam hal ketentuan … tidak terpenuhi, pajak penghasilan terutang dihitung dengan menggunakan tarif pajak penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 [badan normal],” demikian bunyi penggalan Pasal 3 ayat (5) PP No. 30 Tahun 2020.

Terkait pembelian kembali saham, Pasal 4 PP No. 30 Tahun 2020 juga mengatur ketentuan ini dapat dikecualikan berdasarkan ketentuan di bidang perpajakan. Jika dilihat, pengecualian ini juga telah dipakai dalam pemberian insentif sesuai PP No. 29 Tahun 2020.

Selain wajib pajak sendiri, Ketua Dewan Komisioner OJK ataupun pejabat yang ditunjuk juga menyampaikan daftar wajib pajak perseroan terbatas yang memenuhi syarat atau yang melakukan buyback saham kepada Menteri Keuangan melalui Dirjen Pajak.

Ke depan, Menteri Keuangan masih perlu mengeluarkan PMK terkait bentuk dan tata cara penyampaian laporan wajib pajak perseroan terbuka kepada DJP serta daftar wajib pajak perseroan terbuka yang memenuhi persyaratan yang disampaikan oleh OJK kepada Kemenkeu melalui DJP.

Perluasan Sektor Penerima Insentif Pajak PMK 44/2020 Dipertimbangkan

JAKARTA, KWANews – Pemerintah mempertimbangkan perluasan cakupan klasifikasi lapangan usaha (KLU) yang berhak mendapat insentif pajak sesuai dengan PMK 44/2020.

Hal ini disampaikan oleh Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak (DJP) Hestu Yoga Saksama dalam webinar yang diselenggarakan oleh Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan (BPPK) Kementerian Keuangan, Rabu (1/7/2020).

“Awalnya di PMK 23/2020 hanya sektor manufaktur yang memperoleh insentif. Sekarang di PMK 44/2020 sudah hampir semua [sektor] tetapi masih ada KLU yang ketinggalan dan kita mempertimbangkan untuk memperluas lagi,” jelas Hestu.

Dia menjelaskan perluasan cakupan insentif pada PMK 44/2020 sudah dimungkinkan setelah pemerintah menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 72 Tahun 2020. Dengan adanya Perpres tersebut, cakupan dan masa berlaku insentif sangat dimungkinkan untuk diperluas dan diperpanjang.

“Seperti yang disampaikan oleh Ibu Menteri Keuangan [Sri Mulyani Indrawati] dan Perpres No. 72/2020, sudah ada skema untuk memperpanjang insentif hingga Desember. Ini PMK 44/2020 akan kita sesuaikan lagi dengan kondisi,” imbuh Hestu.

Berdasarkan catatan DJP, estimasi nilai insentif PMK 44/2020 dan penurunan pajak penghasilan (PPh) badan dari 25% ke 22% mencapai Rp123,01 triliun. Dalam Rp123,01 triliun, masih terdapat ruang senilai Rp26 triliun untuk penambahan stimulus PPh pasal 21 ditanggung pemerintah (DTP) dan stimulus lainnya.

Di tengah situasi pandemi Covid-19 ini, pemerintah berharap estimasi insentif senilai Rp123,01 triliun dapat terserap dan dimanfaatkan secara penuh oleh wajib pajak yang berhak (eligible) untuk memanfaatkan insentif ini.

“Kalau tidak termanfaatkan berarti dukungan dunia usaha dari pemerintah belum efektif. Harapannya hampir semua alokasinya bisa dimanfaatkan oleh mereka yang berhak. Untuk yang KLU-nya tidak terlampir tetapi merasa butuh, ini ruangnya masih terbuka dan diskusinya dipimpin di Kemenko Perekonomian,” ujar Hestu.

Sebagai informasi kembali, sesuai PMK 44/2020, insentif PPh Pasal 21 ditanggung pemerintah (DTP) berlaku untuk 1.062 KLU. Kemudian, insentif pembebasan dari pemungutan PPh Pasal 22 Impor untuk 431 KLU.

Adapun insentif pengurangan 30% angsuran PPh Pasal 25 untuk 846 KLU dan insentif restitusi PPN dipercepat hingga jumlah lebih bayar maksimal Rp5 miliar untuk 431 KLU. Selain batasan KLU, insentif juga dapat dimanfaatkan perusahaan yang mendapatkan fasilitas kemudahan impor tujuan ekspor (KITE) dan perusahaan di kawasan berikat.

Pemerintah Perpanjang Insentif Pajak hingga Desember 2020

JAKARTA, KWANews—Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebut pemberian insentif pajak untuk pelaku usaha akan diperpanjang hingga Desember 2020, dari rencana semula akan berakhir pada September 2020.

