Info

DJP: Meterai Tempel Lama Masih Berlaku

JAKARTA, KWANews – Ditjen Pajak (DJP) menegaskan meterai tempel yang lama masih berlaku hingga 31 Desember 2021.

Melalui akun Instagram, DJP menegaskan tarif tunggal bea meterai senilai Rp10.000 sudah berlaku saat ini. Hal ini sesuai dengan ketentuan yang diamanatkan dalam UU Nomor 10 Tahun 2020 tentang Bea Meterai. Namun demikian, pemerintah memberikan masa transisi hingga akhir tahun ini.

“Bea meterai sudah berlaku satu tarif Rp10.000! Untuk meterai tempel yang lama masih berlaku sampai dengan 31 Desember 2021,” tulis DJP, Senin (4/1/2021).

Otoritas pajak menyatakan meterai tempel edisi 2014 yang masih tersisa dapat digunakan untuk pembayaran bea meterai. Namun, penggunaan meterai tempel lama itu paling sedikit Rp9.000. Artinya, wajib pajak bisa menggunakan meterai Rp3.000 dan Rp6.000 secara sekaligus, 2 meterai tempel Rp6.000, atau 3 meterai tempel Rp3.000.

Sesuai dengan ketentuan Pasal 2 UU Nomor 10 Tahun 2020, pengaturan bea meterai dilaksanakan berdasarkan asas kesederhanaan, efisiensi, keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan. Ada sejumlah tujuan pengaturan bea meterai yang dimuat dalam pasal tersebut.

Pertama, mengoptimalkan penerimaan negara guna membiayai pembangunan nasional secara mandiri menuju masyarakat Indonesia yang sejahtera. Kedua, memberikan kepastian hukum dalam pemungutan bea meterai.

Ketiga, menyesuaikan dengan kebutuhan masyarakat. Keempat, menerapkan pengenaan bea meterai secara lebih adil. Kelima, menyelaraskan ketentuan bea meterai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

UU Nomor 10 Tahun 2020 juga memerinci ketentuan pidana atas praktik-praktik kejahatan yang berhubungan dengan bea meterai. Meterai yang baru ini mengatur secara tegas lama tahun pidana penjara dan nominal pidana denda yang dikenakan atas orang-orang yang melakukan tindak kejahatan bea meterai.

Sengketa Biaya Bunga, Kewajaran Transaksi, & Reklasifikasi Objek Pajak

RESUME Putusan Peninjauan Kembali (PK) ini merangkum sengketa pajak mengenai biaya bunga pinjaman, kewajaran transaksi dengan pihak afiliasi, dan reklasifikasi objek PPh Pasal 23 menjadi PPh Pasal 4 ayat (2). Dalam perkara ini, wajib pajak melakukan transaksi pinjaman dan penyerahan jasa dengan pihak yang memiliki hubungan istimewa.

Otoritas pajak melakukan koreksi sebab biaya bunga berasal dari pinjaman sejumlah dana dari pihak afiliasidengan tingkat suku bunga yang tidak wajar. Selanjutnya, koreksi atas actual corporate charges dilakukan karena wajib pajak tidak dapat membuktikan transaksi yang dilakukannya dengan pihak afiliasi.

Otoritas pajak juga melakukan reklasifikasi objek PPh Pasal 23 menjadi PPh Pasal 4 ayat (2) atas manajemen pergudangan. Menurut otoritas pajak, kegiatan yang dilakukan wajib pajak ialah persewaan tanah serta bangunan. Tidak terdapat bukti yang menunjukkan adanya kegiatan manajemen pergudangan yang dilakukan wajib pajak.

Sebaliknya, wajib pajak menyatakan penentuan tingkat suku bunga pinjaman dan biaya untuk asistensi mutu pelayanan dinilai telah wajar. Adapun kegiatan usaha yang dilakukan wajib pajak ialah manajemen pergudangan yang termasuk objek PPh Pasal 23, bukan persewaan tanah serta bangunan.

