Info

PPh Dividen Terlanjur Dipotong, DJP Bilang Bisa Restitusi

JAKARTA, KWANews – Ditjen Pajak (DJP) menyebutkan pajak penghasilan (PPh) atas dividen yang terlanjur dipungut setelah berlakunya UU No. 11/2020 tentang Cipta Kerja pada 2 November 2020 bisa diajukan restitusi.

Direktur Peraturan Perpajakan II DJP Yunirwansyah menjelaskan permohonan restitusi bisa diajukan sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 187/2015 mengenai pengembalian kelebihan pembayaran pajak seharusnya tidak terutang.

“Atas dividen yang diterima atau diperoleh WP dalam negeri sejak berlakunya UU No. 11/ 2020 yang dikecualikan dari objek pajak yang telah dilakukan pemotongan PPh, dapat diajukan permohonan pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang dengan tata cara sebagaimana dimaksud pada angka 2 huruf e [PMK No. 187/2015],” sebut Yunirwansyah dalam Nota Dinas No. ND-93/PJ/PJ.03/2020, dikutip Senin (11/1/2021).

Pada masa transisi sejak UU Cipta Kerja berlaku dan sebelum diterbitkannya PMK yang memerinci ketentuan mengenai pengecualian dividen dari pengenaan PPh, DJP menetapkan dividen dalam negeri yang diterima oleh wajib pajak orang pribadi tetap dipotong PPh sesuai dengan ketentuan.

Khusus untuk dividen dari dalam negeri yang diterima oleh wajib pajak badan dalam negeri, DJP menetapkan tidak ada pemotongan PPh. Kemudian, pemotong PPh pun tidak perlu memiliki surat keterangan bebas (SKB).

Untuk diketahui, ND-93/PJ/PJ.03/2020 diterbitkan mengingat banyaknya pertanyaan mengenai kewajiban pemotongan PPh atas dividen yang diterima oleh wajib pajak orang pribadi dan wajib pajak badan sebagaimana berlaku pada UU No. 11/2020.

Namun, hingga saat ini belum ada PMK yang memerinci ketentuan tersebut. “Agar ada keseragaman dan kepastian dalam operasional di lapangan perlu diberikan penegasan,” tulis DJP dalam nota dinas tersebut.

Untuk saat ini, DJP menjabarkan PMK terkait dengan tata cara pengecualian, kriteria investasi, dan jangka waktu investasi atas dividen yang dikecualikan dari pengenaan PPh masih dalam tahap finalisasi.

Sengketa Pajak Penetapan Jasa Pelayanan Kecantikan Sebagai Objek PPN

RESUME Putusan Peninjauan Kembali (PK) ini merangkum sengketa pajak mengenai penetapan jasa pelayanan kecantikan sebagai objek pajak pertambahan nilai (PPN). Dalam perkara ini, wajib pajak memiliki usaha yang bergerak di bidang jasa pelayanan kecantikan.

Otoritas pajak menyatakan jasa pelayanan kecantikan tidak termasuk dalam pengertian jasa pelayanan kesehatan medis yang dikecualikan dari pemungutan PPN. Sebab, dalam penjelasan Pasal 4A ayat (3) huruf a Undang-Undang No. 8 Tahun 1983 s.t.d.d. Undang-Undang No. 18 Tahun 2000 (UU PPN) tidak menyebutkan jasa pelayanan kecantikan tergolong jasa pelayanan kesehatan medis yang tidak dipungut PPN.

Sebaliknya, wajib pajak menilai jasa pelayanan kecantikan dapat dikategorikan sebagai jasa pelayanan kesehatan medis yang dikecualikan dari pemungutan PPN.

Pada tingkat banding, Majelis Hakim Pengadilan Pajak memutuskan mengabulkan seluruhnya permohonan banding yang diajukan wajib pajak. Selanjutnya, di tingkat PK, Mahkamah Agung menolak permohonan PK yang diajukan oleh otoritas pajak.

