Info

DJP Sediakan Kalkulator Pajak! Hitung Pajak Semakin Mudah

Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sediakan kalkulator pajak untuk semakin mempermudah Wajib Pajak menghitung kewajiban perpajakannya. Peluncuran pelayanan kalkulator pajak ini seirama dengan penetapan skema Tarif Efektif Rata-Rata (TER) untuk perhitungan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 yang berlaku mulai 1 Januari 2024.

#SobatKWA dapat menggunakan kalkulator pajak untuk menghitung Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), atau Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) dengan praktis dan cepat,” jelas DJP dalam media sosialnya.

Adapun kalkulator pajak tersebut dapat diakses di https://kalkulator.pajak.go.id/.

Sebelumnya, Kepala Subdit Humas Perpajakan DJP Inge Diana Rismawanti memastikan, aplikasi berupa kalkulator pajak disiapkan untuk memudahkan Wajib Pajak melakukan penghitungan, terutama skema TER telah diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 58 Tahun 2023 (terbit pada 27 Desember 2023) dan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 168 Tahun 2023 (terbit pada 5 Januari 2024).

Baca Juga  DJP Tegaskan Skema TER Tak Menambah Beban Pajak Baru

“Tarif efektif ini digunakan untuk lebih memberikan kemudahan bagi pemberi kerja yang melakukan pemotongan PPh Pasal 21. Kalau sebelumnya, motongan PPh Pasal 21 harus turut memperhitungkan biaya jabatan, iuran pensiun, dan PTKP (Penghasilan Tidak Kena Pajak),” jelas Inge dalam media briefing di Kantor Pusat, DJP.

Selain itu, DJP instrumen untuk mengasistensi pemberi kerja melakukan perhitungan, yaitu penerbitan buku pedoman penghitungan pemotongan PPh 21 yang dapat diakses melalui pajak.go.id.

“Skema TER bukan barang baru atau bukan pajak baru, karena yang beredar di luar (pemberitaan dan media sosial) TER ini membebani rakyat. Padahal dalam skema TER sekarang perhitungan PPh Pasal 21 disederhanakan dan lebih clear karena ada tabelnya (kategori A, B, dan C)—Wajib Pajak tinggal pilih (berdasarkan penghasilan yang didapatkan). Sebelumnya, PPh Pasal 21 dihitung tiap bulan dan macam-macam—ada biaya jabatan, tunjangan pensiun, belum lagi menghitung PTKP (penghasilan tidak kena pajak), biaya transportasi, dan lain-lain. Pokoknya ribet. Di sisi lain, skema gaji juga bermacam-macam, ada skema bulanan, harian, mingguan, maka skema TER juga akan menyederhanakannya,” jelas Dwi.

Ia memerinci, kemudahan perhitungan PPh Pasal 21 diatur dalam Pasal 13 PMK Nomor 168 Tahun 2023. TER yang dimaksud terdiri atas TER bulanan dan tarif efektif harian. Secara lebih lengkap, berikut ketentuan TER dalam PMK Nomor 168 Tahun 2023:

1. Pegawai tetap: 

  • TER bulanan digunakan untuk menghitung PPh Pasal 21 setiap masa, selain masa pajak terakhir; dan
  • Tarif Pasal 17 Ayat (1) UU PPh untuk menghitung PPh Pasal 21 pada masa pajak terakhir.

2. Dewan pengawas /komisaris: 

  • Menggunakan TER bulanan.

3. Pegawai tidak tetap: 

  • TER harian untuk penghasilan yang tidak diterima bulanan dan jumlah harian/rata-rata harian sampai dengan Rp 2,5 juta;
  •  Tarif Pasal 17 Ayat (1) UU PPh untuk penghasilan yang tidak diterima bulanan dan jumlah harian/rata-rata harian lebih dari Rp 2,5 juta; dan
  •  TER bulanan untuk penghasilan yang diterima bulanan.

4. Bukan pegawai, peserta kegiatan, peserta program pensiun, dan mantan pegawai: 

  • Menggunakan tarif Pasal 17 Ayat (1) UU PPh.

5. Pejabat negara, PNS, TNI, Polri, dan pensiunannya:

  • TER digunakan untuk menghitungan PPh Pasal 21 setiap masa selain masa pajak terakhir; dan
  • Tarif Pasal 17 Ayat (1) UU PPh untuk menghitung PPh Pasal 21 pada masa pajak terakhir.

