Info

Perlakuan Pajak atas Akrual Biaya Bunga Pinjaman

Pertanyaan:

PERKENALKAN, nama saya Puteri, staf akuntansi di suatu perusahaan pembuat alat fotografi. Pada bulan ini, kami mendapatkan fasilitas kredit investasi dari sindikasi bank swasta dengan tenor 20 tahun yang harus kami bayar cicilannya ditambah bunga pinjaman pada bulan September setiap tahunnya.

Sekalipun pada tahun ini belum ada pembayaran cicilan beserta bunga pinjamannya, perusahaan kami akan mencatat akrual biaya bunga pinjaman per akhir tahun dalam pembukuan.

Pertanyaan saya, atas akrual biaya bunga pinjaman yang muncul dalam pembukuan kami, apakah hal tersebut merupakan objek PPh Pasal 23? Kemudian, bagaimana perlakuan atas akrual biaya bunga pinjaman tersebut dalam Surat Pemberitahuan (SPT) pajak penghasilan (PPh) badan?

Puteri, Depok.

Jawaban:

Terima kasih Mbak Puteri atas pertanyaannya. Penghasilan bunga merupakan salah satu penghasilan objek PPh Pasal 23 yang diatur dalam Pasal 23 ayat (1) huruf a UU PPh. Berikut bunyi pasal tersebut:

Atas penghasilan tersebut di bawah ini dengan nama dan dalam bentuk apa pun yang dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempo pembayarannya oleh badan pemerintah, subjek pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap, dipotong pajak oleh pihak yang wajib membayarkan:

a. sebesar 15% (lima belas persen) dari jumlah bruto atas:

  1. dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf g;
  2. bunga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf f;
  3. royalti; dan
  4. hadiah, penghargaan, bonus, dan sejenisnya selain yang telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf e;”

Adapun saat pemotongan PPh Pasal 23 diatur dalam Pasal 15 ayat (3) Peraturan Pemerintah No. 94 Tahun 2010 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan dalam Tahun Berjalan yang telah diubah dengan Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 2019 (PP 45/2019) sebagai berikut:

Pemotongan Pajak Penghasilan oleh pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) dan ayat (3) Undang­Undang Pajak Penghasilan, dilakukan pada akhir bulan:

  1. dibayarkannya penghasilan;
  2. disediakan untuk dibayarkannya penghasilanatau
  3. jatuh temponya pembayaran penghasilan yang bersangkutan,

tergantung peristiwa yang terjadi terlebih dahulu.”

Selanjutnya, penjelasan Pasal 15 ayat (3) PP 45/2019 mengatur:

Saat terutangnya Pajak Penghasilan Pasal 23 Undang-Undang Pajak Penghasilan adalah pada saat pembayaran, saat disediakan untuk dibayarkan (seperti: dividen) dan jatuh tempo (seperti: bunga dan sewa), saat yang ditentukan dalam kontrak atau perjanjian atau faktur (seperti: royalti, imbalan jasa teknik atau jasa manajemen atau jasa lainnya)…”

Dalam kasus perusahaan Bapak, biaya bunga dalam pembukuan muncul karena adanya akrual sesuai dengan standar akuntansi dan bukan terjadi karena adanya pembayaran ataupun karena telah jatuh tempo. Dengan demikian, bunga tersebut bukan merupakan objek pemotongan PPh Pasal 23.

Hal yang sama juga berlaku terkait dengan perlakuan akrual biaya bunga pinjaman dalam SPT PPh badan. Dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a UU PPh mengatur:

“Besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap, ditentukan berdasarkan penghasilan bruto dikurangi biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, termasuk:

a. biaya yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan kegiatan usaha….”

Selanjutnya, penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf a UU PPh mengatur:

Biaya-biaya yang dimaksud pada ayat ini lazim disebut biaya sehari-hari yang boleh dibebankan pada tahun pengeluaran.

Untuk dapat dibebankan sebagai biaya, pengeluaran-pengeluaran tersebut harus mempunyai hubungan langsung maupun tidak langsung dengan kegiatan usaha atau kegiatan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang merupakan objek pajak.

Dengan demikian, pengeluaran-pengeluaran untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang bukan merupakan objek pajak tidak boleh dibebankan sebagai biaya….”

