Info

Batalkan Faktur Pajak yang Sudah Dikreditkan Pembeli? Ini Syaratnya

JAKARTA, KWANews – Dalam penggunaan e-Faktur 3.0, pengusaha kena pajak (PKP) penjual tidak bisa secara langsung membatalkan faktur pajak yang sudah dikreditkan oleh PKP pembeli.

Dalam laman resminya, DJP menegaskan jika PKP pembeli sudah melaporkan pajak masukan, PKP penjual dapat membatalkan faktur pajak yang diterbitkannya setelah mendapatkan persetujuan oleh PKP pembeli.

“Pembatalan faktur pajak oleh PKP penjual atas faktur pajak yang sudah dikreditkan oleh PKP pembeli mensyaratkan persetujuan pembatalan faktur pajak dimaksud oleh PKP pembeli sebelum dapat sepenuhnya dapat dibatalkan oleh PKP penjual,” jelas DJP, dikutip pada Senin (21/9/2020).

Namun demikian, faktur pajak yang diganti atau dibatalkan secara sepihak – tanpa pemberitahuan ke PKP Pembeli – sebelum dikreditkan, tidak akan tersedia pada menu prepopulated pajak masukan. Dengan demikian, faktur pajak tersebut tidak dapat dikreditkan oleh PKP pembeli.

DJP menegaskan pada saat ini, belum tersedia notifikasi khusus terjadinya pembetulan atau penggantian faktur yang dilakukan oleh lawan transaksi. Kondisi ini, sambung DJP, dikarenakan aplikasi yang ada masih menggunakan desktop.

“Saat ini belum ada notifikasi real time karena aplikasinya masih menggunakan desktop sehingga tidak memungkinkan memberikan push notifikasi,” imbuh DJP.

Seperti diberitakan sebelumnya, fitur tambahan yang ada dalam aplikasi e-Faktur 3.0 antara lain prepopulated pajak masukan, prepopulated Pemberitahuan Impor Barang (PIB), prepopulated surat pemberitahuan (SPT), dan sinkronisasi kode cap fasilitas.

Uji coba aplikasi e-Faktur 3.0 sudah dilakukan secara bertahap mulai Februari 2020. Implementasi secara nasional akan dilakukan mulai 1 Oktober 2020.

Implementasi secara nasional e-Faktur 3.0 diyakini mampu mempersempit celah pelanggaran hukum terkait dengan pajak pertambahan nilai (PPN). Salah satu pelanggaran yang sering ditemui dan ditindak DJP adalah penerbitan faktur pajak fiktif.

Upaya Mengurangi Sengketa Transfer Pricing saat Pemeriksaan Pajak

PERBEDAAN pendapat antara wajib pajak dan fiskus mengenai penerapan arm’s length principle (ALP) atas transaksi afiliasi (transfer pricing) sering terjadi saat dilakukannya pemeriksaan. Sementara itu, identifikasi adanya skema transaksi afiliasi bermula dari pelaporan pada lampiran khusus 3A SPT 1771 mengenai Pernyataan Transaksi dengan Pihak yang Memiliki Hubungan Istimewa.

Dewasa ini, risiko transfer pricing semakin menjadi perhatian. Isu tersebut ditindaklanjuti dengan dikeluarkannya Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE-15/PJ/2018 tentang Kebijakan Pemeriksaan (SE-15/PJ/2018). Dalam SE tersebut, ditetapkan indikator modus ketidakpatuhan wajib pajak.

Salah satu indikator tersebut adalah perencanaan pajak agresif yang mengindikasikan risiko transfer pricing. Berdasarkan SE-15/PJ/2018, terdapat tujuh risiko transfer pricing yang berpotensi untuk dilakukan pemeriksaan. Selain itu, perbedaan interpretasi atas definisi hubungan istimewa dan rentang kewajaran dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK 22/PMK.03/2020 (PMK 22/2020) juga bisa menimbulkan sengketa di masa mendatang.

Wajib pajak dan fiskus yang berselisih paham terkait dengan risiko transfer pricing menyebabkan maraknya sengketa pajak pada saat ini. Padahal, sengketa pajak yang berlanjut ke tingkat keberatan dan banding di Pengadilan Pajak tidak selalu mudah diselesaikan karena masing-masing pihak bersikeras mempertahankan posisinya. Para pihak pun saling memberikan argumen dan bukti untuk meyakinkan penelaah keberatan dan hakim di Pengadilan Pajak.