Pada tingkat banding, Majelis Hakim Pengadilan Pajak memutuskan memutuskan mengabulkan sebagian permohonan banding yang diajukan wajib pajak. Selanjutnya, di tingkat PK, Mahkamah Agung mengabulkan permohonan PK yang diajukan oleh otoritas pajak.

Apabila tertarik membaca putusan ini lebih lengkap, kunjungi laman Direktori Putusan Mahkamah Agung

Kronologi
WAJIB pajak mengajukan banding ke Pengadilan Pajak atas keberatannya terhadap penetapan otoritas pajak. Majelis Hakim Pengadilan Pajak menyatakan terdapat tiga pokok sengketa dalam perkara ini.

Pertama, koreksi atas biaya bunga. Sehubungan dengan koreksi ini, Majelis Hakim Pengadilan Pajak mengabulkan sebagian permohonan banding. Penentuan tingkat suku bunga yang dilakukan wajib pajak sudah benar tapi ada juga yang tidak tepat.

Kedua, koreksi atas actual corporate charges. Wajib pajak telah menyerahkan transfer pricing documentation (TP Doc) atas transaksi yang dilakukan dengan pihak afiliasi. Dalam TP Doc telah dijelaskan kegiatan jasa apa saja yang diberikan pihak afiliasi kepada wajib pajak. Dengan begitu, koreksi yang dilakukan otoritas pajak tidak benar.

Ketiga, reklasifikasi objek PPh Pasal 23 menjadi PPh Pasal 4 ayat (2) atas transaksi manajemen pergudangan. Berdasarkan proses pemeriksaan, wajib pajak terbukti melakukan kegiatan manajemen pergudangan. Adapun manajemen pergudangan tersebut merupakan objek PPh Pasal 23. Dengan kata lain, koreksi yang dilakukan otoritas pajak tidak dapat dibenarkan.

Selanjutnya, terhadap permohonan banding tersebut, Majelis Hakim Pengadilan Pajak memutuskan mengabulkan sebagian permohonan banding yang diajukan wajib pajak. Dengan keluarnya Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put. 61574/PP/M.IVA/15/2015 tanggal 26 Mei 2015otoritas pajak mengajukan upaya hukum PK secara tertulis ke Kepaniteraan Pengadilan Pajak pada 17 September 2015.

Pokok sengketa dalam perkara ini adalah koreksi biaya usaha berupa bunga senilai Rp238.695.204, koreksi biaya FMF senilai Rp5.636.528.486, dan koreksi atas penghasilan atas sewa senilai Rp605.177.514 yang tidak dipertahankan Majelis Hakim Pengadilan Pajak.

Pendapat Pihak yang Bersengketa
PEMOHON PK menyatakan keberatan atas pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Pajak. Dalam perkara ini, Pemohon PK melakukan koreksi terhadap tiga hal. Pertama, terkait koreksi biaya bunga.

Pemohon PK melakukan koreksi sebab biaya bunga tersebut berasal dari pinjaman sejumlah dana dari pihak afiliasidengan tingkat suku bunga yang tidak wajar. Tingkat suku bunga pinjaman dengan pihak afiliasi tidak sebanding dengan tingkat suku bunga pinjaman dengan pihak independen. Selain itu, Termohon PK juga tidak dapat menunjukkan loan agreement atas transaksi pinjaman tersebut.

Kedua, koreksi atas actual corporate charges. Biaya ini berasal dari pemberian jasa dari pihak afiliasi kepada Termohon PK (intra group services) berupa asistensi mutu pelayanan.

Berdasarkan TP DocPemohon PK menilai transaksi yang dilakukan Termohon dengan pihak afiliasi tidak mencerminkan prinsip kewajaran. Sebab, tidak adanya dokumen dan bukti valid yang menunjukkan berlangsungnya asistensi mutu pelayanan. Selain itu, Termohon PK juga tidak dapat menjelaskan bentuk jasa dan manfaat kegiatan asistensi yang diberikan pihak afiliasi.