Berdasarkan pada Pasal 6 ayat (1) huruf a UU PPh beserta penjelasannya, suatu biaya boleh menjadi pengurang penghasilan bruto pada tahun pengeluarannya. Dalam kasus ini, akrual biaya bunga pinjaman tidak dapat dijadikan pengurang penghasilan bruto karena biaya tersebut tidak benar-benar dikeluarkan, tetapi hanya pencatatan agar sesuai dengan standar akuntansi yang berlaku. Dengan demikian, akrual biaya bunga pinjaman yang dicatat dalam pembukuan perusahaan Bapak harus dikoreksi fiskal.

Demikian jawaban kami. Semoga membantu.

Mau Login e-Faktur Web Based? DJP Imbau Anda Pastikan Ini Dulu

JAKARTA, KWANews – Saat akan masuk (logine-faktur web based, pengusaha kena pajak (PKP) harus terlebih dahulu memastikan sertifikat elektronik telah terpasang pada browser.

Ditjen Pajak (DJP) menegaskan e-faktur web based dapat diakses oleh pengguna e-faktur 3.0 untuk pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) masa pajak September 2020Seperti diketahui, mulai 1 Oktober 2020, pemerintah mengimplementasikan e-faktur 3.0 secara nasional.

“Pastikan bahwa Anda telah melakukan instalasi sertifikat elektronik pada browser yang Anda gunakan,” tulis DJP dalam laman resminya, dikutip pada Jumat (9/10/2020).

Sertifikat elektronik adalah sertifikat yang bersifat elektronik yang memuat tanda tangan elektronik dan identitas yang menunjukkan status subjek hukum para pihak dalam transaksi elektronik yang dikeluarkan oleh DJP atau penyelenggara sertifikasi elektronik.

Instalasi sertifikat elektronik ini, sambung DJP, menggunakan cara yang sama ketika instalasi sertifikat elektronik pada browser untuk permintaan nomor seri faktur pajak (NSFP) secara online. Anda dapat melihat panduannya di laman https://efaktur.pajak.go.id/resources/manual.pdf.

“Pastikan sertifikat elektronik sudah ter-install di browser Anda dan belum expired,” imbuh DJP.

Saat membuka e-faktur web based, lanjut DJP, PKP akan diminta untuk memilih sertifikat elektronik (jika lebih dari 1 sertifikat elektronik, pilih 1 yang sesuai). Kemudian, nama dan NPWP akan muncul. Setelah itu, PKP bisa memasukan password e-Nofa yang sesuai.

Dalam hal instalasi sertifikat elektronik dilakukan setelah membuka https://web-efaktur.pajak.go.id, DJP mengimbau agar PKP menutup browser terlebih dahulu kemudian dibuka kembali. Langkah ini perlu dilakukan agar PKP bisa login.

Makna Positif Klaster Perpajakan dalam UU Cipta Kerja

TANGGAL 5 Oktober 2020, DPR telah mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja menjadi undang-undang (UU) dalam sidang paripurna. Materi UU Cipta Kerja mencakup 76 undang-undang yang terdiri atas 15 bab dan 186 pasal.

UU Cipta Kerja tersebut memiliki berbagai tujuan, antara lain menciptakan dan meningkatkan lapangan kerja, penyesuaian berbagai aspek pengaturan yang berkaitan dengan ekosistem investasi dan sebagainya. Secara khusus, UU Cipta Kerja bermanfaat dalam mendorong pemulihan ekonomi, mendukung transformasi ekonomi untuk menghindari middle income trap, peningkatan daya saing investasi, dan menekan ekonomi biaya tinggi.

UU ini turut mencakup klaster perpajakan sebagaimana tercantum pada Bab VI Bagian Ketujuh yang berisi 4 pasal, yaitu Pasal 111, 112, 113, dan 114. Klaster perpajakan mengatur tentang perubahan dan/atau penambahan pasal pada UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), UU Pajak Penghasilan (PPh), UU Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPn BM), serta UU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD).

Penting untuk kita apresiasi bahwa diikutsertakannya klaster perpajakan dalam UU Cipta Kerja telah memperlihatkan langkah jitu pemerintah. Setidaknya, terdapat empat hal yang dapat kita maknai.

Pertama, adanya klaster perpajakan merupakan langkah strategis sekaligus antisipatif dari pemerintah dengan adanya tekanan ekonomi akibat Covid-19.

Melalui UU Cipta Kerja ini pemerintah telah mempersiapkan landasan strategi relaksasi di fase setelah pandemi. Pasalnya, bahkan di tengah pandemi ini mulai terdapat tren pergeseran tujuan insentif di banyak negara. Tujuannya tidak hanya mendorong likuiditas perusahaan dan rumah tangga, namun juga bagaimana mendorong pertumbuhan ekonomi dan investasi di masa depan (Sarfo, 2020).