Akibatnya, upaya untuk menyelesaikan proses sengketa pajak di tingkat keberatan dan banding cenderung memakan waktu lama. Jika ditelusuri, jangka waktu penyelesaian sengketa pajak sejak ditetapkan oleh DJP membutuhkan waktu hingga 24 bulan, yakni 12 bulan proses keberatan dan 12 bulan proses banding di Pengadilan Pajak. Proses ini bahkan bisa memakan waktu lebih lama apabila penyelesaian sengketa pajak berlanjut ke tingkat peninjauan kembali (PK) di Mahkamah Agung.

Lantas, apakah ketentuan DJP mengenai koridor penanganan atas intrepretasi transaksi afiliasi sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 18 ayat (4) UU PPh belum memadai?

Jawabannya tentu membutuhkan analisis yang komprehensif menyangkut tiga pihak. Pertama, DJP selaku pihak yang diwakili oleh fiskus, baik pemeriksa/fungsional, account representative (AR)/seksi waskon, maupun penelaah keberatan (PK)/keberatan. Kedua, wajib pajak bersama wakil atau kuasanya, yaitu konsultan pajak atau pengacara. Ketiga, pihak independen selaku pengadil, yaitu hakim di Pengadilan Pajak.

Sementara itu, ketentuan domestik yang digunakan fiskus saat melakukan pemeriksaan terhadap wajib pajak yang melakukan transaksi afiliasi telah mengadopsi petunjuk yang ditetapkan oleh Organization for Economic Co-operation and Development (OECD).

Untuk mempercepat penyelesaian pemeriksaan transaksi afiliasi, terdapat pilihan prosedur alternatif yang perlu ditempuh. Prosedur alternatif itu, antara lain mekanisme pengungkapan ketidakbenaran dalam surat pemberitahuan (SPT), pengajuan prosedur advance pricing agreement (APA), serta pengajuan bimbingan teknis/reviu dan tim pembahas oleh tim pemeriksa.

Mitigasi Risiko
Kasus–kasus sengketa pajak menyangkut transfer pricing (sengketa transfer pricing) dari hasil pemeriksaan sebagian besar berasal dari dua jenis pemeriksaan. Pertama, pemeriksaan wajib pajak yang melaporkan SPT lebih bayar. Kedua, pemeriksaan khusus berdasarkan analisis risiko bottom up yang diusulkan Kantor Pelayanan Pajak (KPP) dan top down yang diinstruksikan oleh Kantor Pusat DJP maupun Kantor Wilayah DJP. Dengan demikian, muara timbulnya potensi risiko sengketa transfer pricing seharusnya bisa ditangkal apabila wajib pajak segera merespons melalui komunikasi efektif dengan fiskus saat proses pemeriksaan sedang berjalan.

Dalam sengketa ini, data awal yang wajib disampaikan oleh wajib pajak adalah dokumentasi transfer pricing (TP Doc). Melalui dokumentasi yang terdiri dari dokumen lokal (local file) dan master file ini, dapat dilihat apakah transaksi afiliasi yang dilakukan oleh wajib pajak telah memenuhi prinsip kewajaran dan kelaziman usaha (PKKU) atau tidak.

Fiskus menekankan bahwa sistematika penyusunan TP Doc mengacu pada ketentuan Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK 213/PMK.03/2016 sebagai bagian dari rekomendasi OECD dalam BEPS Action 13. Akan tetapi, selain informasi yang wajib disajikan oleh wajib pajak dalam TP Doc, faktanya, bentuk baku dari TP Doc memang belum ditentukan secara spesifik.

Meskipun demikian, harus dipahami bahwa sejatinya penyusunan suatu TP Doc dibuat secara ex ante bagi wajib pajak yang menyelenggarakan dokumen induk dan lokal serta ex post bagi yang menyelenggarakan laporan per negara (county by country reporting/CbCr). Oleh karena itu, tanpa menunggu adanya surat perintah pemeriksaan pajak, seharusnya wajib pajak sudah menyiapkan dokumentasi mengenai dasar penerapan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha (PKKU) atas transaksi afiliasi yang dilakukannya.