Rincian batasan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) pada TER bulanan sebagai berikut:

Kategori A: 

  • Tidak kawin tanpa tanggungan (TK/0) memiliki batasan PTKP Rp 54.000.000;
  • Tidak kawin dengan satu tanggungan (TK/1) memiliki batasan PTKP Rp 58.500.000; dan
  • Kawin tanpa tanggungan (K/0) memiliki batasan PTKP Rp 58.500.000.

Kategori B:

  • Tidak kawin dengan dua tanggungan (TK/2) memiliki batasan PTKP Rp 63.000.000;
  • Tidak kawin dengan tiga tanggungan (TK/3) memiliki batasan PTKP Rp 67.500.000;
  • Kawin dengan satu tanggungan (K/1) memiliki batasan PTKP Rp 63.000.000; dan
  • Kawin dengan dua tanggungan (K/2) memiliki batasan PTKP Rp 67.500.000.

Kategori C: 

Kawin dengan tiga tanggungan (K/3) memiliki batasan PTKP Rp 72.000.000.

 

KESIMPULAN

Inisiatif DJP untuk menyediakan kalkulator pajak dan menerapkan skema TER adalah langkah-langkah positif yang mendukung kemudahan dan transparansi bagi Wajib Pajak. Peluncuran kalkulator pajak memberikan Wajib Pajak akses mudah untuk menghitung kewajiban pajak mereka secara praktis. Inisiatif ini diharapkan dapat meningkatkan kepatuhan pajak dan memfasilitasi proses perpajakan bagi semua pihak yang terlibat.

Bagi bisnis owner yang sedang mencari layanan konsultan pajak terbaik untuk mengurusi kesulitan Masalah Perpajakan lainnya, kwa-consulting.id merupakan pilihan yang tepat. Alasannya karena layanan konsultan pajak ini sudah berpengalaman dan terpercaya. Selain itu, juga memiliki rekam jejak yang baik.Yuk buruan konsultasi dengan kami, tunggu apa lagi??

DJP Luncurkan Aplikasi e-Bupot 21/26

Direktorat Jenderal Pajak (DJP) telah menerbitkan ketentuan baru melalui Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-2/PJ/2024 tentang Bentuk Dan Tata Cara Pembuatan Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 Dan/Atau Pajak Penghasilan Pasal 26 Serta Bentuk, Isi, Tata Cara Pengisian, Dan Tata Cara Penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 21 Dan/Atau Pajak Penghasilan Pasal 26 (PER-2/PJ/2024). Melalui aturan ini DJP resmi luncurkan aplikasi e-Bupot 21/26 untuk pembuatan bukti potong Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21/26 dan pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Masa PPh Pasal 21/26.

“Bukti pemotongan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 dan SPT Masa PPh Pasal 21 dan/atau Pasal 26 dibuat dan dilaporkan dalam bentuk formulir kertas atau dokumen elektronik. Bukti pemotongan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 dan SPT Masa PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 dalam bentuk dokumen elektronik dibuat menggunakan aplikasi e-Bupot 21/26 yang telah disediakan oleh Direktorat Jenderal Pajak atau Penyedia Jasa Aplikasi Perpajakan (PJAP),” demikian isi Pasal 6 PER-2/PJ/2024, dikutip Pajak.com, (22/1).

Adapun kewajiban pemotong yang membuat bukti potong Pasal 21/26 dan SPT Masa PPh Pasal 21/26 dalam bentuk elektronik adalah sebagai berikut:

  • Membuat bukti potong PPh Pasal 21 tidak bersifat final atau PPh Pasal 26 dengan jumlah lebih dari 20 dokumen dalam 1 masa pajak;
  • Membuat bukti potong PPh Pasal 21 final dengan jumlah lebih dari 20 dokumen dalam 1 masa pajak;
  • Membuat bukti potong PPh Pasal 21 bulanan ataupun bukti potong PPh Pasal 21 bagi pegawai tetap atau pensiunan yang menerima pensiun berkala dengan jumlah lebih dari 20 dokumen dalam 1 masa pajak; dan/atau
  • Melakukan penyetoran pajak dengan Surat Setoran Pajak (SSP) atau bukti Pemindahbukuan (Pbk) dengan jumlah lebih dari 20 dokumen dalam 1 masa pajak.

Aturan ini juga menegaskan bahwa apabila pemotong pajak telah menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 21/26 dalam bentuk elektronik lewat aplikasi e-Bupot 21/26, maka pemotong tidak diperbolehkan lagi menyampaikan SPT Masa dalam bentuk kertas pada masa-masa pajak berikutnya.