Apabila tertarik membaca putusan ini lebih lengkap, kunjungi laman Direktori Putusan Mahkamah Agung atau di sini.

Kronologi
WAJIB pajak mengajukan banding ke Pengadilan Pajak atas keberatannya terhadap penetapan otoritas pajak. Dalam putusan banding, Majelis Hakim Pengadilan Pajak berpendapat jasa pelayanan kecantikan yang dilakukan oleh dokter atau ahli yang mempunyai izin praktik termasuk kategori jasa pelayanan kesehatan medis yang dikecualikan dari pemungutan PPN.

Lebih lanjut, salah satu Hakim Pengadilan Pajak, selanjutnya disebut hakim A, memberikan dissenting opinion atas kasus ini. Hakim A menyatakan jasa pelayanan kecantikan tidak termasuk dalam definisi jasa pelayanan kesehatan medis.

Sebab, jasa pelayanan kesehatan medis hanya diberikan kepada seseorang yang sakit, baik secara fisik, mental, dan spiritual untuk nantinya dapat hidup dengan produktif. Sementara pihak yang datang ke klinik kecantikan merupakan seseorang yang sehat dan tetap dapat melakukan hal produktif meskipun dalam masa perawatan kecantikan.

Selanjutnya, terhadap permohonan banding tersebut, Majelis Hakim Pengadilan Pajak memutuskan mengabulkan seluruhnya permohonan banding yang diajukan wajib pajak. Dengan keluarnya Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put. 59940/PP/M.VA/16/2015 tanggal 5 Maret 2015otoritas pajak mengajukan upaya hukum PK secara tertulis ke Kepaniteraan Pengadilan Pajak pada 23 Juli 2015.

Pokok sengketa dalam perkara ini adalah koreksi dasar pengenaan pajak (DPP) PPN atas penyerahan jasa pelayanan kecantikan masa pajak Juni 2008 senilai Rp179.451.136 yang tidak dipertahankan oleh Majelis Hakim Pengadilan Pajak.

Pendapat Pihak yang Bersengketa
Pemohon PK menyatakan keberatan atas pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Pajak. Perlu dipahami, Termohon PK memiliki usaha yang bergerak di bidang jasa pelayanan kecantikan.

Menurut Pemohon PK, jasa pelayanan kecantikan tidak termasuk dalam pengertian jasa pelayanan kesehatan medis yang dikecualikan dari pemungutan PPN. Sebab, penjelasan Pasal 4A ayat (3) huruf a UU PPN tidak menyebutkan jasa pelayanan kecantikan sebagai salah satu objek yang tidak dipungut PPN.

Dalam penjelasan Pasal 4A ayat (3) huruf a UU PPN mengatur jasa pelayanan kesehatan medis meliputi jasa dokter umum, jasa dokter spesialis, jasa dokter gigi, jasa dokter hewan, jasa ahli kesehatan akupuntur, ahli gigi, dan ahli fisioterapi.

Selain itu, terdapat jasa kebidanan dan dukun bayi, jasa paramedis dan perawat, jasa rumah sakit, rumah bersalin, klinik kesehatan, laboratorium dan sanatorium, jasa psikolog, jasa psikiater, dan jasa pengobatan alternatif yang juga dikecualikan dari pemungutan PPN.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, kesehatan diartikan sebagai keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spiritual, ataupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomi. Dalam konteks ini, seseorang yang datang ke klinik kecantikan memiliki tingkat kesehatan yang baik dan tetap dapat hidup secara produktif.

Berdasarkan pertimbangan di atas, penyerahan jasa pelayanan kecantikan yang dilakukan Termohon PK tetap dipungut PPN. Koreksi yang dilakukan Pemohon PK sudah tepat dan seharusnya dipertahankan.