Salah satu pokok sengketa yang timbul dalam kasus transfer pricing adalah mengenai karakteristik usaha wajib pajak. Fiskus, dalam kasus ini pemeriksa, dapat saja menyimpulkan karakteristik usaha wajib pajak yang berbeda dengan yang tertuang dalam TP Doc wajib pajak.

TP Doc sendiri merupakan informasi awal yang dapat digunakan oleh pemeriksa. Selain itu, pemeriksa juga dapat melakukan pengamatan langsung terhadap proses bisnis wajib pajak. Hal tersebut kemudian dituangkan dalam rangkaian pertanyaan berita acara permintaan keterangan (BAPK), termasuk kelengkapan syarat perjanjian antarpihak terafiliasi, mata rantai transaksi, analisis rasio, analisis industri, serta analisis fungsi, aset, dan risiko.

Dalam melakukan asesmen terhadap kegiatan usaha yang dijalankan, baik fiskus maupun wajib pajak. perlu menuju suatu kesepahaman yang sesuai dengan kenyataan sebenarnya. Alasannya, dalam proses selanjutnya, pemilihan metode pengujian transfer pricing utamanya didasarkan pada data dan informasi yang tersedia serta didokumentasikan.

Selain itu, perlu dipahami pula bahwa metode pengujian yang dilakukan oleh fiskus senantiasa harus disesuaikan dengan ketentuan penerapan PKKU. Dalam kasus ini, metode pengujian harus sesuai dengan ketentuan dalam PER-43/PJ/2010 jo. PER-32/PJ/2011.

Sebagaimana ditegaskan oleh Darussalam, Septriadi, dan Kristiaji (2013), dalam proses penentuan harga, metode analisis yang digunakan bisa menjadi perdebatan karena transfer pricing bukanlah ilmu eksak. Akibatnya, bisa saja terjadi perbedaan interpretasi dalam penerapannya yang dapat berujung pada timbulnya sengketa transfer pricing.

Jika telah dicapai suatu kesepahaman pemilihan metode transfer pricing, tahap selanjutnya adalah (i) penentuan dan identifikasi data pembanding internal maupun eksternal, (ii) penentuan atau pemilihan tested party, (iii) penentuan penggunaan data beberapa tahun atau tunggal (multiple year atau single year), hingga (iv) proses penentuan harga atau laba wajar sesuai metode analisis yang digunakan.

Selain mitigasi atas risiko perbedaan penerapan prinsip PKKU atas transaksi barang berwujud, perlu juga dicapai kesepahaman mengenai kemungkinan terjadinya koreksi fiskal atas beberapa transaksi khusus. Pertama, transaksi terkait jasa intragroup. Kedua, transaksi harta tak berwujud, seperti royalti, paten, trademark, atau know howKetiga, transaksi jasa manajemen dari induk ke anak perusahaan.

Lebih lanjut, kesamaan pandangan dalam penentuan eksistensi, manfaat ekonomis, kewajaran secara akuntansi dan keuangan, serta aspek hukum atas transaksi khusus di atas juga penting untuk dicapai. Ini sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 17 ayat (7) PER-43/PJ/2010 jo. PER-32/PJ/2011 bahwa fiskus dan wajib pajak diharapkan mencapai satu pemahaman yang sama mengenai konsep penentuan eksistensi secara legal atas suatu transaksi harta tak berwujud

Setelah dicapai pemahaman yang sama atas eksistensi dan manfaat ekonomis, tahapan selanjutnya yang harus dilakukan oleh fiskus dan wajib pajak adalah melakukan analisis pembuktian kewajaran pembebanan transaksi tersebut. Dengan demikian, tidak terjadi koreksi berganda dalam penentuan pembebanan transaksi yang dikategorikan sebagai pemberian jasa dari induk/afiliasi di luar negeri kepada anak perusahaan maupun grup perusahaan afiliasi di Indonesia.

Solusi Alternatif
Sebagaimana dikutip oleh Kristiaji dari Kimberly A. Clausing (2015)transaksi transfer pricing merupakan strategi profit shifting, di samping mekanisme debt shifting, yang lazim dilakukan oleh grup perusahaan dalam kelompok multinational company (MNC). Meskipun lazim, faktanya, konflik menyangkut transfer pricing yang terjadi saat pemeriksaan tidak selalu dapat diselesaikan antara fiskus dan wajib pajak.