Ketiga, reklasifikasi objek PPh Pasal 23 menjadi PPh Pasal 4 ayat (2). Dalam hal ini, reklasifikasi dilakukan terhadap kegiatan manajemen pergudangan menjadi persewaan tanah dan bangunan. Pemohon PK menilai bahwa kegiatan usaha yang dilakukan Termohon PK ialah persewaan tanah dan bangunan.

Termohon PK tidak setuju dengan seluruh koreksi yang dilakukan Pemohon PK. Menurut Termohon PK, penentuan tingkat suku bunga pinjaman dinilai sudah wajar dan berdasarkan peraturan yang berlaku.

Selanjutnya, Termohon PK juga tidak sepakat dengan koreksi actual corporate charges. Biaya tersebut dikeluarkan atas asistensi mutu pelayanan yang diberikan pihak afiliasi kepada Termohon. Asistensi mutu pelayanan nantinya bermanfaat untuk mendapatkan pelanggan atau customer.

Selain itu, Termohon PK juga menanggapi koreksi reklasifikasi yang dilakukan Pemohon PK. Termohon PK berpendapat pihaknya memiliki kegiatan usaha manajemen pergudangan. Terhadap kerusakan barang yang disimpan dalam gudang tersebut menjadi tanggung jawab Termohon PK.

Berdasarkan peraturan perpajakan, kegiatan usaha yang dilakukan Termohon PK merupakan objek PPh Pasal 23. Penghasilan atas manajemen pergudangan juga telah dilaporkan dalam SPT dengan tepat. Berdasarkan pertimbangan di atas, seluruh koreksi yang dilakukan Pemohon PK dinilai tidak berdasar sehingga harus ditolak.

Pertimbangan Mahkamah Agung
MAHKAMAH Agung berpendapat alasan-alasan permohonan PK tidak dapat dibenarkan. Putusan Pengadilan Pajak yang menyatakan mengabulkan sebagian permohonan banding sudah tepat. Terdapat dua pertimbangan Hakim Agung sebagai berikut.

Pertama, koreksi biaya bunga senilai Rp238.695.204, koreksi actual corporate charges senilai Rp5.636.528.486, dan reklasifikasi objek pajak senilai Rp605.177.514 tidak dapat dibenarkan. Setelah meneliti dan menguji kembali dalil-dalil yang terungkap dalam persidangan oleh para pihak, pendapat Pemohon PK tidak dapat menggugurkan dan melemahkan bukti-bukti yang terungkap dalam persidangan dan pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Pajak.

Kedua, perkara ini telah dilakukan pengujian dan penilaian ulang oleh Majelis Hakim Agung. Mahkamah Agung berpendapat Termohon PK telah melakukan kewajiban perpajakannya dengan tepat. Dengan demikian, koreksi yang dilakukan Pemohon PK tidak dapat dipertahankan.

Berdasarkan pertimbangan di atas, permohonan PK dinilai tidak beralasan sehingga harus ditolak. Pemohon PK dinyatakan sebagai pihak yang kalah dan dihukum untuk membayar biaya perkara.

Sekarang Ada Fitur e-SKTD di DJP Online! Sudah Tahu?

JAKARTA, KWANews – Ditjen Pajak (DJP) sudah menyediakan fitur layanan e-SKTD dalam DJP Online.

Dengan fitur layanan ini, wajib pajak bisa mengajukan permohonan Surat Keterangan Tidak Dipungut (SKTD) melalui formulir permohonan yang disediakan. Dalam menu “Buat SKTD”, DJP menyediakan beragam formulir permohonan yang disesuaikan dengan jenis wajib pajak.