Termohon PK menyatakan tidak setuju dengan koreksi Pemohon PK. Termohon PK menilai penyerahan jasa pelayanan kecantikan termasuk kategori jasa pelayanan kesehatan medis yang dikecualikan dari pemungutan PPN. Dengan demikian, koreksi yang dilakukan Pemohon PK tidak dapat dipertahankan.

Pertimbangan Mahkamah Agung
MAHKAMAH Agung berpendapat alasan-alasan permohonan PK tidak dapat dibenarkan. Putusan Pengadilan Pajak yang menyatakan mengabulkan seluruhnya permohonan banding sehingga pajak yang masih harus dibayar menjadi nihil sudah tepat. Terdapat dua pertimbangan hukum Mahkamah Agung sebagai berikut.

Pertama, koreksi DPP PPN atas penyerahan jasa pelayanan kecantikan masa pajak Juni 2008 senilai Rp179.451.136 tidak dapat dibenarkan. Setelah meneliti dan menguji kembali dalil-dalil yang diungkapkan dalam persidangan oleh para pihak, pendapat Pemohon PK tidak dapat menggugurkan fakta-fakta dan melemahkan bukti-bukti yang terungkap dalam persidangan serta pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Pajak.

Kedua, dalam perkara a quo, pada dasarnya klinik kecantikan adalah salah satu sarana pelayanan kesehatan yang bersifat rawat jalan. Klinik kecantikan tersebut menyediakan konsultasi, pemeriksaan, pengobatan, dan tindakan medis untuk mencegah dan mengatasi berbagai kondisi atau penyakit yang terkait dengan kecantikan seseorang.

Perawatan kecantikan tersebut diberikan oleh tenaga medis sesuai dengan keahlian dan kewenangannya. Menurut Majelis Hakim Agung, penyerahan jasa pelayanan kecantikan termasuk jasa layanan medis yang dikecualikan dari objek PPN. Oleh karena itu, koreksi yang dilakukan Pemohon PK tidak sesuai dengan peraturan perpajakan yang berlaku.

Berdasarkan pertimbangan di atas, permohonan PK dinyatakan sebagai pihak yang kalah dan dihukum untuk membayar biaya perkara. Dengan demikian, Pemohon PK dinyatakan sebagai pihak yang kalah dan dihukum untuk membayar biaya perkara.

DJP: Meterai Tempel Lama Masih Berlaku

JAKARTA, KWANews – Ditjen Pajak (DJP) menegaskan meterai tempel yang lama masih berlaku hingga 31 Desember 2021.

Melalui akun Instagram, DJP menegaskan tarif tunggal bea meterai senilai Rp10.000 sudah berlaku saat ini. Hal ini sesuai dengan ketentuan yang diamanatkan dalam UU Nomor 10 Tahun 2020 tentang Bea Meterai. Namun demikian, pemerintah memberikan masa transisi hingga akhir tahun ini.

“Bea meterai sudah berlaku satu tarif Rp10.000! Untuk meterai tempel yang lama masih berlaku sampai dengan 31 Desember 2021,” tulis DJP, Senin (4/1/2021).

Otoritas pajak menyatakan meterai tempel edisi 2014 yang masih tersisa dapat digunakan untuk pembayaran bea meterai. Namun, penggunaan meterai tempel lama itu paling sedikit Rp9.000. Artinya, wajib pajak bisa menggunakan meterai Rp3.000 dan Rp6.000 secara sekaligus, 2 meterai tempel Rp6.000, atau 3 meterai tempel Rp3.000.

Sesuai dengan ketentuan Pasal 2 UU Nomor 10 Tahun 2020, pengaturan bea meterai dilaksanakan berdasarkan asas kesederhanaan, efisiensi, keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan. Ada sejumlah tujuan pengaturan bea meterai yang dimuat dalam pasal tersebut.

Pertama, mengoptimalkan penerimaan negara guna membiayai pembangunan nasional secara mandiri menuju masyarakat Indonesia yang sejahtera. Kedua, memberikan kepastian hukum dalam pemungutan bea meterai.