Perpanjangan insentif pajak tersebut disampaikan Sri Mulyani dalam rapat kerja bersama Komisi XI DPR, Senin (29/6/2020). Menurut Menkeu, kebijakan perpanjangan insentif dituangkan dalam Peraturan Presiden (Perpres) No. 72/2020 yang merevisi Perpres No. 54/2020.

“Dalam Perpres 72 ini menampung hal-hal baru, yaitu perluasan dan perpanjangan insentif perpajakan untuk dunia usaha yang dalam Perpres 54 diberikan sampai September, kami akan perpanjang sampai Desember,” katanya, Senin (29/6/2020).

Sri Mulyani memerinci insentif pajak yang diperpanjang hanya pajak penghasilan (PPh) Pasal 21 ditanggung pemerintah, pembebasan PPh Pasal 22 dan PPN atas impor untuk alat kesehatan, serta percepatan restitusi pajak pertambahan nilai (PPN).

Namun, ia tidak menyebut insentif pajak lainnya dalam penanganan dampak pandemi Corona seperti pembebasan PPh Pasal 22 impor untuk pelaku usaha dan diskon 30% angsuran PPh Pasal 25, turut diperpanjang atau tidak.

Dengan perpanjangan insentif pajak tersebut, Sri Mulyani menambahkan akan ada koreksi penerimaan perpajakan menjadi Rp1.404,5 triliun turun 4% dari sebelumnya diproyeksikan sebesar Rp1.462,6 triliun.

Meski memperpanjang insentif pajak, mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia menyebutkan realisasi pemanfaatan insentif pajak saat ini masih terbilang rendah. “Realisasi untuk insentif usaha baru 10,14%,” ujarnya.

Untuk diketahui, pemerintah merilis insentif pajak untuk pelaku usaha terdampak pandemi Covid-19 selama 6 bulan, sejak April hingga September 2020. Insentif itu diberikan pada 1.083 Klasifikasi Baku Lapangan Usaha (BKLI), pada 18 sektor usaha.

Simak, Ini Cara Aktivasi dan Lupa EFIN Saat New Normal DJP

JAKARTA, KWANews – Aktivasi dan lupa electronic filing identification number (EFIN) dilayani secara online meskipun pelayanan tatap muka sudah dibuka kembali mulai 15 Juni 2020. Lantas, bagaimana prosedurnya?

Otoritas, dalam laman Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Tanggap Covid-19 mengatakan permintaan aktivasi EFIN disampaikan melalui email resmi KPP atau KP2KP.

“Permintaan aktivasi EFIN disampaikan melalui email resmi KPP atau KP2KP (daftar alamat email resmi dapat diakses melalui tautan berikut: www.pajak.go.id/unit-kerja),” tulis DJP dalam laman tersebut

Adapun persyaratan aktivasi EFIN antara lain, pertama, satu email wajib pajak hanya untuk satu permohonan layanan aktivasi EFIN. Kedua, wajib pajak mengirimkan swafoto/selfie dengan memegang KTP dan kartu NPWP.

Petugas melakukan pengecekan kesesuaian data yang diberikan oleh wajib pajak dengan basis data DJP. Apabila semua data sesuai, petugas membuat dan mengirim pemberitahuan EFIN dalam bentuk PDF melalui email.

Adapun layanan terkait lupa EFIN dapat dilakukan melalui kanal telepon Kring Pajak 1500200, Twitter @Kring_Pajak atau live chat pada situs web www.pajak.go.id, atau telepon dan email resmi KPP (www.pajak.go.id/unit-kerja).

Persyaratan untuk memperoleh kembali EFIN akibat lupa antara lain, pertama, satu email wajib pajak hanya untuk satu permohonan layanan lupa EFIN. Kedua, permohonan wajib pajak lewat email dilengkapi Proof of Record Ownership (PORO).

Ketiga, dalam hal belum dilengkapi data di atas, wajib pajak mengirimkan swafoto/selfie dengan memegang KTP dan kartu NPWP. Kemudian, petugas melakukan pengecekan kesesuaian data yang diberikan oleh wajib pajak dengan basis data DJP.

Apabila semua data sesuai, petugas membuat dan mengirim pemberitahuan EFIN dalam bentuk PDF melalui email,” imbuh DJP.

Tidak Dapat Diskon 30% PPh Pasal 25? Bisa Coba Ajukan Pengurangan Ini

JAKARTA, KWANews – Wajib pajak yang tidak berhak (eligible) mendapatkan diskon 30% sesuai PMK 44/2020 masih bisa mendapatkan pengurangan angsuran PPh Pasal 25 sesuai ketentuan dalam KEP-537/PJ/2000. Topik tersebut menjadi bahasan media nasional pada hari ini, Rabu (24/6/2020).

