Info

Setelah Download e-Faktur 3.0, Jangan Lupa Lakukan Ini

JAKARTA, KWANews – Wajib pajak yang mulai menggunakan aplikasi e-Faktur 3.0 perlu melakukan backup database. Langkah ini dilakukan untuk mencegah terjadinya kesalahan (corrupt database).

Ditjen Pajak (DJP) mengatakan setelah mengunduh aplikasi versi terbaru e-Faktur 3.0, ada tiga file (ETaxInvoice, EtaxInvoiceMain, dan EtaxInvoiceUpd) yang harus disalin (copy) dan menggantikan (replacefile existing. Selanjutnya, wajib pajak dapat menjalankan ETaxInvoice.exe.

“Wajib pajak diminta untuk tetap melakukan backup data secara manual,” tulis DJP dalam laman resminya, dikutip pada Selasa (15/9/2020).

Jika sudah berhasil melakukan update ke versi 3.0, wajib pajak diminta untuk melakukan perubahan nama (renamefile ETaxInvoiceUpd.exe menjadi ETaxInvoiceUpd_backup.exe. Saat melakukan langkah ini, wajib pajak harus memastikan aplikasi dalam posisi tertutup.

‍DJP mengatakan harus tertutupnya aplikasi saat melakukan rename file adalah agar setiap kali aplikasi dibuka, backup otomatis tidak berjalan. Apalagi, proses tersebut biasanya membutuhkan waktu yang cukup lama apabila ukuran database-nya besar.

“Pastikan melakukan backup folder db secara manual dengan menutup aplikasi e-Faktur terlebih dahulu karena backup otomatisnya sudah tidak aktif,” imbuh DJP.

Terkait dengan update e-Faktur versi 3.0, DJP mengatakan langkah itu dilakukan baik di sisi server maupun client. 

Seperti diberitakan sebelumnya, implementasi nasional aplikasi e-Faktur 3.0 dilaksanakan pada 1 Oktober 2020. Seluruh wajib pajak berstatus pengusaha kena pajak (PKP) dapat mengunduh (download) aplikasi terbaru di https://efaktur.pajak.go.id.

Tax Planning, Lihat Kiat Menghemat Bayar Pajak di Sini!

Jika Anda memiliki perusahaan atau merupakan orang yang bertanggung jawab atas urusan perpajakan suatu perusahaan, maka Anda perlu memperhatikan artikel ini, lantaran akan membuka wawasan Anda tentang tax planning atau perencanaan pajak yang pasti dibutuhkan oleh seluruh perusahaan yang merupakan wajib pajak.

Perencanaan pajak merupakan hal penting yang perlu dilakukan perusahaan karena bagi perusahaan, pajak merupakan biaya atau beban yang akan mengurangi laba bersihnya. Dengan melakukan perencanaan pajak, perusahaan dapat terjauh dari risiko ketidakpatuhan perpajakan yang akan meminimalisir utang pajak yang tak terduga.

Pengertian Tax Planning dan Tujuannya

Tax planning atau perencanaan pajak adalah upaya mengurangi atau meminimalkan beban pajak yang harus dibayarkan kepada negara sehingga pajak yang dibayar tidak melebihi jumlah yang sebenarnya. Salah satu praktik dalam manajemen perpajakan ini dilakukan dengan tetap mematuhi perturan perpajakan yang berlaku alias legal.

Legal di sini, artinya penghematan pajak dilakukan dengan memanfaatakan hal-hal yang tidak diatur oleh undang-undang (loopholes) sehingga tidak ada pelanggaran konstitusi atau Undang-Undang Perpajakan yang berlaku.

Secara teoritis William H. Hoffman dalam buku berjudul The Accounting Review (1961) menyebutkan, tax planning merupakan upaya wajib pajak mendapat penghematan pajak (tax saving) melalui prosedur penghindaran pajak (tax avoidance) secara sistematis sesuai ketentuan UU Perpajakan.

Tax planning dilakukan antara lain untuk tujuan:

  • Memperkecil pengeluaran perusahaan untuk membayar pajak sehingga biaya yang dikeluarkan lebih efisien.
  • Memperhitungkan dan menyiapkan pembayaran pajak sesuai peraturan yang berlaku agar tidak timbul sanksi atau denda yang justru memperbeasr pengeluaran pajak.
  • Bukan untuk mengelak membayar pajak tetapi untuk mengatur agar pajak yang dibayar tidak lebih dari jumlah yang seharusnya.