Ketiga, menyesuaikan dengan kebutuhan masyarakat. Keempat, menerapkan pengenaan bea meterai secara lebih adil. Kelima, menyelaraskan ketentuan bea meterai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

UU Nomor 10 Tahun 2020 juga memerinci ketentuan pidana atas praktik-praktik kejahatan yang berhubungan dengan bea meterai. Meterai yang baru ini mengatur secara tegas lama tahun pidana penjara dan nominal pidana denda yang dikenakan atas orang-orang yang melakukan tindak kejahatan bea meterai.

Sengketa Biaya Bunga, Kewajaran Transaksi, & Reklasifikasi Objek Pajak

RESUME Putusan Peninjauan Kembali (PK) ini merangkum sengketa pajak mengenai biaya bunga pinjaman, kewajaran transaksi dengan pihak afiliasi, dan reklasifikasi objek PPh Pasal 23 menjadi PPh Pasal 4 ayat (2). Dalam perkara ini, wajib pajak melakukan transaksi pinjaman dan penyerahan jasa dengan pihak yang memiliki hubungan istimewa.

Otoritas pajak melakukan koreksi sebab biaya bunga berasal dari pinjaman sejumlah dana dari pihak afiliasidengan tingkat suku bunga yang tidak wajar. Selanjutnya, koreksi atas actual corporate charges dilakukan karena wajib pajak tidak dapat membuktikan transaksi yang dilakukannya dengan pihak afiliasi.

Otoritas pajak juga melakukan reklasifikasi objek PPh Pasal 23 menjadi PPh Pasal 4 ayat (2) atas manajemen pergudangan. Menurut otoritas pajak, kegiatan yang dilakukan wajib pajak ialah persewaan tanah serta bangunan. Tidak terdapat bukti yang menunjukkan adanya kegiatan manajemen pergudangan yang dilakukan wajib pajak.

Sebaliknya, wajib pajak menyatakan penentuan tingkat suku bunga pinjaman dan biaya untuk asistensi mutu pelayanan dinilai telah wajar. Adapun kegiatan usaha yang dilakukan wajib pajak ialah manajemen pergudangan yang termasuk objek PPh Pasal 23, bukan persewaan tanah serta bangunan.

Pada tingkat banding, Majelis Hakim Pengadilan Pajak memutuskan memutuskan mengabulkan sebagian permohonan banding yang diajukan wajib pajak. Selanjutnya, di tingkat PK, Mahkamah Agung mengabulkan permohonan PK yang diajukan oleh otoritas pajak.

Apabila tertarik membaca putusan ini lebih lengkap, kunjungi laman Direktori Putusan Mahkamah Agung

Kronologi
WAJIB pajak mengajukan banding ke Pengadilan Pajak atas keberatannya terhadap penetapan otoritas pajak. Majelis Hakim Pengadilan Pajak menyatakan terdapat tiga pokok sengketa dalam perkara ini.

Pertama, koreksi atas biaya bunga. Sehubungan dengan koreksi ini, Majelis Hakim Pengadilan Pajak mengabulkan sebagian permohonan banding. Penentuan tingkat suku bunga yang dilakukan wajib pajak sudah benar tapi ada juga yang tidak tepat.

Kedua, koreksi atas actual corporate charges. Wajib pajak telah menyerahkan transfer pricing documentation (TP Doc) atas transaksi yang dilakukan dengan pihak afiliasi. Dalam TP Doc telah dijelaskan kegiatan jasa apa saja yang diberikan pihak afiliasi kepada wajib pajak. Dengan begitu, koreksi yang dilakukan otoritas pajak tidak benar.

Ketiga, reklasifikasi objek PPh Pasal 23 menjadi PPh Pasal 4 ayat (2) atas transaksi manajemen pergudangan. Berdasarkan proses pemeriksaan, wajib pajak terbukti melakukan kegiatan manajemen pergudangan. Adapun manajemen pergudangan tersebut merupakan objek PPh Pasal 23. Dengan kata lain, koreksi yang dilakukan otoritas pajak tidak dapat dibenarkan.