Tidak hanya Indonesia sebagai tempat portofolio investasi dari perusahaan global. Negara domisili induk perusahaan juga mengalami kendala dalam menentukan pilihan pemajakan atas penghasilan perusahaan yang termasuk dalam transaksi afiliasi.

Melalui pemahaman yang sama antara fiskus dan wajib pajak terhadap asesmenatas transaksi afiliasi, terdapat beberapa alternatif penyelesaian sengketa transfer pricing yang perlu ditempuh.

Pertama, wajib pajak segera menyiapkan kelengkapan data dan informasi yang sinkron antara keterangan yang disajikan dalam TP Doc dengan situasi serta proses bisnis yang sebenarnya. Terutama terkait dengan kondisi karakteristik dan analisis kesebandingan yang harus sesuai dengan fakta. Dengan kata lain, antara das sein dan das sollen. Jadi, jika ada penelitian atau pemeriksaan di kemudian hari, sengketa fakta antara wajib pajak dan fiskus dapat dihindari.

Anak perusahaan di Indonesia juga harus mampu menjelaskan kondisi lingkungan usaha yang dihadapi dan menuangkannya secara gamblang dan transparan ke dalam TP Doc. Dalam kasus penyusunan TP Doc dibantu oleh konsultan, sebaiknya perlu ada brainstorming antara wajib pajak dengan konsultannya sebelum TP Doc tersebut disampaikan ke KPP bersamaan dengan pelaporan SPT Tahunan. Langkah ini dilakukan agar diperoleh kesamaan atas fakta yang didokumentasikan sekaligus sebagai informasi awal yang memadai ketika muncul pertanyaan atau permintaan penjelasan dari fiskus.

Kedua, wajib pajak dapat mengajukan prosedur alternatif percepatan penyelesaian pemeriksaan tanpa menunggu jangka waktu pemeriksaan berakhir. Langkah ini sesuai dengan ketentuan Pasal 8 ayat (4) dan ayat (5) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP). Yaitu, apabila fiskus telah mengkomunikasikan adanya temuan dari analisis transfer pricing, wajib pajak dapat segera mengajukan mekanisme pengungkapan ketidakbenaran dalam SPT yang disampaikan disertai dengan tambahan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 50% dari pajak yang kurang dibayar.

Ketiga, wajib pajak mengajukan APA sesuai ketentuan dalam PMK 22/PMK.02/2020 guna mendapat kepastian hukum atas transaksi afiliasi yang dilakukan oleh wajib pajak pada tahun mendatang. Perlu dipahami, APA adalah mekanisme pencegahan terjadinya sengketa transfer pricing karena kesepakatan yang dilakukan oleh fiskus dan wajib pajak menyangkut transaksi afiliasi pada masa mendatang.

Meskipun demikian, PMK 22/PMK.02/2020 juga memberikan ruang bagi wajib pajak untuk mengajukan APA atas tahun pajak sebelum tahun pengajuan (roll back). Syaratnya, untuk tahun pajak tersebut, belum diterbitkan surat ketetapan pajak (SKP) atau melewati daluwarsa penetapan dan penagihan pajak.

Keempat, pemeriksa pajak dalam jangka waktu pengujian pemeriksaan mengajukan asistensi bimbingan teknis pemeriksaan dan reviu ke Kantor Wilayah DJP maupun ke Direktorat Pemeriksaan dan Penagihan Pajak serta membentuk tim pembahas sebagaimana diatur dalam SE-15/PJ/2018. Tujuannya, agar terdapat kesepahaman dari sisi fiskus dalam menerapkan prosedur pemeriksaan yang akurat atas transaksi afiliasi.

Solusi alternatif yang telah disebutkan di atas patut dipertimbangkan oleh wajib pajak dan fiskus, dalam kasus ini pemeriksa pajak, guna mengurangi jumlah sengketa pajak yang diajukan ke Pengadilan Pajak. Tercatat, berdasarkan data tahun 2019 dari Sekretariat Pengadilan Pajak, jumlah sengketa pajak yang diajukan ke Pengadilan Pajak telah mencapai 12.888 berkas.