Contact center Ditjen Pajak (DJP), Kring Pajak, mengatakan bagi wajib pajak dapat mendapatkan pengurangan angsuran PPh Pasal 25 dengan dua cara tersebut. Selain itu, dengan tarif PPh badan yang turun menjadi 22%, norminal angsuran juga sudah.

“Wajib pajak dapat menggunakan insentif pengurangan angsuran PPh Pasal 25 pada PMK 44/2020 jika memenuhi kriteria atau menggunakan permohonan pengurangan angsuran sesuai dengan KEP-537/PJ/2000,” demikian tulis Kring Pajak merespons pertanyaan wajib pajak lewat Twitter.

Diskon 30% angsuran PPh Pasal 25 diberikan untuk wajib pajak dengan kriteria memiliki salah satu dari 846 kode KLU sesuai Lampiran PMK 44/2020, telah ditetapkan sebagai perusahaan KITE, atau telah mendapatkan izin penyelenggara kawasan berikat, izin pengusaha kawasan berikat, atau izin PDKB.

Sementara permohonan pengurangan besaran PPh Pasal 25 sesuai KEP-537/PJ/2000, bisa diajukan jika sesudah 3 bulan atau lebih berjalannya suatu tahun pajak, wajib pajak dapat menunjukkan bahwa PPh yang akan terutang untuk tahun pajak tersebut kurang dari 75% dari PPh terutang yang menjadi dasar penghitungan besarnya PPh Pasal 25.

Selain terkait dengan angsuran PPh Pasal 25, ada pula bahasan mengenai laporan World Bank bertajuk “Public Expenditure Review: Spending for Better Results”. Dalam laporan ini disebutkan rasio pajak terhadap PDB Indonesia masih merupakan salah satu yang terendah di antara negara-negara berkembang lainnya.

Berikut ulasan berita selengkapnya.

  • Pengurangan Angsuran PPh Pasal 25

Wajib pajak yang memanfaatkan insentif diskon 30% angsuran PPh Pasal 25 sesuai PMK 44/2020 masih tetap bisa mengajukan pengurangan angsuran sesuai ketentuan dalam KEP-537/PJ/2000.

Sesuai Pasal 7 ayat (2) KEP-537/PJ/2000, pengajuan pengurangan angsuran PPh Pasal 25 harus disertai dengan penghitungan besarnya PPh yang akan terutang berdasarkan perkiraan penghasilan yang akan diterima dan besarnya PPh Pasal 25 untuk bulan-bulan yang tersisa dari tahun pajak yang bersangkutan.

Nantinya, pengurangan 30% angsuran PPh Pasal 25 (fasilitas PMK 44/2020) juga akan dihitung dari angsuran PPh Pasal 25 yang seharusnya terutang untuk setiap masa pajak berdasarkan keputusan pengurangan dalam hal wajib pajak mengajukan permohonan pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25 karena penurunan kondisi usaha.

  • Tidak Bisa Dikreditkan

DJP menegaskan diskon 30% angsuran PPh Pasal 25 yang diamanatkan dalam PMK 44/2020 tidak dapat diakui sebagai kredit pajak pada akhir tahun pajak. Simak artikel ‘Diskon 30% Angsuran PPh Pasal 25 Tidak Dapat Diakui Jadi Kredit Pajak’.

  • Rasio Pajak Terhadap PDB

World Bank menyebut rasio pendapatan negara terhadap PDB Indonesia pada 2018 hanya sebesar 14,6%, sedangkan negara berkembang lain tercatat mampu mencapai 27,8%. Dari sisi belanja, rasio belanja negara terhadap PDB hanya 16,6%, lebih rendah dari rata-rata negara berkembang yang mencapai 32%.

“Rasio pajak terhadap PDB sebesar 10,2% dari PDB pada tahun 2018 masih merupakan salah satu yang terendah di antara negara-negara berkembang dan negara-negara berkembang di kawasan,” tulis World Bank dalam laporan “Public Expenditure Review: Spending for Better Results”.

  • Upaya Pemerintah

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan pemerintah selalu mengupayakan ada peningkatan tax ratio. Pemerintah, sambungnya, terus mencari solusi atas sejumlah faktor yang menyebabkan tax ratio di Indonesia rendah.

Dia mencontohkan faktor yang sering disebut sebagai penyebab tax ratio rendah adalah masih adanya celah dalam kebijakan perpajakan pemerintah dan praktik penghindaran pajak. Pemerintah terus memanfaatkan akses pertukaran informasi.

  • Pengecualian Pengenaan PPN

World Bank mengungkapkan belanja perpajakan (tax expenditure) akibat pengecualian pengenaan PPN atas komoditas tertentu dan tingginya threshold pengusaha kena pajak (PKP) lebih banyak dinikmati oleh masyarakat kelas menengah ke atas ketimbang masyarakat kelas bawah.