Selanjutnya, terhadap permohonan banding tersebut, Majelis Hakim Pengadilan Pajak memutuskan mengabulkan sebagian permohonan banding yang diajukan wajib pajak. Dengan keluarnya Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put. 61574/PP/M.IVA/15/2015 tanggal 26 Mei 2015otoritas pajak mengajukan upaya hukum PK secara tertulis ke Kepaniteraan Pengadilan Pajak pada 17 September 2015.

Pokok sengketa dalam perkara ini adalah koreksi biaya usaha berupa bunga senilai Rp238.695.204, koreksi biaya FMF senilai Rp5.636.528.486, dan koreksi atas penghasilan atas sewa senilai Rp605.177.514 yang tidak dipertahankan Majelis Hakim Pengadilan Pajak.

Pendapat Pihak yang Bersengketa
PEMOHON PK menyatakan keberatan atas pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Pajak. Dalam perkara ini, Pemohon PK melakukan koreksi terhadap tiga hal. Pertama, terkait koreksi biaya bunga.

Pemohon PK melakukan koreksi sebab biaya bunga tersebut berasal dari pinjaman sejumlah dana dari pihak afiliasidengan tingkat suku bunga yang tidak wajar. Tingkat suku bunga pinjaman dengan pihak afiliasi tidak sebanding dengan tingkat suku bunga pinjaman dengan pihak independen. Selain itu, Termohon PK juga tidak dapat menunjukkan loan agreement atas transaksi pinjaman tersebut.

Kedua, koreksi atas actual corporate charges. Biaya ini berasal dari pemberian jasa dari pihak afiliasi kepada Termohon PK (intra group services) berupa asistensi mutu pelayanan.

Berdasarkan TP DocPemohon PK menilai transaksi yang dilakukan Termohon dengan pihak afiliasi tidak mencerminkan prinsip kewajaran. Sebab, tidak adanya dokumen dan bukti valid yang menunjukkan berlangsungnya asistensi mutu pelayanan. Selain itu, Termohon PK juga tidak dapat menjelaskan bentuk jasa dan manfaat kegiatan asistensi yang diberikan pihak afiliasi.

Ketiga, reklasifikasi objek PPh Pasal 23 menjadi PPh Pasal 4 ayat (2). Dalam hal ini, reklasifikasi dilakukan terhadap kegiatan manajemen pergudangan menjadi persewaan tanah dan bangunan. Pemohon PK menilai bahwa kegiatan usaha yang dilakukan Termohon PK ialah persewaan tanah dan bangunan.

Termohon PK tidak setuju dengan seluruh koreksi yang dilakukan Pemohon PK. Menurut Termohon PK, penentuan tingkat suku bunga pinjaman dinilai sudah wajar dan berdasarkan peraturan yang berlaku.

Selanjutnya, Termohon PK juga tidak sepakat dengan koreksi actual corporate charges. Biaya tersebut dikeluarkan atas asistensi mutu pelayanan yang diberikan pihak afiliasi kepada Termohon. Asistensi mutu pelayanan nantinya bermanfaat untuk mendapatkan pelanggan atau customer.

Selain itu, Termohon PK juga menanggapi koreksi reklasifikasi yang dilakukan Pemohon PK. Termohon PK berpendapat pihaknya memiliki kegiatan usaha manajemen pergudangan. Terhadap kerusakan barang yang disimpan dalam gudang tersebut menjadi tanggung jawab Termohon PK.

Berdasarkan peraturan perpajakan, kegiatan usaha yang dilakukan Termohon PK merupakan objek PPh Pasal 23. Penghasilan atas manajemen pergudangan juga telah dilaporkan dalam SPT dengan tepat. Berdasarkan pertimbangan di atas, seluruh koreksi yang dilakukan Pemohon PK dinilai tidak berdasar sehingga harus ditolak.