Kita juga tidak boleh mengabaikan fakta bahwa pada fase pascakrisis keuangan global 2008, kompetisi pajak memperebutkan modal dan sumber daya manusia (SDM) unggul juga kian intens (OECD, 2018). Oleh karena itu, kehadiran klaster perpajakan dalam UU Cipta Kerja akan menjadi komponen penting bagi kestabilan ekonomi jangka menengah-panjang.

Kedua, pembenahan di area pajak merupakan bagian tidak terpisahkan dari upaya menciptakan iklim usaha yang mendukung penciptaan lapangan kerja. Artinya, kolaborasi setiap sektor -termasuk perpajakan- secara serentak dan komprehensif akan memiliki signifikansi yang lebih kuat dalam memperbaiki iklim usaha di Indonesia.

Tidak hanya itu, diikutsertakannya klaster perpajakan dalam UU Cipta Kerja akan menciptakan sinyal bagi seluruh komponen masyarakat bahwa pemerintah ‘tidak setengah-setengah’. Dengan demikian, ekspektasi publik akan optimisme ekonomi di masa mendatang akan meningkat terutama di tengah pandemi.

Ketiga, langkah inisejalan dengan Rencana Strategis (Renstra) Kementerian Keuangan (PMK 77/2020) dan Rencana Strategis (Renstra) Direktorat Jenderal Pajak (DJP) 2020-2024 (KEP-389/PJ/2020), khususnya mengenai pengelolaan fiskal yang sehat dan berkelanjutan. Sebagai informasi, Renstra DJP turut mencakup pengaturan atas insentif fiskal dan prosedural guna memulihkan ekonomi serta penyempurnaan peraturan di bidang fiskal yang notabene tersirat dalam UU Cipta Kerja.

Secara umum, pembenahan sebagaimana tertera pada klaster perpajakan juga akan berdampak bagi kepatuhan pajak secara sukarela. Hal ini akan berdampak positif bagi penerimaan pajak yang lebih optimal di masa yang akan datang.

Keempat, pengaturan aspek pajak yang terdapat dalam UU Cipta Kerja pada dasarnya mendukung apa yang menjadi asas dari UU Cipta Kerja, yaitu untuk kemudahan berusaha dan kepastian hukum.

Substansi Klaster Perpajakan

Pada dasarnya, klaster perpajakan yang tercakup dalam UU Cipta Kerja tidak berbeda dengan komponen yang sebelumnya akan diatur melalui Omnibus Lau Ketentuan dan Fasilitas Perpajakan untuk Penguatan Perekonomian.

Dari rencana awal, terdapat dua komponen yang telah diatur dalam Perppu No. 1 Tahun 2020 sebagaimana telah diundangkan melalui UU No. 2 Tahun 2020, yaitu penurunan tarif PPh Badan dan pengenaan pajak digital. Selebihnya kemudian diatur melalui UU Cipta Kerja, sebagaimana uraian umum berikut.

Pertama, pengecualian pajak dividen dalam negeri yang diterima oleh orang pribadi. Syaratnya, dividen tersebut harus diinvestasikan di wilayah Indonesia dalam jangka waktu tertentu. Klausul ini mengubah sistem pemajakan Indonesia dari sistem classical menjadi one-tier system. Dengan demikian, akan mencegah beban pajak berganda dan menurunkan tarif efektif bagi investor Indonesia.Singkatnya, iklim investasi akan lebih menarik.

Kedua, adanya pengecualian atas pengenaan dividen luar negeri dengan syarat tertentu. Secara tidak langsung, terdapat pergeseran dari sistem pajak internasional Indonesia. Dari yang sebelumnya dominan ke arah worldwide menjadi semi-territorial . Aspek terpenting dari klausul ini ialah adanya persyaratan untuk membawa kembali modal ke dalam negeri yang notabene mencegah adanya dana yang diparkir di luar negeri (lock-out capital).

Ketiga, penyesuaian tarif PPh Pasal 26 atas penghasilan bunga. Harus diakui bahwa dengan struktur tarif withholding tax yang berlaku saat ini, kegiatan pendanaan melalui pinjaman oleh investor luar negeri cenderung kurang menarik. Dengan adanya UU Cipta Kerja, tarif PPh Pasal 26 atas bunga diturunkan.