“Wajib pajak memilih jenis wajib pajak yang akan mengajukan SKTD,” demikian bunyi petunjuk pengisian yang ada dalam menu tersebut, dikutip pada Kamis (26/11/2020).

Berdasarkan pada PMK 41/2020, SKTD merupakan surat keterangan yang menyatakan bahwa wajib pajak memperoleh fasilitas tidak dipungut PPN atas impor dan/atau penyerahan alat angkutan tertentu serta perolehan dan/atau pemanfaatan jasa kena pajak terkait alat angkutan tertentu.

Dalam fitur layanan e-SKTD disebutkan untuk jenis wajib pajak Perusahaan Pelayaran Niaga Nasional, Perusahaan Penangkapan Ikan Nasional, Jasa Kepelabuhan Nasional, Perusahaan Jasa Angkutan Sungai Danau, dan Penyebrangan Nasional dan Badan Usaha Angkutan Nasional harus memenuhi 5 ketentuan.

Pertama, telah menyampaikan SPT Tahunan PPh untuk 2 tahun pajak terakhir. Kedua, telah menyampaikan SPT Masa PPN untuk 3 masa pajak terakhir. Ketiga, tidak mempunyai utang pajak di KPP tempat wajib pajak maupun tempat cabangnya terdaftar. Keempat, memiliki kegiatan usaha utama perusahaan jasa angkutan sungai, danau dan penyebrangan nasional. Kelima, menyertakan nomor izin usaha.

Selanjutnya, untuk jenis wajib pajak pihak lain yang ditunjuk oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintah di bidang pertahanan pertahanan, Tentara Nasional, dan Kepolisian Republik Indonesia wajib memenuhi 4 ketentuan.

Pertama, telah menyampaikan SPT Tahunan PPh untuk 2 tahun pajak terakhir. Kedua, telah menyampaikan SPT Masa PPN untuk 3 masa pajak terakhir. Ketiga, tidak mempunyai utang pajak di KPP tempat wajib pajak maupun tempat cabangnya terdaftar. Keempat, menyertakan nomor dokumen penunjukan.

Keempat ketentuan itu juga harus dipenuhi oleh jenis wajib pajak pihak lain yang ditunjuk oleh Badan Usaha Angkutan Udara Nasional serta pihak lain yang ditunjuk oleh Badan Usaha Penyelenggara Sarana Perkeretaapian Umum dan/atau Badan Usaha Penyelenggara Prasarana Perkerataapian Umum.

Mulai Hari Ini, Pelaporan SPT PPN Versi 2.0 dengan Upload CSV di DJP Online Ditutup

JAKARTA, KWANews – Ditjen Pajak (DJP) menutup saluran pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Masa pajak pertambahan nilai (PPN) dengan mekanisme upload comma separated value (CSV) di DJP Online.

Dalam grup Telegram e-faktur yang resmi dikelola oleh Tim DJP, otoritas mengatakan penutupan mulai berlaku hari ini, Rabu (21/10/2020). Pengguna e-faktur 3.0 wajib melaporkan SPT dengan menggunakan e-faktur web based.

“Mulai 21 Oktober 2020, pelaporan SPT Masa PPN 1111 sejak masa pajak September 2020 dengan mekanisme upload CSV di e-filing DJP Online sudah ditutup. Untuk pelaporan SPT Masa PPN 1111 bagi PKP pengguna e-faktur 3.0 dilakukan melalui e-faktur web based,” demikian bunyi penggalan informasi yang disampaikan DJP.

DJP mengatakan regulasi yang terkait dengan kebijakan ini adalah Pasal 5 ayat (1)PER-29/PJ/2015. Dalam pasal ini dinyatakan PKP yang diwajibkan membuat e-faktur, wajib membuat SPT Masa PPN 1111 dengan menggunakan aplikasi e-faktur yang telah ditentukan dan/ atau disediakan DJP.

