Info

Soal Batas Waktu Penerapan PPh Final UMKM, Pengusaha Minta Kaji Ulang

JAKARTA, KWANews—Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) meminta pemerintah untuk mengkaji ulang batas waktu penerapan PPh final UMKM sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 23/2018.

Ketua Bidang Keuangan dan Perbankan Badan Pengurus Pusat (BPP) Hipmi Ajib Hamdani mengatakan PP No. 23/2018 perlu direvisi mengingat situasi dunia usaha saat ini tengah tertekan akibat pandemi Covid-19.

“Saya rasa pemerintah perlu me-review kembali rencana penerapan kebijakan ini karena UMKM terdampak paling besar dari krisis akibat pandemi Covid-19,” ujar Ajib, Rabu (9/9/2020).

Baru-baru ini Ditjen Pajak mengingatkan wajib pajak badan berbentuk PT yang menerapkan PPh Final UMKM sejak 2018 untuk menggunakan skema penghitungan PPh sesuai dengan ketentuan umum pada 2021.

Sesuai PP No. 23/2018, masa penerapan PPh Final UMKM bagi wajib pajak badan berbentuk PT hanya selama 3 tahun pajak. Artinya, PT yang memanfaatkan PPh final UMKM sejak 2018 harus menggunakan tarif PPh umum pada 2021.

“Sekarang sudah kuartal III/2020. Kita sedang diambang resesi dan untuk rebound pun tidak mudah. Harapan Hipmi kebijakan PP No. 23/2018 dapat dikaji kembali dan direvisi agar relevan dengan keadaan saat ini,” ujar Ajib.

Untuk diketahui, wajib pajak badan berbentuk PT yang akan menghitung PPh terutang sesuai dengan ketentuan umum pada 2021 tidak dapat mengkompensasikan seluruh kerugian yang terjadi pada 2020 akibat pandemi Covid-19 pada tahun depan.

“Kerugian pada suatu tahun pajak dikenakannya PPh final berdasarkan PP No. 23/2018 tidak dapat dikompensasikan pada tahun pajak berikutnya, kecuali terdapat kerugian dari penghasilan yang tidak dikenai PPh yang bersifat final,” tulis Dirjen Pajak dalam Surat Edaran Dirjen Pajak No. SE-46/PJ/2020.

Terlanjur Pakai Diskon 30% PPh Pasal 25 Masa Pajak Juli? Lakukan Ini

JAKARTA, KWANews – Wajib pajak yang terlanjur menggunakan diskon 30% angsuran PPh Pasal 25 untuk masa pajak Juli 2020 memiliki dua opsi langkah atas kelebihan pembayaran pajak. Seperti diketahui, sesuai ketentuan PMK 110/2020, diskon naik menjadi 50% mulai masa pajak Juli 2020.

Sesuai dengan SE-47/PJ/2020, wajib pajak bisa memilih salah satu dari dua alternatif langkah atas kelebihan pembayaran pajak tersebut. Pertama, memperhitungkan kelebihan pembayaran tersebut sebagai angsuran PPh Pasal 25 masa pajak selanjutnya.

“Dalam hal wajib pajak telah melakukan pembayaran PPh Pasal 25 yang seharusnya diberikan pengurangan …, kelebihan pembayaran PPh tersebut diperhitungkan sebagai angsuran PPh Pasal 25 masa pajak berikutnya,” demikian bunyi penggalan ketentuan dalam SE-45/PJ/2020.

Kedua, melakukan pemindahbukuan. Jika wajib pajak memilih untuk mengajukan pemindahbukuan, kelebihan pembayaran PPh Pasal 25 tidak dapat diperhitungkan sebagai angsuran PPh Pasal 25 masa pajak berikutnya. Pemindahbukuan dilakukan sesuai dengan ketentuan PMK 242/2014.

Bagi wajib pajak yang sebelumnya telah menyampaikan pemberitahuan maka stimulus ini berlaku sejak masa pajak Juli 2020. Sementara bagi wajib pajak yang lain, diskon mulai berlaku sejak pemberitahuan disampaikan. Diskon berlaku sampai dengan masa pajak Desember 2020.