Pertimbangan Mahkamah Agung
MAHKAMAH Agung berpendapat alasan-alasan permohonan PK tidak dapat dibenarkan. Putusan Pengadilan Pajak yang menyatakan mengabulkan sebagian permohonan banding sudah tepat. Terdapat dua pertimbangan Hakim Agung sebagai berikut.

Pertama, koreksi biaya bunga senilai Rp238.695.204, koreksi actual corporate charges senilai Rp5.636.528.486, dan reklasifikasi objek pajak senilai Rp605.177.514 tidak dapat dibenarkan. Setelah meneliti dan menguji kembali dalil-dalil yang terungkap dalam persidangan oleh para pihak, pendapat Pemohon PK tidak dapat menggugurkan dan melemahkan bukti-bukti yang terungkap dalam persidangan dan pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Pajak.

Kedua, perkara ini telah dilakukan pengujian dan penilaian ulang oleh Majelis Hakim Agung. Mahkamah Agung berpendapat Termohon PK telah melakukan kewajiban perpajakannya dengan tepat. Dengan demikian, koreksi yang dilakukan Pemohon PK tidak dapat dipertahankan.

Berdasarkan pertimbangan di atas, permohonan PK dinilai tidak beralasan sehingga harus ditolak. Pemohon PK dinyatakan sebagai pihak yang kalah dan dihukum untuk membayar biaya perkara.

Sekarang Ada Fitur e-SKTD di DJP Online! Sudah Tahu?

JAKARTA, KWANews – Ditjen Pajak (DJP) sudah menyediakan fitur layanan e-SKTD dalam DJP Online.

Dengan fitur layanan ini, wajib pajak bisa mengajukan permohonan Surat Keterangan Tidak Dipungut (SKTD) melalui formulir permohonan yang disediakan. Dalam menu “Buat SKTD”, DJP menyediakan beragam formulir permohonan yang disesuaikan dengan jenis wajib pajak.

“Wajib pajak memilih jenis wajib pajak yang akan mengajukan SKTD,” demikian bunyi petunjuk pengisian yang ada dalam menu tersebut, dikutip pada Kamis (26/11/2020).

Berdasarkan pada PMK 41/2020, SKTD merupakan surat keterangan yang menyatakan bahwa wajib pajak memperoleh fasilitas tidak dipungut PPN atas impor dan/atau penyerahan alat angkutan tertentu serta perolehan dan/atau pemanfaatan jasa kena pajak terkait alat angkutan tertentu.

Dalam fitur layanan e-SKTD disebutkan untuk jenis wajib pajak Perusahaan Pelayaran Niaga Nasional, Perusahaan Penangkapan Ikan Nasional, Jasa Kepelabuhan Nasional, Perusahaan Jasa Angkutan Sungai Danau, dan Penyebrangan Nasional dan Badan Usaha Angkutan Nasional harus memenuhi 5 ketentuan.

Pertama, telah menyampaikan SPT Tahunan PPh untuk 2 tahun pajak terakhir. Kedua, telah menyampaikan SPT Masa PPN untuk 3 masa pajak terakhir. Ketiga, tidak mempunyai utang pajak di KPP tempat wajib pajak maupun tempat cabangnya terdaftar. Keempat, memiliki kegiatan usaha utama perusahaan jasa angkutan sungai, danau dan penyebrangan nasional. Kelima, menyertakan nomor izin usaha.

Selanjutnya, untuk jenis wajib pajak pihak lain yang ditunjuk oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintah di bidang pertahanan pertahanan, Tentara Nasional, dan Kepolisian Republik Indonesia wajib memenuhi 4 ketentuan.