Lantas, bagaimana untuk melakukan pembetulan? Seperti yang diberitakan sebelumnya, DJP menyatakan pembetulan SPT untuk masa pajak sebelum berlakunya e-faktur 3.0 tetap dilakukan di aplikasi e-faktur 3.0.

Untuk pelaporan SPT Masa PPN atau pembetulan SPT Masa PPN untuk masa pajak sebelum September 2020, PKP dapat melakukan posting SPT pada aplikasi e-faktur 3.0 kemudian melaporkan CSV melalui DJP Online.

“Untuk Pelaporan SPT Masa PPN 1111 sebelum masa pajak September 2020 masih dapat dilakukan melalui e-filing DJP Online,” imbuh DJP.

Selain itu, Direktur Teknologi Informasi dan Komunikasi DJP Iwan Djuniardi mengatakan pembuatan SPT Masa PPN melalui Penyedia Jasa Aplikasi Perpajakan (PJAP) bisa dilakukan dengan basis data dari e-faktur 3.0.

Iwan menuturkan sistem e-faktur dan e-SPT yang dimiliki PJAP sudah terhubung secara real time dengan server DJP. Dengan demikian, data yang disajikan dalam sistem PJAP tidak berbeda dengan layanan resmi DJP seperti e-faktur 3.0 dan e-SPT PPN.

Meninjau Perubahan Sanksi Pajak dalam UU Cipta Kerja

KLASTER perpajakan dalam Undang-Undang (UU) Cipta Kerja memuat empat pokok tujuan guna memperkuat perekonomian Indonesia. Keempat tujuan tersebut adalah meningkatkan pendanaan investasi, meningkatkan kepastian hukum, mendorong kepatuhan pajak sukarela, dan menciptakan keadilan iklim berusaha di dalam negeri.

Pada dasarnya, klaster perpajakan UU Cipta Kerja adalah bagian dari RUU Omnibus Law Perpajakan yang belum masuk di dalam Perpu 1/2020, yang sekarang telah menjadi UU 2/2020. Hal ini sebagaimana dikonfirmasi oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam konferensi pers penjelasan UU Cipta Kerja pada 7 Oktober 2020.

Terdapat beberapa perubahan dan penambahan ketentuan perpajakan di UU Cipta Kerja. Salah satu yang menjadi perhatian penulis adalah terkait pengaturan ulang sanksi administratif yang tercakup dalam Bab VI Bagian Ketujuh Pasal 113 UU Cipta Kerja guna mendorong kepatuhan pajak sukarela.

Pada dasarnya, pengenaan sanksi harus memenuhi pinsip proporsionalitas (Pistone, 2019). Aspek ini dibutuhkan untuk membedakan derajat kesalahan yang dilakukan wajib pajak. Dengan demikian, sanksi yang ditetapkan proporsional dengan kesalahan yang telah dilakukan .

Saya menyebutkan penyesuaian berbagai sanksi maupun imbalan bunga dalam UU Cipta Kerja akan merefleksikan prinsip proporsionalitas yang turut mengurangi biaya kepatuhan sehingga mendorong kepatuhan pajak secara sukarela.

Di Indonesia, sanksi administratif pajak terbagi menjadi sanksi denda, sanksi bunga dan sanksi kenaikan. Dari ketiga jenis sanksi tersebut, perubahan yang cukup mendasar dilakukan dalam ketentuan mengenai sanksi bunga, di mana persentase fixed rate diubah menjadi flexible rate.

Flexible rate ditentukan berdasarkan suku bunga pasar ditambah dengan suatu persentase mark-up tertentu. Perubahan ketentuan sanksi ini mencerminkan prinsip proporsionalitas sehingga merupakan suatu langkah yang ideal sebagaimana dinyatakan oleh Crawford (2013).