Syarat Menjalankan Tax Planning

  1. Tidak melanggar pertauran perpajakan yang berlaku, karena bila melanggar akan menimbulkan risiko bagi wajib pajak yang justru membuat perencaan pajak gagal lantaran berpotensi menimbulkan denda atau sanksi pajak lainnya.
  2.  Tidak memalsukan bukti pendukung atau data lain yang dibutuhkan untuk membayar pajak.
  3. Masuk akal secara bisnis, karena jika tidak, tax planning akan melemahkan perencanaan itu sendiri.

Tahap Melakukan Tax Planning

1. Menganalisis Informasi yang Ada

Tahap pertama dari perencanaan pajak adalah menganalisis komponen yang berbeda atas pajak yang terlibat dalam suatu proyek dan menghitung seakurat mungkin beban pajak yang ditaanggung. Hal ini hanya bisa dilakukan dengan mempertimbangkan masing-masing elemen dari pajak, baik secara sendiri-sendiri maupun secara total pajak yang harus dapat dirumuskan sebagai perencanaan pajak yang paling efisien.

2. Buat Satu Model atau Lebih Rencana Besarnya Pajak

Pilih bentuk transaksi operasi atau hubungan internasional. Pada hampir semua sistem perpajakan internasional, paling tidak ada dua negara yang ditentukan lebih dahulu. Dari sudut pandang perpajakan, proses perencanaan tidak bisa berada di luar dari tahapan pemilihan transaksi, operasi, dan hubungan yang paling menguntungkan.

3. Evaluasi atas Perencanaan Pajak

Tax planning sebagai suatu perencanaan yang merupakan bagian kecil dari seluruh perencanaan strategis perusahaan. Oleh karena itu, perlu dilakukan evaluasi untuk melihat sejauh mana hasil pelaksanaan suatu perencanaan pajak terhadap beban pajak, perbedaan laba kotor, dan pengeluaran selain pajak atas berbagai alternatif perencaan.

4. Mencari Kelemahan Dan Kemudian Memperbaiki Kembali Rencana Pajak

Untuk mengatakan bahwa hasil suatu perencanaan pajak baik atau tidak, tentu harus dievaluasi melalui berbagai rencana yang dibuat. Tindakan perubahaan (up to date planning) harus tetap dijalankan walaupun diperlukan penambahan biaya atau kemungkinan keberhasilannya sangat kecil.

5. Memutakhirkan Rencana Pajak

Meskipun suatu rencana pajak telah dilaksanakan dan proyek juga telah berjalan, tetap perlu diperhitungkan setiap perubahan yang terjadi, baik dari undang-undang maupun pelaksanaannya sesuai negara di mana aktivitas tersebut dilakukan yang dapat berdampak terhadap komponen suatu perjanjian.

5 Skema Tax Planning

Pada umumnya, ada lima strategi yang biasa perusahaan lakukan dalam membuat perencanaan pajak:

Tax Avoidance

Tax avoidance atau penghindaran pajak merupakan upaya perusahaan menghhindari pengenaan pajak melalui transaksi yang bukan merupakan objek pajak. Contohnya, perusahaan mengubah tunjangan karyawan dalam bentuk uang menjadi natura karena natura bukan objek pajak PPh21. Upaya ini biasanya dilakukan oleh perusahaan yang masih mengalami kerugian.

Tax Saving

Upaya efisiensi beban pajak melalui pemilihan alternatif pengenaan pajak dengan tarif yang lebih rendah. Contohnya, perusahaan melakukan perubahan pemberian natura kepada karyawan menjadi tunjangan dalam bentuk uang.

Mengoptimalkan Kredit Pajak yang Diperkenankan

Kebanyakan wajib pajak badan kurang mengetahui bahwa mereka dapat mengkreditkan pajak yang sudah dipotong asalkan tidak menyimpang dari peraturan. Misalnya, Pajak Penghasilan (PPh) 22 atas pembelian solar dan/atau impor, PPh 23 atas penghasilan jasa atau sewa, serta pajak fiskal luar negeri atas perjalanan dinas pegawai.

Melakukan Penundaan dalam Membayar Kewajiban Pajak

Perusahaan sebagai wajib pajak dapat menunda pembayaran Pajak Pertambahan Nilai (PPn) dengan menunda penerbitan faktur pajak keluaran hingga batas waktu yang diperkenankan, khususnya untuk penjualan kredit. PPN dapat dibayar pada akhir bulan berikutnya setelah bulan penyerahan barang.

Menghindari Pelanggaran atas Peraturan Perpajakan

Wajib pajak badan harus menguasai peraturan pajak yang berlakuagar terhindar dari timbulnya sanksi perpajakan berupa sanksi administrasi, seperti denda, bunga, atau kenaikan, hingga sanksi pidana.