Keempat, penegasan atas pengaturan status subjek pajak dalam negeri (SPDN) dan subjek pajak luar negeri (SPLN), serta adanya rezim ekspatriat. Selain memberikan kepastian hukum, klausul ini akan mendorong adanya ketersedian SDM unggul di dalam wilayah Indonesia.

Kelima, adanya relaksasi ketentuan PPN termasuk pengkreditan pajak masukan PPN. Relaksasi dalam hal pengkreditan pajak masukan PPN secara tidak langsung akan turut mewujudkan penghormatan atas hak-hak wajib pajak. Menariknya, oleh IMF dan OECD (2017), penghormatan hak-hak wajib pajak turut mendorong kepastian dan meningkatkan investasi.

Keenam, adanya perubahan atas besaran sanksi serta aspek imbalan bunga dalam UU KUP. Penyesuaian berbagai sanksi maupun imbalan bunga akan merefleksikan aspek proporsionalitas yang pada akhirnya menciptakan kepastian hukum. Di sisi lain, aspek ini juga akan turut mengurangi biaya kepatuhan sehingga mendorong kepatuhan pajak secara sukarela.

Selain keenam aspek di atas, terdapat pengaturan atas sinkronisasi pajak daerah sebagaimana diatur dalam Pasal 114 UU Cipta Kerja.

Sebagai penutup, diikutsertakannya klaster perpajakan dalam UU Cipta Kerja pada hakikatnya merupakan strategi yang jitu. Selain menjadi bagian tidak terpisahkan dari ekosistem investasi dalam rangka penciptaan lapangan kerja, pembenahan atas aspek pajak merefleksikan asas kepastian hukum dan kemudahan berusaha yang menjadi ruh UU Cipta Kerja. Selamat datang rezim pajak baru!

Ingat, e-Faktur 2.2 Bakal Ditutup Hari Ini

JAKARTA, KWANews – Mulai hari ini, Senin (5/10/2020), pengusaha kena pajak (PKP) tidak dapat lagi menggunakan e-faktur 2.2. Hal ini dikarenakan Ditjen Pajak (DJP) sudah mengimplementasikan e-faktur 3.0 secara nasional.

Dengan demikian, menurut Direktur Teknologi Informasi dan Komunikasi DJP Iwan Djuniardi mengatakan pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Masa pajak pertambahan nilai (PPN) mulai masa September 2020 sudah menggunakan e-faktur web based.

“Per 5 Oktober [2020], [penggunaan] DJP Online untuk melakukan upload SPT Masa PPN sudah akan kami tutup. Jadi, nanti lapor SPT Masa PPN, mulai masa September [2020], wajib pajak menggunakan e-faktur [web based],” ujarnya dalam media briefing pekan lalu, dikutip pada Senin (5/10/2020).

Namun demikian, sambung Iwan, pelaporan atau pembetulan SPT Masa PPN untuk masa pajak sebelum September 2020 masih bisa dilakukan dengan upload comma separated value (CSV) melalui DJP Online.

Adapun fitur tambahan yang ada dalam aplikasi e-faktur 3.0 antara lain prepopulated pajak masukan, prepopulated pemberitahuan impor barang (PIB), prepopulated SPT, dan sinkronisasi kode cap fasilitas.

Otoritas mengatakan pada aplikasi e-faktur 2.2, setiap kali PKP memperoleh faktur pajak atas perolehan barang kena pajak (BKP) atau jasa kena pajak (JKP) dari lawan transaksi, mereka harus melakukan input secara manual (key-in) melalui skema impor.

Dengan adanya e-faktur 3.0, otoritas akan menyediakan data pajak masukan by system. Dengan demikian, PKP tidak lagi perlu melakukan input secara manual ke aplikasi e-faktur.

E-faktur versi 3 berbeda dengan e-faktur versi sebelumnya. Di dalam e-faktur versi 3 ini, pelaporan SPT Masa dan sistem e-faktur menjadi satu,”

Soal e-Faktur 3.0, Lapor SPT Masih Bisa Lewat PJAP? Ini Kata DJP

JAKARTA, KWANews – Wajib pajak pengguna layanan dari Penyedia Jasa Aplikasi Perpajakan (PJAP) tetap bisa memanfaatkan aplikasi e-Faktur 3.0.

Direktur Teknologi Informasi dan Komunikasi Ditjen Pajak (DJP) Iwan Djuniardi mengatakan pembuatan surat pemberitahuan (SPT) masa pajak pertambahan nilai (PPN) melalui PJAP bisa dilakukan dengan basis data dari e-Faktur 3.0.