Kemudian, perubahan ini merefleksikan langkah serius pemerintah dalam menciptakan sistem administrasi pajak yang lebih baik. Pasalnya, besaran sanksi bunga fixed rate sebesar 2% belum pernah mengalami perubahan sejak diberlakukannya UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan meskipun telah beberapa kali dilakukan perubahan terhadap UU KUP (Nuryadi, 2018).

Lantas, bagaimana dengan perubahan sanksi administrasi berupa denda dan kenaikan yang terdapat dalam klaster perpajakan di UU Cipta Kerja?

Tabel 1 Perbandingan Sanksi Denda dalam UU KUP dan Perubahan dalam UU Cipta Kerja

Dalam UU KUP, sanksi denda diterapkan atas kondisi sebagaimana tertera dalam Tabel 1 di atas. Pada nyatanya, tidak semua sanksi yang berlaku mengalami perubahan. Terkait hal ini, terdapat empat hal yang menjadi perhatian penulis sebagai berikut.

Pertama, tidak terdapat perubahan mengenai sanksi atas Surat Pemberitahuan (SPT) yang tidak disampaikan dalam jangka waktu yang ditetapkan. Sanksi yang diterapkan masih berupa fixed amount dengan jumlah yang berbeda berdasarkan jenis SPTnya. Ketentuan serupa juga ditetapkan oleh negara-negara lain seperti Denmark, Hungaria, dan United Kingdom (Seer dan Wilms, 2015).

Kedua, penurunan sanksi untuk pengungkapan ketidakbenaran sebelum dilakukan penyidikan serta penurunan sanksi bagi Pengusaha Kena Pajak (PKP) terkait saat pembuatan dan pengisian faktur pajak.

Terkait dengan penuruan sanksi di atas, OECD Managing and Improving Tax Compliance Guidance Note 2004 menyebutkan bahwa pemberian insentif terhadap wajib pajak dapat berdampak positif terhadap kepatuhan wajib pajak. Hal ini tentu akan mendorong wajib pajak untuk melakukan pengungkapan secara sukarela (voluntary disclosure).

Ketiga, penurunan sanksi atas penghentian penyidikan tindak pidana pidana pajak. Pada dasarnya, ketentuan Pasal 44B UU KUP menjelaskan maksud dan tujuan dari pelaksanaan undang-undang perpajakan bukan untuk memidanakan wajib pajak, melainkan untuk dapat memungut pajak secara efektif dan efisien (Nuryadi, 2018). Berdasarkan hal tersebut, penurunan sanksi yang dilakukan dapat kian mendorong pemungutan pajak yang lebih efektif dan efisien.

Tabel 2 Perbandingan Sanksi Kenaikan dalam UU KUP dan Perubahan dalam UU Cipta Kerja

Terdapat dua perubahan yang dilakukan pada sanksi kenaikan dalam UU Cipta Kerja. Pertama, dihapusnya Pasal 13A UU KUP. Kedua, perubahan skema sanksi atas Pasal 8 ayat (5) UU KUP.

Pasal 13A UU KUP mengatur sanksi kenaikan atas kealpaan wajib pajak tidak menyampaikan SPT atau menyampaikan SPT, tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara, di mana kealpaan dilakukan untuk pertama kali. Namun, apabila kealpaan merupakan perbuatan setelah pertama kali, wajib pajak akan dikenakan sanksi pidana sesuai dengan ketentuan Pasal 38 UU KUP.

Pasal 38 UU KUP menyebutkan sanksi pidana yang dikenakan merupakan denda paling sedikit 1 (satu) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar, atau dipidana kurungan paling singkat 3 (tiga) bulan atau paling lama 1 (satu) tahun.

Penghapusan Pasal 13A UU KUP diiringi dengan perubahan Pasal 38 UU KUP, di mana sanksi yang diterapkan akan berlaku untuk seluruh kealpaan wajib pajak, baik yang dilakukan untuk pertama kali maupun tidak. Artinya, setiap tindakan kealpaan yang dilakukan wajib pajak akan dikenakan sanksi pidana.