Sengketa pajak yang berasal dari penetapan hasil pemeriksaan transfer pricing dan berujung di Pengadilan Pajak sungguh menguras energi pihak-pihak yang bersengketa, baik waktu maupun biaya. Padahal, semakin lama proses penyelesaian sengketa pajak, semakin lama pula wajib pajak merasakan ketidakpastian. Alasannya, sebagaimana diungkapkan oleh Septriadi (2019): “justice delayed means justice denied“.

Pakai e-Faktur, Dapat Notifikasi ETAX-4001? Ini Kata Kring Pajak

JAKARTA, KWANews – Saat menggunakan aplikasi e-Faktur, tidak jarang wajib pajak menemui kendala karena ada notifikasi error. Salah satu notifikasi yang sering ditemui adalah ETAX-4001.

Notifikasi ‘ETAX-4001: Tidak Dapat Menghubungi ETaxInvoice Server. Anda Harus Terhubung Dengan Internet Untuk Mengakses Service’ beberapa kali dikeluhkan wajib pajak. Terkait hal ini, contact center Ditjen Pajak (DJP), Kring Pajak, memberikan langkah-langkah yang bisa dilakukan wajib pajak.

“Silakan pastikan PC [komputer] terhubung internet. Apabila koneksi dengan proxy, pastikan sudah melakukan setting proxy aplikasi dengan benar di menu Referensi > Setting Aplikasi,” tulis Kring Pajak melalui Twitter, dikutip pada Jumat (18/9/2020).

Notifikasi error itu juga bisa dikarenakan sertifikat elektronik kedaluwarsa (expired) atau dicabut (revoke). Jika kondisi itu yang terjadi, wajib pajak perlu mengajukan permintaan sertifikat elektronik yang baru sesuai dengan PER-04/PJ/2020.

Seperti diketahui, permintaan sertifikat elektronik yang masa berlaku sertifikat elektroniknya akan habis atau telah habis, dapat dilakukan secara online pada laman e-Nofa (efaktur.pajak.go.id).

“Sertifikat elektronik baru lalu diunduh dan reimpor ke e-Faktur menu Referensi > Adm. Sertifikat,” imbuh Kring Pajak.

Apabila setelah dicek, sertifikat elektronik masih aktif, wajib pajak bisa mengunduh kembali dari e-Nofa. Langkah selanjutnya juga sama, yaitu melakukan reimpor ke e-Faktur menu Referensi > Adm. Sertifikat.

“Lalu coba tutup e-Faktur, refresh, kemudian akses kembali e-Faktur dan lakukan upload faktur kembali. Pastikan penamaan sertifikat elektronik setelah diunduh dan akan direimpor ke e-Faktur adalah [nomor NPWP].p12,” imbau Kring Pajak.

Sebagai informasi kembali, terkait dengan e-Faktur, DJP akan mulai mengimplementasikan e-Faktur 3.0 secara nasional mulai 1 Oktober 2020.

Pakai e-Faktur, Dapat Notifikasi ETAX-4001? Ini Kata Kring Pajak

JAKARTA, KWANews – Saat menggunakan aplikasi e-Faktur, tidak jarang wajib pajak menemui kendala karena ada notifikasi error. Salah satu notifikasi yang sering ditemui adalah ETAX-4001.

Notifikasi ‘ETAX-4001: Tidak Dapat Menghubungi ETaxInvoice Server. Anda Harus Terhubung Dengan Internet Untuk Mengakses Service’ beberapa kali dikeluhkan wajib pajak. Terkait hal ini, contact center Ditjen Pajak (DJP), Kring Pajak, memberikan langkah-langkah yang bisa dilakukan wajib pajak.

“Silakan pastikan PC [komputer] terhubung internet. Apabila koneksi dengan proxy, pastikan sudah melakukan setting proxy aplikasi dengan benar di menu Referensi > Setting Aplikasi,” tulis Kring Pajak melalui Twitter, dikutip pada Jumat (18/9/2020).

Notifikasi error itu juga bisa dikarenakan sertifikat elektronik kedaluwarsa (expired) atau dicabut (revoke). Jika kondisi itu yang terjadi, wajib pajak perlu mengajukan permintaan sertifikat elektronik yang baru sesuai dengan PER-04/PJ/2020.