Wajib pajak yang berhak memanfaatkan insentif pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25 berdasarkan PMK 23/2020, PMK 44/2020, dan/atau PMK 86/2020 tetap dapat memanfaatkan diskon 30% sampai dengan masa pajak Juni 2020.

Insentif ini dapat dimanfaatkan oleh wajib pajak pada 1.013 bidang usaha tertentu, perusahaan yang mendapat fasilitas kemudahan impor tujuan ekspor, dan perusahaan di kawasan berikat. Hal ini tidak berubah dari ketentuan dalam beleid sebelumnya PMK 86/2020.

Pengumuman! DJP Ingatkan Batas Waktu Penerapan PPh Final UMKM

JAKARTA, KWANews—Ditjen Pajak (DJP) mengingatkan wajib pajak badan berbentuk PT, koperasi, CV, dan firma yang telah memanfaatkan skema pajak penghasilan (PPh) final UMKM mengenai batas waktu.

Berdasarkan Pengumuman No. PENG-10/PJ.09/2020, DJP menyebutkan batas waktu penerapan PPh final UMKM—sesuai dengan PP No. 23/2018—bagi wajib pajak badan berbentuk PT yang memanfaatkan fasilitas tersebut sejak 2018 adalah hingga akhir tahun pajak 2020.

Sementara itu, bagi wajib pajak berbentuk koperasi, CV, dan firma yang memanfaatkan skema PPh final UMKM sejak 2018 masih dapat menggunakan skema PPh final dengan tarif 0,5% hingga akhir tahun pajak 2021.

“Setelah berakhirnya jangka waktu [tersebut], wajib pajak dimaksud memenuhi kewajiban perpajakannya sesuai ketentuan umum UU PPh untuk tahun-tahun pajak berikutnya,” bunyi poin 3 dari pengumuman DJP tersebut, Senin (7/9/2020).

Seperti yang diatur dalam PP No. 23/2020, skema PPh final UMKM berlaku bagi wajib pajak dengan peredaran bruto sebesar Rp4,8 miliar. Tarif yang dikenakan adalah sebesar 0,5% dari peredaran bruto selama setahun.

Bagi wajib pajak badan berbentuk PT, pemanfaatan PPh final hanya berlaku selama 3 tahun pajak. Artinya, bila wajib pajak memanfaatkan PPh final sejak 2018 maka pada 2021 harus beralih menggunakan skema PPh umum.

Untuk wajib pajak orang pribadi, masa berlaku pemanfaatan PPh final mencapai 7 tahun. Bila terdaftar sebagai wajib pajak PPh final UMKM sejak 2018 maka wajib pajak harus memakai skema umum paling lambat pada 2026.

Penghasilan yang tidak termasuk objek PPh final UMKM antara lain penghasilan yang diperoleh dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas yang diperinci pada Pasal 2 ayat (4), penghasilan yang diterima di luar negeri dan pajaknya terutang di luar negeri, penghasilan yang dikenai PPh final tersendiri, dan penghasilan yang dikecualikan dari objek pajak.

Penghasilan terutang yang dikenai PPh final UMKM bisa dilunasi melalui dua cara yaitu dengan disetor sendiri atau dipotong/dipungut oleh pemotong/pemungut pajak bila wajib pajak melakukan transaksi dengan pemotong/pemungut pajak.

Bolehkah UMKM Menggunakan Tarif Pajak Umum?

Pertanyaan:
SAYA bekerja di perusahaan pangan yang baru saja didirikan pada tahun lalu. Omzet perusahaan kami pada tahun lalu berada di bawah Rp4,8 miliar, sehingga kami dikenakan pajak UMKM sebesar 0,5% per bulannya. Diproyeksikan, sampai dengan akhir tahun ini omzet perusahaan kami masih berada di bawah Rp4,8 miliar.

Pertanyaan saya, sekalipun omzet perusahaan kami masih berada di bawah Rp4,8 miliar, apakah kami dapat menggunakan tarif pajak secara umum pada tahun depan?