Jenis-Jenis Tax Planning

Jika dilihat dari jenisnya, perencanaan pajak dapat dibagi menjadi dua, yakni:

  • National Tax Planning yang praktiknya berpedoman pada Undang-Undang domestik. Perencanaan pajak jenis ini biasanya dilakukan oleh wajib pajak badan yang hanya memiliki usaha di Indonesia saja atau melakukan transaksi dengan wajib pajak dalam negeri saja
  • International Tax Planning, biasanya dilakukan oleh wajib pajak badan yang memiliki kegiatan usaha di dalam negeri dan di luar negeri. Perencanaan pajak ini dilakukan jika wajib pajak melakukan transaksi tak hanya dengan wajib pajak dalam negeri, tetapi juga dengan wajib pajak di luar negeri. Berbeda dengan National Tax Planning, International Tax Planning harus turut memperhatikan Undang-Undang atau perjanjian pajak (Tax Treaty) dari negara-negara yang ikut terlibat

Aplikasi berbasis website ini dapat dapat melacak dan menyimpan semua laporan-laporan pajak dalam server OnlinePajak. Dengan sistem ini, semua data pada laporan pajak sebelumnya dapat diimpor dan digunakan kembali untuk masa pajak berikutnya.  

Sistem ini juga dapat mengkalkulasi pajak Anda secara otomatis, sesuai dengan tarif yang berlaku. Jika ada perubahan regulasi dari Dirjen Pajak, maka sistem akan memperbarui tarif pajak agar sesuai dengan peraturan pemerintah yang terbaru. Terakhir, Anda dapat memproses beragam jenis pajak yang harus ditanggung oleh WP Badan.

Soal Batas Waktu Penerapan PPh Final UMKM, Pengusaha Minta Kaji Ulang

JAKARTA, KWANews—Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) meminta pemerintah untuk mengkaji ulang batas waktu penerapan PPh final UMKM sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 23/2018.

Ketua Bidang Keuangan dan Perbankan Badan Pengurus Pusat (BPP) Hipmi Ajib Hamdani mengatakan PP No. 23/2018 perlu direvisi mengingat situasi dunia usaha saat ini tengah tertekan akibat pandemi Covid-19.

“Saya rasa pemerintah perlu me-review kembali rencana penerapan kebijakan ini karena UMKM terdampak paling besar dari krisis akibat pandemi Covid-19,” ujar Ajib, Rabu (9/9/2020).

Baru-baru ini Ditjen Pajak mengingatkan wajib pajak badan berbentuk PT yang menerapkan PPh Final UMKM sejak 2018 untuk menggunakan skema penghitungan PPh sesuai dengan ketentuan umum pada 2021.

Sesuai PP No. 23/2018, masa penerapan PPh Final UMKM bagi wajib pajak badan berbentuk PT hanya selama 3 tahun pajak. Artinya, PT yang memanfaatkan PPh final UMKM sejak 2018 harus menggunakan tarif PPh umum pada 2021.

“Sekarang sudah kuartal III/2020. Kita sedang diambang resesi dan untuk rebound pun tidak mudah. Harapan Hipmi kebijakan PP No. 23/2018 dapat dikaji kembali dan direvisi agar relevan dengan keadaan saat ini,” ujar Ajib.

Untuk diketahui, wajib pajak badan berbentuk PT yang akan menghitung PPh terutang sesuai dengan ketentuan umum pada 2021 tidak dapat mengkompensasikan seluruh kerugian yang terjadi pada 2020 akibat pandemi Covid-19 pada tahun depan.

“Kerugian pada suatu tahun pajak dikenakannya PPh final berdasarkan PP No. 23/2018 tidak dapat dikompensasikan pada tahun pajak berikutnya, kecuali terdapat kerugian dari penghasilan yang tidak dikenai PPh yang bersifat final,” tulis Dirjen Pajak dalam Surat Edaran Dirjen Pajak No. SE-46/PJ/2020.

Terlanjur Pakai Diskon 30% PPh Pasal 25 Masa Pajak Juli? Lakukan Ini

JAKARTA, KWANews – Wajib pajak yang terlanjur menggunakan diskon 30% angsuran PPh Pasal 25 untuk masa pajak Juli 2020 memiliki dua opsi langkah atas kelebihan pembayaran pajak. Seperti diketahui, sesuai ketentuan PMK 110/2020, diskon naik menjadi 50% mulai masa pajak Juli 2020.

Sesuai dengan SE-47/PJ/2020, wajib pajak bisa memilih salah satu dari dua alternatif langkah atas kelebihan pembayaran pajak tersebut. Pertama, memperhitungkan kelebihan pembayaran tersebut sebagai angsuran PPh Pasal 25 masa pajak selanjutnya.