Seperti diketahui, permintaan sertifikat elektronik yang masa berlaku sertifikat elektroniknya akan habis atau telah habis, dapat dilakukan secara online pada laman e-Nofa (efaktur.pajak.go.id).

“Sertifikat elektronik baru lalu diunduh dan reimpor ke e-Faktur menu Referensi > Adm. Sertifikat,” imbuh Kring Pajak.

Apabila setelah dicek, sertifikat elektronik masih aktif, wajib pajak bisa mengunduh kembali dari e-Nofa. Langkah selanjutnya juga sama, yaitu melakukan reimpor ke e-Faktur menu Referensi > Adm. Sertifikat.

“Lalu coba tutup e-Faktur, refresh, kemudian akses kembali e-Faktur dan lakukan upload faktur kembali. Pastikan penamaan sertifikat elektronik setelah diunduh dan akan direimpor ke e-Faktur adalah [nomor NPWP].p12,” imbau Kring Pajak.

Sebagai informasi kembali, terkait dengan e-Faktur, DJP akan mulai mengimplementasikan e-Faktur 3.0 secara nasional mulai 1 Oktober 2020.

Setelah Download e-Faktur 3.0, Jangan Lupa Lakukan Ini

JAKARTA, KWANews – Wajib pajak yang mulai menggunakan aplikasi e-Faktur 3.0 perlu melakukan backup database. Langkah ini dilakukan untuk mencegah terjadinya kesalahan (corrupt database).

Ditjen Pajak (DJP) mengatakan setelah mengunduh aplikasi versi terbaru e-Faktur 3.0, ada tiga file (ETaxInvoice, EtaxInvoiceMain, dan EtaxInvoiceUpd) yang harus disalin (copy) dan menggantikan (replacefile existing. Selanjutnya, wajib pajak dapat menjalankan ETaxInvoice.exe.

“Wajib pajak diminta untuk tetap melakukan backup data secara manual,” tulis DJP dalam laman resminya, dikutip pada Selasa (15/9/2020).

Jika sudah berhasil melakukan update ke versi 3.0, wajib pajak diminta untuk melakukan perubahan nama (renamefile ETaxInvoiceUpd.exe menjadi ETaxInvoiceUpd_backup.exe. Saat melakukan langkah ini, wajib pajak harus memastikan aplikasi dalam posisi tertutup.

‍DJP mengatakan harus tertutupnya aplikasi saat melakukan rename file adalah agar setiap kali aplikasi dibuka, backup otomatis tidak berjalan. Apalagi, proses tersebut biasanya membutuhkan waktu yang cukup lama apabila ukuran database-nya besar.

“Pastikan melakukan backup folder db secara manual dengan menutup aplikasi e-Faktur terlebih dahulu karena backup otomatisnya sudah tidak aktif,” imbuh DJP.

Terkait dengan update e-Faktur versi 3.0, DJP mengatakan langkah itu dilakukan baik di sisi server maupun client. 

Seperti diberitakan sebelumnya, implementasi nasional aplikasi e-Faktur 3.0 dilaksanakan pada 1 Oktober 2020. Seluruh wajib pajak berstatus pengusaha kena pajak (PKP) dapat mengunduh (download) aplikasi terbaru di https://efaktur.pajak.go.id.

Tax Planning, Lihat Kiat Menghemat Bayar Pajak di Sini!

Jika Anda memiliki perusahaan atau merupakan orang yang bertanggung jawab atas urusan perpajakan suatu perusahaan, maka Anda perlu memperhatikan artikel ini, lantaran akan membuka wawasan Anda tentang tax planning atau perencanaan pajak yang pasti dibutuhkan oleh seluruh perusahaan yang merupakan wajib pajak.

Perencanaan pajak merupakan hal penting yang perlu dilakukan perusahaan karena bagi perusahaan, pajak merupakan biaya atau beban yang akan mengurangi laba bersihnya. Dengan melakukan perencanaan pajak, perusahaan dapat terjauh dari risiko ketidakpatuhan perpajakan yang akan meminimalisir utang pajak yang tak terduga.