“Sebagian besar pengecualian pajak ini dinikmati oleh rumah tangga yang lebih kaya dan jika dihapuskan akan mengurangi ketimpangan,” demikian tulis World Bank dalam publikasi berjudul “Public Expenditure Review: Spending for Better Results”. Simak artikel ‘Pengecualian PPN Dinilai Tidak Tepat Sasaran, Ini Saran World Bank’.

  • Redesain Anggaran

Untuk mempercepat pemulihan ekonomi akibat pandemi Covid-19, pemerintah melakukan redesain pada 2021. Redesain akan mengadopsi konsep money follow program. Langkah ini untuk memperkuat penerapan anggaran berbasis kinerja, serta konvergensi program dan kegiatan kementerian dan lembaga.

Spending better ini fokus kita pada 2020 dan 2021. Ini sangat penting bagi pemulihan ekonomi dan penanganan Covid-19,” kata Menteri Keuangan Sri Mulyani.

Di Kemenkeu, ada pula redesain program kerja. Menurutnya, penyusunan program kerja yang selama ini berdasarkan unit eselon I sudah tidak efektif. Nantinya, ada lima program yang dijalankan. Kelimanya adalah program kebijakan fiskal, program penerimaan negara, program belanja negara, program kekayaan negara, dan program dukungan manajemen. (Bisnis Indonesia/KWANews)

  • Relokasi dari China

Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) telah membentuk satuan tugas (Satgas) khusus untuk memfasilitasi investor yang hendak melakukan relokasi investasi dari China ke Indonesia.

Kepala BKPM Bahlil Lahadalia mengatakan Satgas tersebut langsung di bawah komandonya. Satgas mendapat tugas khusus, yaitu mendeteksi perusahaan-perusahaan yang akan relokasi. Kemudian, mengecek kemudahan-kemudahan yang diberikan negara-negara lain.

“Dan yang penting memberi kewenangan kepada mereka [Satgas]untuk membuat keputusan dalam bernegosiasi,” ujar Bahlil. (Kontan/KWANews)

Baru! Ada 5 Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Respons Covid-19

JAKARTA, KWANews – Pemerintah menerbitkan beleid baru terkait fasilitas pajak penghasilan (PPh) dalam rangka penanganan virus Corona (Covid-19).

Beleid baru itu berupa Peraturan Pemerintah (PP) No. 29 Tahun 2020. Beleid ini diterbitkan untuk merespons dampak penyebaran Covid-19 di Indonesia terhadap kesehatan dan keselamatan jiwa, serta sektor usaha. Untuk merespons ini, perlu dukungan selain dari APBN dan APBD.

Diperlukan pula kontribusi dan sumbangan masyarakat, dukungan ketersediaan SDM di bidang kesehatan yang cukup, keberlangsungan industri produk alat kesehatan dan/atau perbekalan kesehatan rumah tangga, dan stabilitas pasar saham. Untuk itu, pemerintah memberikan fasilitas PPh.

“Diperlukan dasar hukum … dalam bentuk Peraturan Pemerintah,” demikian bunyi penggalan salah satu pertimbangan dalam beleid tersebut.

Dalam beleid ini, ada 5 jenis fasilitas PPh yang diberikan pemerintah. Pertama, tambahan pengurangan penghasilan neto kepada wajib pajak dalam negeri yang memproduksi alat kesehatan dan/atau perbekalan kesehatan rumah tangga (PKRT) untuk keperluan penanganan Covid-19.

Kedua, sumbangan penanganan Covid-19 yang dapat menjadi pengurang penghasilan bruto. Ketiga, tambahan penghasilan yang diterima atau diperolehSDM di bidang kesehatan. Tambahan penghasilan ini dikenai pemotongan PPh Pasal 21 yang bersifat final dengan tarif 0%.

Keempat, penghasilan berupa kompensasi dan penggantian atas penggunaan harta dikenai pajak yang bersifat final dengan tarif sebesar 0%. Kelima, fasilitas terkait pembelian kembali saham yang diperjualbelikan di bursa dalam rangka penanganan Covid- 19.

Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun 2020 ini berlaku sejak tanggal diundangkan, yaitu 10 Juni 2020.

KWA Consulting adalah salah satu perusahaan Jasa konsultan Pajak professional di Indonesia yang menyediakan layanan dengan cakupan luas di bidang konsultasi Pajak, Akutansi, Keuangan dan Pembukuan Perusahaan.
Contact Detail
Whatsapp: +62 81808328841
Email: admin@kwa-consulting.id
Podomoro Golf View Tower Dahoma

Jl. Raya Bojong Nangka, Bojong Nangka, Kec. Gn. Putri, Kabupaten Bogor 16963.

Office Hour

Monday - Friday,
08:00 17:00