Pasal 8 ayat (5) UU KUP menyebutkan bahwa atas pengungkapan ketidakbenaran dalam SPT yang menimbulkan pajak kurang dibayar setelah dilakukan pemeriksaan tetapi belum terdapat penerbitan SKP, wajib pajak dikenakan sanksi kenaikan sebesar 50% dari pajak yang kurang dibayar. Namun, dalam UU Cipta Kerja, sanksi yang dikenakan diubah menjadi sanksi bunga sebesar tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan dari pajak yang kurang dibayar.

Perubahan skema sanksi Pasal 8 ayat (5) UU KUP menunjukkan upaya pemerintah dalam menerapkan konsep time value of money. Drake dan Fabozzi (2019) menyatakan konsep time value of money mengimplikasikan bahwa nilai uang sekarang akan berbeda dengan nilai uang di masa yang akan datang, “A dollar today is not worth a dollar tomorrow or next year”. Kemudian, sebagai kompensasi atas ketidakpastian nilai tersebut, pengenaan bunga patut diterapkan.

Dalam kasus di atas, pajak yang kurang dibayar atas pengungkapan ketidakbenaran adalah jumlah penerimaan pajak negara yang tertunda sehingga bunga akan berperan sebagai kompensasi atas penundaan penerimaan tersebut. Hal ini sejalan dengan Leif Mutten yang menyatakan bahwa apabila negara mengalami kerugian dari time value of money atas tertundanya penerimaan pajak, wajib pajak seharusnya hanya dikenakan kewajiban “bunga”(Darussalam dan Danny, 2007).

Kesimpulan

Secara umum, perubahan atas sanksi administrasi pajak dalam klaster perpajakan di UU Cipta Kerja merupakan strategi jitu yang diambil oleh pemerintah guna mendorong kepatuhan pajak sukarela. Meskipun demikian, evaluasi atas efektivitas sanksi yang masih berlaku saat ini tetap perlu dilakukan guna terciptanya sistem sanksi administrasi perpajakan yang lebih proporsional dan adil lagi.

Cara Lapor SPT Masa PPN Kurang Bayar pada e-Faktur 3.0 Web Based

PEKAN lalu, KWANews telah menjelaskan cara melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT) Masa pajak pertambahan nilai (PPN) Nihil pada e-faktur 3.0 web based. Nah, kali ini akan dijelaskan cara lapor SPT Masa PPN Kurang Bayar pada e-faktur 3.0 web based.

Pastikan Anda menyiapkan file sertifikat elektronik (sertel) dan Nomor Transaksi Penerimaan Negara (NTPN). Jika sudah, silakan akses web-efaktur.pajak.go.id. Jika sertel sudah terinstal dalam browser, Anda mungkin akan melihat beberapa sertel.

Silakan pilih salah satu yang ingin Anda laporkan SPT Masa PPN kurang bayar, lalu klik OK. Nanti, Anda akan Login kembali dengan sertel yang Anda pilih. Silakan masukan kata sandi e-nofa atau kata sandi akun Pengusaha Kena Pajak (PKP) Anda.

Nanti, Anda akan masuk halaman utama. Langkah pertama yang harus dilakukan ketika Anda baru pertama kali mengakses e-faktur web based ini mengisi data profil aplikasi. Silakan pilih Profil PKP. Lalu, isi data yang diminta dalam Profil Pengguna.

Data yang dimaksud antara lain nama penandatangan faktur, nama penandatangan SPT, dan jabatan penandatangan SPT. Isikan sesuai dengan data Anda. Lalu klik Simpan Perubahan. Nanti, Anda akan mendapatkan notifikasi Ubah profil pengguna berhasil.

Setelah profil telah dilengkapi, kembali ke menu utama. Lalu pilih Administrasi SPT, lalu klik Monitoring SPT. Setelah itu, silakan klik +Posting SPT yang berada pada kanan layar Anda.