Hendro, Jakarta.

Jawaban:
TERIMA kasih Bapak Hendro atas pertanyaannya. Sesuai Pasal 3 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2018 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu (PP 23/2018), wajib pajak yang memiliki peredaran bruto tidak melebihi Rp4,8 miliar dalam satu tahun pajak dikenakan pajak penghasilan secara final dengan tarif 0,5%.

Namun demikian, terdapat pengecualian atas pengenaan pajak penghasilan final ini. Pengecualian tersebut diatur dalam Pasal 3 ayat (2) PP 23/2018 yang berbunyi:

“(2) Tidak termasuk Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam hal:

  1. Wajib Pajak memilih untuk dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a, Pasal 17 ayat (2a), atau Pasal 31E Undang-Undang Pajak Penghasilan;
  2. Wajib Pajak badan berbentuk persekutuan komanditer atau firma yang dibentuk oleh beberapa Wajib Pajak orang pribadi yang memiliki keahlian khusus menyerahkan jasa sejenis dengan jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4);
  3. Wajib Pajak badan memperoleh fasilitas Pajak Penghasilan berdasarkan:
  1. Pasal 31A Undang-Undang Pajak Penghasilan; atau
  2. Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2010 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan dalam Tahun Berjalan beserta perubahan atau penggantinya; dan
  1. Wajib Pajak berbentuk Bentuk Usaha Tetap.”

Selanjutnya, Pasal 3 ayat (3), (4) dan (5) PP 23/2018 mengatur bahwa:

“(3) Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, wajib menyampaikan pemberitahuan kepada Direktur Jenderal Pajak.

(4) Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3), untuk Tahun Pajak-Tahun Pajak berikutnya tidak dapat dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.”

Adapun ketentuan dalam Pasal 3 ayat (5) PP 23/2018 telah diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 99/PMK.03/2018 tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu (PMK 99/2018).

Dalam Pasal 2 ayat (2) huruf a PMK 99/2018, ditegaskan kembali bahwa wajib pajak diperkenankan memilih untuk dikenai pajak penghasilan berdasarkan ketentuan umum pajak penghasilan. Adapun tata cara pemberitahuan untuk menggunakan ketentuan umum pajak penghasilan diatur dalam Pasal 3 ayat (1) PMK 23/2018 yang berbunyi:

“(1) Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf a, wajib menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak melalui:

  1. Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak pusat terdaftar;
  2. Kantor Pelayanan Penyuluhan dan Konsultasi Perpajakan atau Kantor Pelayanan Pajak Mikro yang berada di dalam wilayah kerja Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak pusat terdaftar; atau
  3. saluran tertentu yang diterapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.”

Selanjutnya, Pasal 3 ayat (2) PMK 23/2018 mengatur bahwa:

“(2) Penyampaian pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lambat pada akhir Tahun Pajak dan Wajib Pajak dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan Ketentuan Umum Pajak Penghasilan mulai Tahun Pajak berikutnya.”

Berdasarkan ketentuan di atas, dapat disimpulkan bahwa wajib pajak diperbolehkan untuk memilih dikenakan pajak sesuai dengan tarif umum, asalkan menyampaikan pemberitahuan ke KPP terdaftar maksimal pada akhir tahun pajak.

Namun, perlu diperhatikan, apabila wajib pajak telah memilih untuk dikenakan pajak sesuai dengan tarif umum maka untuk tahun pajak seterusnya wajib pajak tidak dapat dikenai pajak penghasilan final dengan tarif 0,5% lagi.

Demikian jawaban kami. Semoga dapat membantu.

Waspadai Penipuan Program Subsidi Gaji! Ini Kata BPJS Ketenagakerjaan

JAKARTA, KWANews – BPJS Ketenagakerjaan atau BP Jamsostek menyebut ada potensi kejahatan yang ditujukan kepada para pekerja dengan melibatkan program bantuan langsung tunai subsidi gaji.