Pertama, telah menyampaikan SPT Tahunan PPh untuk 2 tahun pajak terakhir. Kedua, telah menyampaikan SPT Masa PPN untuk 3 masa pajak terakhir. Ketiga, tidak mempunyai utang pajak di KPP tempat wajib pajak maupun tempat cabangnya terdaftar. Keempat, menyertakan nomor dokumen penunjukan.

Keempat ketentuan itu juga harus dipenuhi oleh jenis wajib pajak pihak lain yang ditunjuk oleh Badan Usaha Angkutan Udara Nasional serta pihak lain yang ditunjuk oleh Badan Usaha Penyelenggara Sarana Perkeretaapian Umum dan/atau Badan Usaha Penyelenggara Prasarana Perkerataapian Umum.

Mulai Hari Ini, Pelaporan SPT PPN Versi 2.0 dengan Upload CSV di DJP Online Ditutup

JAKARTA, KWANews – Ditjen Pajak (DJP) menutup saluran pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Masa pajak pertambahan nilai (PPN) dengan mekanisme upload comma separated value (CSV) di DJP Online.

Dalam grup Telegram e-faktur yang resmi dikelola oleh Tim DJP, otoritas mengatakan penutupan mulai berlaku hari ini, Rabu (21/10/2020). Pengguna e-faktur 3.0 wajib melaporkan SPT dengan menggunakan e-faktur web based.

“Mulai 21 Oktober 2020, pelaporan SPT Masa PPN 1111 sejak masa pajak September 2020 dengan mekanisme upload CSV di e-filing DJP Online sudah ditutup. Untuk pelaporan SPT Masa PPN 1111 bagi PKP pengguna e-faktur 3.0 dilakukan melalui e-faktur web based,” demikian bunyi penggalan informasi yang disampaikan DJP.

DJP mengatakan regulasi yang terkait dengan kebijakan ini adalah Pasal 5 ayat (1)PER-29/PJ/2015. Dalam pasal ini dinyatakan PKP yang diwajibkan membuat e-faktur, wajib membuat SPT Masa PPN 1111 dengan menggunakan aplikasi e-faktur yang telah ditentukan dan/ atau disediakan DJP.

Lantas, bagaimana untuk melakukan pembetulan? Seperti yang diberitakan sebelumnya, DJP menyatakan pembetulan SPT untuk masa pajak sebelum berlakunya e-faktur 3.0 tetap dilakukan di aplikasi e-faktur 3.0.

Untuk pelaporan SPT Masa PPN atau pembetulan SPT Masa PPN untuk masa pajak sebelum September 2020, PKP dapat melakukan posting SPT pada aplikasi e-faktur 3.0 kemudian melaporkan CSV melalui DJP Online.

“Untuk Pelaporan SPT Masa PPN 1111 sebelum masa pajak September 2020 masih dapat dilakukan melalui e-filing DJP Online,” imbuh DJP.

Selain itu, Direktur Teknologi Informasi dan Komunikasi DJP Iwan Djuniardi mengatakan pembuatan SPT Masa PPN melalui Penyedia Jasa Aplikasi Perpajakan (PJAP) bisa dilakukan dengan basis data dari e-faktur 3.0.

Iwan menuturkan sistem e-faktur dan e-SPT yang dimiliki PJAP sudah terhubung secara real time dengan server DJP. Dengan demikian, data yang disajikan dalam sistem PJAP tidak berbeda dengan layanan resmi DJP seperti e-faktur 3.0 dan e-SPT PPN.

KWA Consulting adalah salah satu perusahaan Jasa konsultan Pajak professional di Indonesia yang menyediakan layanan dengan cakupan luas di bidang konsultasi Pajak, Akutansi, Keuangan dan Pembukuan Perusahaan.
Contact Detail
Whatsapp: +62 81808328841
Email: admin@kwa-consulting.id
Podomoro Golf View Tower Dahoma

Jl. Raya Bojong Nangka, Bojong Nangka, Kec. Gn. Putri, Kabupaten Bogor 16963.

Office Hour

Monday - Friday,
08:00 17:00