Silakan isi tahun pajak, masa pajak, dan pembetulan. Setelah itu, klik Submit. Katakanlah, Anda akan membikin SPT Masa PPN kurang bayar untuk Oktober 2020. Nanti, akan muncul notifikasi Proses posting sudah masuk ke dalam antrean. Silakan tunggu beberapa saat. Klik OK.

Pada Daftar SPT, Anda akan melihat SPT yang sudah berhasil Anda posting sebelumnya, yaitu SPT untuk masa pajak Oktober 2020. Pada bagian Action, silakan klik Buka. Nanti, Anda akan masuk pada kolom Buka SPT Masa Pajak.

Pada kolom tersebut, silakan klik Lampiran Detail, lalu pilih formulir PK atas Penyerahan Dalam Negeri. Lalu klik tampilkan. Nanti, Anda akan melihat semua faktur yang Anda terbitkan selama masa pajak Oktober 2020. Silakan untuk dicek.

Kemudian, silakan pilih Lampiran AB. Ada tiga submenu yang bisa Anda cek antara lain rekapitulasi penyerahan, rekapitulasi perolehan, dan perhitungan pajak masukan yang dapat dikreditkan. Silakan Anda cek satu persatu.

Apabila sudah selesai mengecek, centang pernyataan. Lalu klik Submit. Nanti, Anda akan diarahkan untuk memilih file sertel. Lalu pilih file sertel yang sudah disiapkan, kemudian klik Open. Setelah itu, masukan passphrase dan klik Setuju.

Selanjutnya, pilih Induk. Anda akan melihat setidaknya 6 submenu. Silakan cek satu persatu submenu yang ada. Khusus pada lampiran kedua Penghitungan PPN Kurang/Lebih Bayar, Anda akan melihat angka PPN kurang bayar.

Mengingat statusnya PPN kurang bayar, Anda akan diarahkan untuk mengisi kolom Nomor Transaksi Penerimaan Negara (NTPN) pada bagian G. Silakan klik NTPN pada bagian gambar kaca pembesar. Silakan isi data yang diminta. Lalu klik Tambah.

Jika berhasil, kode NTPN akan terekam di bawahnya. Lalu, silakan klik icon centang biru agar NTPN masuk dalam SPT induknya, tepatnya di lampiran induk kedua Penghitungan PPN Kurang/Lebih Bayar pada bagian G.

Setelah itu, silakan cek lampiran induk lainnya. Jika sudah, silakan centang pernyataan, lalu isi nama penandatangan SPT dan jabatannya. Setelah itu, klik Submit. Jika sudah, Anda akan melihat notifikasi Berhasil Submit SPT Induk.

Selanjutnya, Anda akan dibawa ke menu Monitoring SPT kembali. Langkah berikutnya adalah klik Lapor yang berada di bagian Action di sebelah kanan layar Anda. Pada bagian file lampiran, silakan upload bukti setor Anda yang sudah di-scan dengan format pdf. Lalu klik Lapor.

Jika sudah, notifikasi Proses Lapor SPT Berhasil akan muncul dan Anda akan dibawa kembali lagi pada kolom Monitoring SPT. Pada bagian Action, Anda bisa mencetak bukti penerimaan elektronik dan SPT Masa PPN. Selesai. Semoga bermanfaat.

KWA Consulting adalah salah satu perusahaan Jasa konsultan Pajak professional di Indonesia yang menyediakan layanan dengan cakupan luas di bidang konsultasi Pajak, Akutansi, Keuangan dan Pembukuan Perusahaan.
Contact Detail
Whatsapp: +62 81808328841
Email: admin@kwa-consulting.id
Podomoro Golf View Tower Dahoma

Jl. Raya Bojong Nangka, Bojong Nangka, Kec. Gn. Putri, Kabupaten Bogor 16963.

Office Hour

Monday - Friday,
08:00 17:00