Direktur Utama BP Jamsostek Agus Susanto mengatakan kejahatan itu dilakukan dalam bentuk penipuan hingga pencurian data pekerja. Dia pun meminta masyarakat mewaspadai bahaya penipuan tersebut.

“Kami mendapati ada upaya pencurian data via media sosial dengan menggunakan akun palsu yang mengatasnamakan BP Jamsostek,” katanya dalam keterangan tertulis, Selasa (1/9/2020).

Agus menjelaskan proses pendataan calon penerima subsidi gaji tidak melibatkan pekerja secara langsung. Hal itu juga telah tertuang dalam Peraturan Ketenagakerjaan (Permenaker) No. 14/2020.

Beleid itu itu memerintahkan pengusaha sebagai pemberi kerja memverifikasi kelayakan pekerjanya memperoleh subsidi gaji, sekaligus menyampaikan data nomor rekeningnya. Tugas itu akan dijalankan oleh bagian personalia atau HRD perusahaan langsung ke sistem BPJS Ketenagakerjaan.

“Jika ada pekerja yang merasa kriterianya telah terpenuhi, cukup menunggu dana ditransfer ke rekening. Tidak perlu memberikan data atau informasi pribadi kepada pihak yang tidak berwenang,” ujarnya.

Agus mengatakan proses penyaluran subsidi gaji dilakukan secara bertahap, sebanyak 3 juta rekening setiap pekan. Menurutnya, penyaluran tahap I subsidi gaji akan rampung pada 30 September 2020.

Agus menambahkan informasi lebih lanjut mengenai program bantuan subsidi gaji juga dapat diakses melalui akun media sosial resmi BPJS Ketenagakerjaan, yakni @bpjs.ketenagakerjaan pada Instagram, @bpjstkinfo pada Twitter, dan BPJS Ketenagakerjaan pada Facebook. Menurutnya semua akun media sosial tersebut telah terdapat simbol terverifikasi.

Agus berharap perusahaan bisa segera menyetorkan data para pekerjanya yang layak menerima subsidi gaji agar bantuan itu segera tersalurkan. Menurutnya, pembelanjaan dana bantuan subsidi gaji oleh para pekerja akan sangat berdampak pada pemulihan ekonomi nasional.

Program subsidi gaji akan menyasar 15,7 juta pekerja yang masih bekerja dengan pendapatan di bawah Rp5 juta. Pemerintah pun menyiapkan anggaran senilai Rp37,7 triliun untuk program tersebut. Subsidi gaji diberikan Rp600.000 per bulan selama empat bulan sejak September hingga Desember 2020. Namun, pembayarannya dilakukan setiap dua bulan kali, yakni pada kuartal III dan IV/2020.

Mulai Hari Ini, Seluruh Pemotong PPh Pasal 23/26 Wajib Pakai E-Bupot

JAKARTA, KWANews – Mulai hari ini, Selasa (1/9/2020), seluruh pemotong pajak penghasilan (PPh) Pasal 23/26 wajib menggunakan e-Bupot. Ketentuan tersebut menjadi salah satu bahasan media nasional.

KEP-368/PJ/2020 mengamanatkan seluruh wajib pajak yang memenuhi syarat menggunakan Surat Pemberitahuan (SPT) Masa PPh Pasal 23/26 elektronik ditetapkan sebagai pemotong PPh Pasal 23/26 yang wajib membuat bukti potong dan menyampaikan SPT Masa sesuai dengan PER-04/PJ/2017.

“Seluruh pemotong PPh Pasal 23/26, yang memenuhi ketentuan Perdirjen No.04/PJ/2017 penyampaian SPT Masa PPh Pasal 23/26 secara elektronik, wajib menggunakan e-Bupot,” demikian pernyataan Ditjen Pajak (DJP) melalui informasi yang diunggah melalui media sosial.

Sesuai dengan Pasal 6 PER-04/PJ/2017, persyaratan pemotong pajak yang harus menggunakan SPT masa PPh Pasal 23/26 dalam bentuk elektronik antara lain pertama, menerbitkan lebih dari 20 bukti pemotongan PPh Pasal 23/26 dalam satu masa pajak.