Pengertian Tax Planning dan Tujuannya

Tax planning atau perencanaan pajak adalah upaya mengurangi atau meminimalkan beban pajak yang harus dibayarkan kepada negara sehingga pajak yang dibayar tidak melebihi jumlah yang sebenarnya. Salah satu praktik dalam manajemen perpajakan ini dilakukan dengan tetap mematuhi perturan perpajakan yang berlaku alias legal.

Legal di sini, artinya penghematan pajak dilakukan dengan memanfaatakan hal-hal yang tidak diatur oleh undang-undang (loopholes) sehingga tidak ada pelanggaran konstitusi atau Undang-Undang Perpajakan yang berlaku.

Secara teoritis William H. Hoffman dalam buku berjudul The Accounting Review (1961) menyebutkan, tax planning merupakan upaya wajib pajak mendapat penghematan pajak (tax saving) melalui prosedur penghindaran pajak (tax avoidance) secara sistematis sesuai ketentuan UU Perpajakan.

Tax planning dilakukan antara lain untuk tujuan:

  • Memperkecil pengeluaran perusahaan untuk membayar pajak sehingga biaya yang dikeluarkan lebih efisien.
  • Memperhitungkan dan menyiapkan pembayaran pajak sesuai peraturan yang berlaku agar tidak timbul sanksi atau denda yang justru memperbeasr pengeluaran pajak.
  • Bukan untuk mengelak membayar pajak tetapi untuk mengatur agar pajak yang dibayar tidak lebih dari jumlah yang seharusnya.

Syarat Menjalankan Tax Planning

  1. Tidak melanggar pertauran perpajakan yang berlaku, karena bila melanggar akan menimbulkan risiko bagi wajib pajak yang justru membuat perencaan pajak gagal lantaran berpotensi menimbulkan denda atau sanksi pajak lainnya.
  2.  Tidak memalsukan bukti pendukung atau data lain yang dibutuhkan untuk membayar pajak.
  3. Masuk akal secara bisnis, karena jika tidak, tax planning akan melemahkan perencanaan itu sendiri.

Tahap Melakukan Tax Planning

1. Menganalisis Informasi yang Ada

Tahap pertama dari perencanaan pajak adalah menganalisis komponen yang berbeda atas pajak yang terlibat dalam suatu proyek dan menghitung seakurat mungkin beban pajak yang ditaanggung. Hal ini hanya bisa dilakukan dengan mempertimbangkan masing-masing elemen dari pajak, baik secara sendiri-sendiri maupun secara total pajak yang harus dapat dirumuskan sebagai perencanaan pajak yang paling efisien.

2. Buat Satu Model atau Lebih Rencana Besarnya Pajak

Pilih bentuk transaksi operasi atau hubungan internasional. Pada hampir semua sistem perpajakan internasional, paling tidak ada dua negara yang ditentukan lebih dahulu. Dari sudut pandang perpajakan, proses perencanaan tidak bisa berada di luar dari tahapan pemilihan transaksi, operasi, dan hubungan yang paling menguntungkan.

3. Evaluasi atas Perencanaan Pajak

Tax planning sebagai suatu perencanaan yang merupakan bagian kecil dari seluruh perencanaan strategis perusahaan. Oleh karena itu, perlu dilakukan evaluasi untuk melihat sejauh mana hasil pelaksanaan suatu perencanaan pajak terhadap beban pajak, perbedaan laba kotor, dan pengeluaran selain pajak atas berbagai alternatif perencaan.

4. Mencari Kelemahan Dan Kemudian Memperbaiki Kembali Rencana Pajak

Untuk mengatakan bahwa hasil suatu perencanaan pajak baik atau tidak, tentu harus dievaluasi melalui berbagai rencana yang dibuat. Tindakan perubahaan (up to date planning) harus tetap dijalankan walaupun diperlukan penambahan biaya atau kemungkinan keberhasilannya sangat kecil.

5. Memutakhirkan Rencana Pajak

Meskipun suatu rencana pajak telah dilaksanakan dan proyek juga telah berjalan, tetap perlu diperhitungkan setiap perubahan yang terjadi, baik dari undang-undang maupun pelaksanaannya sesuai negara di mana aktivitas tersebut dilakukan yang dapat berdampak terhadap komponen suatu perjanjian.