“Jadi dalam pembuatan SPT lewat PJAP bisa menggunakan aplikasi e-Faktur 3.0,” katanya, Rabu (23/9/2020).

Iwan menuturkan sistem e-Faktur dan e-SPT yang dimiliki PJAP sudah terhubung secara real time  dengan server DJP. Dengan demikian, data yang disajikan dalam sistem PJAP tidak berbeda dengan layanan resmi DJP seperti e-Faktur 3.0 dan e-SPT PPN.

Aplikasi e-Faktur 3.0, sambung dia, justru belum bisa digunakan untuk wajib pajak yang sudah melakukan integrasi data perpajakan dengan DJP. Intergrasi data host-to-host e-Faktur dengan BUMN misalnya, belum mengakomodasi e-Faktur 3.0.

“Jadi betul untuk e-Faktur host-to-host yang belum bisa [e-Faktur 3.0],” imbuh Iwan.

Seperti diberitakan sebelumnya, fitur tambahan yang ada dalam aplikasi e-Faktur 3.0 antara lain prepopulated pajak masukan, prepopulated pemberitahuan impor barang (PIB), prepopulated surat pemberitahuan (SPT), dan sinkronisasi kode cap fasilitas.

Uji coba aplikasi e-Faktur 3.0 sudah dilakukan secara bertahap mulai Februari 2020. Implementasi secara nasional akan dilakukan mulai 1 Oktober 2020. 

Implementasi secara nasional e-Faktur 3.0 diyakini mampu mempersempit celah pelanggaran hukum terkait dengan PPN. Salah satu pelanggaran yang sering ditemui dan ditindak DJP adalah penerbitan faktur pajak fiktif.

Soal e-Faktur 3.0, Lapor SPT Masih Bisa Lewat PJAP? Ini Kata DJP

JAKARTA, KWANews – Wajib pajak pengguna layanan dari Penyedia Jasa Aplikasi Perpajakan (PJAP) tetap bisa memanfaatkan aplikasi e-Faktur 3.0.

Direktur Teknologi Informasi dan Komunikasi Ditjen Pajak (DJP) Iwan Djuniardi mengatakan pembuatan surat pemberitahuan (SPT) masa pajak pertambahan nilai (PPN) melalui PJAP bisa dilakukan dengan basis data dari e-Faktur 3.0.

“Jadi dalam pembuatan SPT lewat PJAP bisa menggunakan aplikasi e-Faktur 3.0,” katanya, Rabu (23/9/2020).

Iwan menuturkan sistem e-Faktur dan e-SPT yang dimiliki PJAP sudah terhubung secara real time  dengan server DJP. Dengan demikian, data yang disajikan dalam sistem PJAP tidak berbeda dengan layanan resmi DJP seperti e-Faktur 3.0 dan e-SPT PPN.

Aplikasi e-Faktur 3.0, sambung dia, justru belum bisa digunakan untuk wajib pajak yang sudah melakukan integrasi data perpajakan dengan DJP. Intergrasi data host-to-host e-Faktur dengan BUMN misalnya, belum mengakomodasi e-Faktur 3.0.

“Jadi betul untuk e-Faktur host-to-host yang belum bisa [e-Faktur 3.0],” imbuh Iwan.

Seperti diberitakan sebelumnya, fitur tambahan yang ada dalam aplikasi e-Faktur 3.0 antara lain prepopulated pajak masukan, prepopulated pemberitahuan impor barang (PIB), prepopulated surat pemberitahuan (SPT), dan sinkronisasi kode cap fasilitas.

Uji coba aplikasi e-Faktur 3.0 sudah dilakukan secara bertahap mulai Februari 2020. Implementasi secara nasional akan dilakukan mulai 1 Oktober 2020. 

Implementasi secara nasional e-Faktur 3.0 diyakini mampu mempersempit celah pelanggaran hukum terkait dengan PPN. Salah satu pelanggaran yang sering ditemui dan ditindak DJP adalah penerbitan faktur pajak fiktif.

KWA Consulting adalah salah satu perusahaan Jasa konsultan Pajak professional di Indonesia yang menyediakan layanan dengan cakupan luas di bidang konsultasi Pajak, Akutansi, Keuangan dan Pembukuan Perusahaan.
Contact Detail
Whatsapp: +62 81808328841
Email: admin@kwa-consulting.id
Podomoro Golf View Tower Dahoma

Jl. Raya Bojong Nangka, Bojong Nangka, Kec. Gn. Putri, Kabupaten Bogor 16963.

Office Hour

Monday - Friday,
08:00 17:00