“Dalam hal wajib pajak telah melakukan pembayaran PPh Pasal 25 yang seharusnya diberikan pengurangan …, kelebihan pembayaran PPh tersebut diperhitungkan sebagai angsuran PPh Pasal 25 masa pajak berikutnya,” demikian bunyi penggalan ketentuan dalam SE-45/PJ/2020.

Kedua, melakukan pemindahbukuan. Jika wajib pajak memilih untuk mengajukan pemindahbukuan, kelebihan pembayaran PPh Pasal 25 tidak dapat diperhitungkan sebagai angsuran PPh Pasal 25 masa pajak berikutnya. Pemindahbukuan dilakukan sesuai dengan ketentuan PMK 242/2014.

Bagi wajib pajak yang sebelumnya telah menyampaikan pemberitahuan maka stimulus ini berlaku sejak masa pajak Juli 2020. Sementara bagi wajib pajak yang lain, diskon mulai berlaku sejak pemberitahuan disampaikan. Diskon berlaku sampai dengan masa pajak Desember 2020.

Wajib pajak yang berhak memanfaatkan insentif pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25 berdasarkan PMK 23/2020, PMK 44/2020, dan/atau PMK 86/2020 tetap dapat memanfaatkan diskon 30% sampai dengan masa pajak Juni 2020.

Insentif ini dapat dimanfaatkan oleh wajib pajak pada 1.013 bidang usaha tertentu, perusahaan yang mendapat fasilitas kemudahan impor tujuan ekspor, dan perusahaan di kawasan berikat. Hal ini tidak berubah dari ketentuan dalam beleid sebelumnya PMK 86/2020.

Pengumuman! DJP Ingatkan Batas Waktu Penerapan PPh Final UMKM

JAKARTA, KWANews—Ditjen Pajak (DJP) mengingatkan wajib pajak badan berbentuk PT, koperasi, CV, dan firma yang telah memanfaatkan skema pajak penghasilan (PPh) final UMKM mengenai batas waktu.

Berdasarkan Pengumuman No. PENG-10/PJ.09/2020, DJP menyebutkan batas waktu penerapan PPh final UMKM—sesuai dengan PP No. 23/2018—bagi wajib pajak badan berbentuk PT yang memanfaatkan fasilitas tersebut sejak 2018 adalah hingga akhir tahun pajak 2020.

Sementara itu, bagi wajib pajak berbentuk koperasi, CV, dan firma yang memanfaatkan skema PPh final UMKM sejak 2018 masih dapat menggunakan skema PPh final dengan tarif 0,5% hingga akhir tahun pajak 2021.

“Setelah berakhirnya jangka waktu [tersebut], wajib pajak dimaksud memenuhi kewajiban perpajakannya sesuai ketentuan umum UU PPh untuk tahun-tahun pajak berikutnya,” bunyi poin 3 dari pengumuman DJP tersebut, Senin (7/9/2020).

Seperti yang diatur dalam PP No. 23/2020, skema PPh final UMKM berlaku bagi wajib pajak dengan peredaran bruto sebesar Rp4,8 miliar. Tarif yang dikenakan adalah sebesar 0,5% dari peredaran bruto selama setahun.

Bagi wajib pajak badan berbentuk PT, pemanfaatan PPh final hanya berlaku selama 3 tahun pajak. Artinya, bila wajib pajak memanfaatkan PPh final sejak 2018 maka pada 2021 harus beralih menggunakan skema PPh umum.

Untuk wajib pajak orang pribadi, masa berlaku pemanfaatan PPh final mencapai 7 tahun. Bila terdaftar sebagai wajib pajak PPh final UMKM sejak 2018 maka wajib pajak harus memakai skema umum paling lambat pada 2026.

Penghasilan yang tidak termasuk objek PPh final UMKM antara lain penghasilan yang diperoleh dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas yang diperinci pada Pasal 2 ayat (4), penghasilan yang diterima di luar negeri dan pajaknya terutang di luar negeri, penghasilan yang dikenai PPh final tersendiri, dan penghasilan yang dikecualikan dari objek pajak.

Penghasilan terutang yang dikenai PPh final UMKM bisa dilunasi melalui dua cara yaitu dengan disetor sendiri atau dipotong/dipungut oleh pemotong/pemungut pajak bila wajib pajak melakukan transaksi dengan pemotong/pemungut pajak.

Bolehkah UMKM Menggunakan Tarif Pajak Umum?