Kedua, jumlah penghasilan bruto yang menjadi dasar pengenaan PPh lebih dari Rp100 juta dalam satu bukti pemotongan. Ketiga, sudah pernah menyampaikan SPT masa elektronik. Keempat, terdaftar di KPP Madya, KPP di lingkungan Kanwil DJP Jakarta Khusus atau KPP di lingkungan Kanwil DJP Wajib Pajak Besar. Persyaratan tersebut tidak bersifat akumulatif.

Ketentuan dalam KEP-368/PJ/2020 ini sekaligus menandai implementasi penuh e-Bupot 23/26dan mengakhiri tahapannya, mulai dari KEP-178/2017 (15 WP), KEP-178/2018 (153 WP), KEP-425/2019 (1.745 WP), KEP-599/2019 (26 WP), KEP-652/2019 (15 KPP) dan KEP-269/2020 (KPP Pratama). 

Selain mengenai implementasi penuh e-Bupot 23/26, masih ada pula bahasan mengenai rencana perubahan PPh final sewa tanah dan bangunan. Dalam PP 34/2017, tarif PPh final atas sewa tanah dan bangunan sebesar 10% dari jumlah bruto nilai sewa tanah dan bangunan.

Berikut ulasan berita selengkapnya.

  • Sejak Masa Pajak Ketentuan Dipenuhi

Melalui KEP-368/PJ/2020, Dirjen Pajak juga mengatur aturan bagi wajib pajak yang telah terdaftar sebelum 1 September tapi tidak memenuhi ketentuan penggunaan SPT masa PPh Pasal 23/26 dalam bentuk elektronik atau baru terdaftar sejak 1 September.

Terhadap wajib pajak tersebut, keharusan membuat bukti pemotongan dan kewajiban menyampaikan SPT masa PPh Pasal 23/26 berdasarkan PER-04/PJ/2017 berlaku sejak masa pajak wajib pajak memenuhi ketentuan penggunaan SPT masa PPh Pasal 23/26 dalam bentuk elektronik. (KWANews)

  • Manfaat e-Bupot 23/26

DJP memaparkan setidaknya ada 6 manfaat e-Bupot 23/26. Pertama, tampilan user friendly. Kedua, memiliki fitur tanda tangan elektronik. Ketiga, berbasis web sehingga tidak perlu proses instalasi. Keempat, meringankan beban administrasi.

Kelima, keamanan data terjamin karena data disimpan di server DJP. Keenam, penomoran bukti potong di-generate oleh sistem dan unik per pemotong. Pemotong PPh Pasal 23/26 wajib memiliki sertifikat elektronik sesuai ketentuan yang diatur dalam PER-04/PJ/2020. (DDTCNews)

  • Ketentuan Umum PPh

Direktur Perpajakan I DJP Yunirwansyah mengatakan otoritas tengah mengevaluasi secara menyeluruh aturan PPh final sewa tanah dan bangunan. Pemerintah akan membahas tarif dengan simulasi perubahan yang diusulkan asosiasi.

“Kemungkinan dikenakan ketentuan umum. Jadi, bukan PPh final. Kemungkinan tarif dibedakan untuk wajib pajak orang pribadi dengan wajib pajak badan,” katanya. (Kontan/KWANews)

  • Tidak Ada Target Penerimaan Cukai Plastik

Setelah batal diterapkan beberapa tahun meskipun sudah masuk dalam target APBN, pemerintah tidak mencantumkan lagi target penerimaan cukai plastik dalam RAPBN 2020. Kepala Sub Direktorat Tarif Cukai dan Harga Dasar Ditjen Bea dan Cukai Sunaryo mengatakan tidak masuknya target penerimaan cukai plastik tidak berarti pemerintah tidak akan memungutnya pada tahun depan.

“Kami akan fokus di pengendalian, makanya target tidak dimunculkan,” katanya. (Bisnis Indonesia)

  • Layanan Tatap Muka Konsultan Pajak

Terkait dengan informasi penutupan sementara layanan tatap muka konsultan pajak sampai dengan 30 September 2020, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas Ditjen Pajak (DJP) Hestu Yoga Saksama mengatakan kebijakan itu hanya berlaku terbatas di Kantor Pusat DJP.