5 Skema Tax Planning

Pada umumnya, ada lima strategi yang biasa perusahaan lakukan dalam membuat perencanaan pajak:

Tax Avoidance

Tax avoidance atau penghindaran pajak merupakan upaya perusahaan menghhindari pengenaan pajak melalui transaksi yang bukan merupakan objek pajak. Contohnya, perusahaan mengubah tunjangan karyawan dalam bentuk uang menjadi natura karena natura bukan objek pajak PPh21. Upaya ini biasanya dilakukan oleh perusahaan yang masih mengalami kerugian.

Tax Saving

Upaya efisiensi beban pajak melalui pemilihan alternatif pengenaan pajak dengan tarif yang lebih rendah. Contohnya, perusahaan melakukan perubahan pemberian natura kepada karyawan menjadi tunjangan dalam bentuk uang.

Mengoptimalkan Kredit Pajak yang Diperkenankan

Kebanyakan wajib pajak badan kurang mengetahui bahwa mereka dapat mengkreditkan pajak yang sudah dipotong asalkan tidak menyimpang dari peraturan. Misalnya, Pajak Penghasilan (PPh) 22 atas pembelian solar dan/atau impor, PPh 23 atas penghasilan jasa atau sewa, serta pajak fiskal luar negeri atas perjalanan dinas pegawai.

Melakukan Penundaan dalam Membayar Kewajiban Pajak

Perusahaan sebagai wajib pajak dapat menunda pembayaran Pajak Pertambahan Nilai (PPn) dengan menunda penerbitan faktur pajak keluaran hingga batas waktu yang diperkenankan, khususnya untuk penjualan kredit. PPN dapat dibayar pada akhir bulan berikutnya setelah bulan penyerahan barang.

Menghindari Pelanggaran atas Peraturan Perpajakan

Wajib pajak badan harus menguasai peraturan pajak yang berlakuagar terhindar dari timbulnya sanksi perpajakan berupa sanksi administrasi, seperti denda, bunga, atau kenaikan, hingga sanksi pidana.

Jenis-Jenis Tax Planning

Jika dilihat dari jenisnya, perencanaan pajak dapat dibagi menjadi dua, yakni:

  • National Tax Planning yang praktiknya berpedoman pada Undang-Undang domestik. Perencanaan pajak jenis ini biasanya dilakukan oleh wajib pajak badan yang hanya memiliki usaha di Indonesia saja atau melakukan transaksi dengan wajib pajak dalam negeri saja
  • International Tax Planning, biasanya dilakukan oleh wajib pajak badan yang memiliki kegiatan usaha di dalam negeri dan di luar negeri. Perencanaan pajak ini dilakukan jika wajib pajak melakukan transaksi tak hanya dengan wajib pajak dalam negeri, tetapi juga dengan wajib pajak di luar negeri. Berbeda dengan National Tax Planning, International Tax Planning harus turut memperhatikan Undang-Undang atau perjanjian pajak (Tax Treaty) dari negara-negara yang ikut terlibat

Aplikasi berbasis website ini dapat dapat melacak dan menyimpan semua laporan-laporan pajak dalam server OnlinePajak. Dengan sistem ini, semua data pada laporan pajak sebelumnya dapat diimpor dan digunakan kembali untuk masa pajak berikutnya.  

Sistem ini juga dapat mengkalkulasi pajak Anda secara otomatis, sesuai dengan tarif yang berlaku. Jika ada perubahan regulasi dari Dirjen Pajak, maka sistem akan memperbarui tarif pajak agar sesuai dengan peraturan pemerintah yang terbaru. Terakhir, Anda dapat memproses beragam jenis pajak yang harus ditanggung oleh WP Badan.

KWA Consulting adalah salah satu perusahaan Jasa konsultan Pajak professional di Indonesia yang menyediakan layanan dengan cakupan luas di bidang konsultasi Pajak, Akutansi, Keuangan dan Pembukuan Perusahaan.
Contact Detail
Whatsapp: +62 81808328841
Email: admin@kwa-consulting.id
Podomoro Golf View Tower Dahoma

Jl. Raya Bojong Nangka, Bojong Nangka, Kec. Gn. Putri, Kabupaten Bogor 16963.

Office Hour

Monday - Friday,
08:00 17:00