Pertanyaan:
SAYA bekerja di perusahaan pangan yang baru saja didirikan pada tahun lalu. Omzet perusahaan kami pada tahun lalu berada di bawah Rp4,8 miliar, sehingga kami dikenakan pajak UMKM sebesar 0,5% per bulannya. Diproyeksikan, sampai dengan akhir tahun ini omzet perusahaan kami masih berada di bawah Rp4,8 miliar.

Pertanyaan saya, sekalipun omzet perusahaan kami masih berada di bawah Rp4,8 miliar, apakah kami dapat menggunakan tarif pajak secara umum pada tahun depan?

Hendro, Jakarta.

Jawaban:
TERIMA kasih Bapak Hendro atas pertanyaannya. Sesuai Pasal 3 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2018 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu (PP 23/2018), wajib pajak yang memiliki peredaran bruto tidak melebihi Rp4,8 miliar dalam satu tahun pajak dikenakan pajak penghasilan secara final dengan tarif 0,5%.

Namun demikian, terdapat pengecualian atas pengenaan pajak penghasilan final ini. Pengecualian tersebut diatur dalam Pasal 3 ayat (2) PP 23/2018 yang berbunyi:

“(2) Tidak termasuk Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam hal:

  1. Wajib Pajak memilih untuk dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a, Pasal 17 ayat (2a), atau Pasal 31E Undang-Undang Pajak Penghasilan;
  2. Wajib Pajak badan berbentuk persekutuan komanditer atau firma yang dibentuk oleh beberapa Wajib Pajak orang pribadi yang memiliki keahlian khusus menyerahkan jasa sejenis dengan jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4);
  3. Wajib Pajak badan memperoleh fasilitas Pajak Penghasilan berdasarkan:
  1. Pasal 31A Undang-Undang Pajak Penghasilan; atau
  2. Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2010 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan dalam Tahun Berjalan beserta perubahan atau penggantinya; dan
  1. Wajib Pajak berbentuk Bentuk Usaha Tetap.”

Selanjutnya, Pasal 3 ayat (3), (4) dan (5) PP 23/2018 mengatur bahwa:

“(3) Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, wajib menyampaikan pemberitahuan kepada Direktur Jenderal Pajak.

(4) Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3), untuk Tahun Pajak-Tahun Pajak berikutnya tidak dapat dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.”

Adapun ketentuan dalam Pasal 3 ayat (5) PP 23/2018 telah diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 99/PMK.03/2018 tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu (PMK 99/2018).

Dalam Pasal 2 ayat (2) huruf a PMK 99/2018, ditegaskan kembali bahwa wajib pajak diperkenankan memilih untuk dikenai pajak penghasilan berdasarkan ketentuan umum pajak penghasilan. Adapun tata cara pemberitahuan untuk menggunakan ketentuan umum pajak penghasilan diatur dalam Pasal 3 ayat (1) PMK 23/2018 yang berbunyi:

“(1) Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf a, wajib menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak melalui:

  1. Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak pusat terdaftar;
  2. Kantor Pelayanan Penyuluhan dan Konsultasi Perpajakan atau Kantor Pelayanan Pajak Mikro yang berada di dalam wilayah kerja Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak pusat terdaftar; atau
  3. saluran tertentu yang diterapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.”

Selanjutnya, Pasal 3 ayat (2) PMK 23/2018 mengatur bahwa:

“(2) Penyampaian pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lambat pada akhir Tahun Pajak dan Wajib Pajak dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan Ketentuan Umum Pajak Penghasilan mulai Tahun Pajak berikutnya.”

Berdasarkan ketentuan di atas, dapat disimpulkan bahwa wajib pajak diperbolehkan untuk memilih dikenakan pajak sesuai dengan tarif umum, asalkan menyampaikan pemberitahuan ke KPP terdaftar maksimal pada akhir tahun pajak.

Namun, perlu diperhatikan, apabila wajib pajak telah memilih untuk dikenakan pajak sesuai dengan tarif umum maka untuk tahun pajak seterusnya wajib pajak tidak dapat dikenai pajak penghasilan final dengan tarif 0,5% lagi.

Demikian jawaban kami. Semoga dapat membantu.

KWA Consulting adalah salah satu perusahaan Jasa konsultan Pajak professional di Indonesia yang menyediakan layanan dengan cakupan luas di bidang konsultasi Pajak, Akutansi, Keuangan dan Pembukuan Perusahaan.
Contact Detail
Whatsapp: +62 81808328841
Email: admin@kwa-consulting.id
Podomoro Golf View Tower Dahoma

Jl. Raya Bojong Nangka, Bojong Nangka, Kec. Gn. Putri, Kabupaten Bogor 16963.

Office Hour

Monday - Friday,
08:00 17:00