“Yang ditutup itu hanya di Kantor Pusat DJP, bagian organisasi terkait layanan pemberian izin praktik konsultan pajak.

  • Impor LNG Bebas Pungutan PPN

Pemerintah memutuskan gas alam cair (liquified natural gas) sebagai Barang Kena Pajak (BKP) yang impor dan penyerahannya dibebaskan dari pungutan pajak pertambahan nilai (PPN).

Keputusan pemerintah itu tertuang dalam PP 48/2020 tentang Impor dan/atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang Bersifat Strategis yang Dibebaskan dari PPN, merevisi peraturan sebelumnya PP 81/2015. (KWANews)

  • Isu Transfer Pricing

Dirjen Pajak Suryo Utomo mengatakan transfer pricing bukanlah praktik yang salah. Praktik itu menjadi kurang tepat jika harga yang digunakan tidak wajar. Dia berharap praktik transfer pricing tidak mereduksi basis pajak yang ada di Indonesia.

Saat ini, ungkap Suryo, isu transfer pricing tidak hanya ada di Kantor Wilayah DJP Wajib Pajak Besar dan Kantor Wilayah DJP Jakarta Khusus. Pasalnya, isu mengenai praktik transfer pricing sudah ada di setiap Kantor Wilayah DJP di seluruh Indonesia. (KWANews)

  • Penambahan Diskon PPh Pasal 25

Penambahan diskon angsuran PPh Pasal 25 dari 30% menjadi 50% dinilai menjadi kebijakan yang tepat sasaran. Pasalnya, berdasarkan survei pemulihan ekonomi nasional (PEN) yang dilakukan otoritas, ada kecenderungan akan dimanfaatkannya stimulus berupa relaksasi PPh Pasal 25 dan PPh Pasal 21 ditanggung pemerintah (DTP).

Berdasarkan survei PEN menunjukkan 85% responden mengalami penurunan penjualan. Laba usaha sebesar 87% responden juga mengalami penurunan. Sebanyak 30% responden menyatakan arus kas usaha untuk tiga bulan ke depan tidak cukup untuk menutup biaya usaha. Hanya 6 dari 10 pengusaha yang dapat bertahan untuk 3 bulan mendatang. (KWANews)

  • Independensi Bank Indonesia

Dalam draf revisi UU No. 23/1999 tentang Bank Indonesia (BI) yang sedang masuk dalam tahap pembahasan di Badan Legislasi (Baleg) DPR, ketentuam dalam Pasal 9 UU itu dihapus dan ditambahkan substansi mengenai kewenangan Dewan Moneter.

Berdasarkan ketentuan dalam pasal tersebut, pihak lain dilarang melakukan segala bentuk campur tangan terhadap pelaksanaan tugas BI. BI juga wajib menolak atau mengabaikan segala bentuk campur tangan dari pihak manapun dalam rangka pelaksanaan tugasnya.

Namun, dalam draf revisi UU BI, pasal yang memuat independensi BI itu dihapus. Dalam matriks persandingan antara UU lama dan UU amandemen, justru ada Dewan Moneter dengan anggota menteri keuangan dan satu orang menteri yang membidangi perekonomian, gubernur BI dan deputi gubernur senior BI, serta ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan. (Bisnis Indonesia/Kontan) (kwa)

KWA Consulting adalah salah satu perusahaan Jasa konsultan Pajak professional di Indonesia yang menyediakan layanan dengan cakupan luas di bidang konsultasi Pajak, Akutansi, Keuangan dan Pembukuan Perusahaan.
Contact Detail
Whatsapp: +62 81808328841
Email: admin@kwa-consulting.id
Podomoro Golf View Tower Dahoma

Jl. Raya Bojong Nangka, Bojong Nangka, Kec. Gn. Putri, Kabupaten Bogor 16963.

Office Hour

Monday - Friday,
08:00 17:00