Sedangkan, jika pemotong pajak sudah memenuhi ketentuan tetapi tidak menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 21/26 secara elektronik, maka pemotong pajak itu dianggap tidak menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 21/26.

“Pemotong pajak yang tidak menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26, dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan,” tegas PER-2/PJ/2024.

Pada saat PER-2/PJ/2024 mulai berlaku, PER-14/PJ/2013 tentang Bentuk, Isi, Tata Cara Pengisian dan Penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pasal 26 serta Bentuk Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pasal 26, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

KESIMPULAN

Meluncurnya aplikasi e-Bupot 21/26 dan penerapan aturan baru PER-2/PJ/2024 menunjukkan upaya DJP dalam memodernisasi dan menyederhanakan proses perpajakan, meningkatkan efisiensi administrasi, serta mendorong penggunaan teknologi informasi.

Pemotong pajak diharapkan dapat beradaptasi dengan perubahan ini untuk mematuhi kewajiban perpajakannya dan menghindari sanksi yang dapat dikenakan. Selain itu, pencabutan PER-14/PJ/2013 menunjukkan transformasi dalam pendekatan regulasi perpajakan menuju lingkungan yang lebih terkini dan efektif.

Dengan adanya Peluncuran Aplikasi baru ini, diharapkan bisnis owner dapat melakukan manajemen perpajakan yang baik. Jika bisnis owner masih bingung dan masih gagal paham. Langsung saja konsultasikan ke kami sekarang!! Yuk buruan konsultasi dengan kami, tunggu apa lagi??

Ungkap Bukti Bisnis Hiburan Pulih, Siap Kena Pajak 40-75%

Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK) Kementerian Keuangan mengungkapkan data industri hiburan yang kini telah pulih dari dampak Pandemi Covid-19. Pajak hiburan khusus yang tarifnya 40-75% pun sudah lama diterapkan daerah pada masa itu.

Direktur Pajak Daerah dan Retribusi Daerah DJPK Kemenkeu Lydia Kurniawati Christyana mengatakan, total pendapatan daerah dari pajak hiburan sebesar Rp 2,2 triliun pada 2023. Nilai ini hampir setara dengan realisasi pada 2019 saat sebelum Covid-19 sebesar Rp 2,4 triliun.

Saat Covid-19 merebak di Indonesia pada 2020, realisasi penerimaan pajak hiburan di daerah memang turun menjadi Rp 787 miliar. Lalu, pada 2021, setoran sudah semakin turun menjadi 477 miliar. Namun, setelah Covid-19 mereda pada 2022, angkanya naik menjadi Rp 1,5 triliun, dan semakin tinggi pada 2023 menjadi Rp 2,2 triliun.

"2023 itu sudah Rp 2,2 triliun, jadi sudah bangkit," kata Lydia saat konferensi pers di kantor pusat Kemenkeu, Jakarta, Selasa (16/1/2024).

 

 

Pada masa itu pun, Lydia menekankan, tarif pajak hiburan sudah ada yang diterapkan daerah sekitar 40%-75% seperti yang telah diatur dalam Undang-Undang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (UU HKPD) untuk hiburan khusus. Padahal, kala itu masih berlaku ketentuan UU PDRD yang tak mewajibkan batas minimum 40%.

Ia mengatakan, setidaknya ada 177 daerah yang menerapkan tarif di kisaran 40%-75% pada masa itu, dari total 436 daerah. Terdiri dari range tarif kisaran 40-50% sebanyak 36 daerah, 50-60% sebanyak 67 daerah, 60-70% sebanyak 16 daerah, dan 70-75% ada sejumlah 58 daerah.

"Jadi kalau basenya keputusan pembahasan di DPR itu sudah melihat praktik-praktik pemungutan di beberapa daerah yang sudah menerapkan 40% itu dengan dasar UU 28/2009, jadi ini bagi daerah bukan sesuatu yang baru," ungkap Lydia.

 

 

Sebagai informasi, besaran tarif itu khusus untuk objek Pajak Barang Jasa Tertentu (PBJT) atas jasa hiburan pada diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa yang ditetapkan dalam UU HKPD. Sedangkan dalam aturan yang lama di UU PDRD berlaku untuk pagelaran busana, kontes kecantikan, diskotek, karaoke, klab malam, permainan ketangkasan, panti pijat, dan mandi uap/spa.

Selain jenis objek yang termasuk dalam pajak hiburan khusus dalam PBJT itu, UU HKPD menetapkan tarif pajak jasa hiburan lainnya maksimal hanya sebesar 10%. Turun dari batas maksimal untuk tarif pajak hiburan umum yang termuat dalam UU PDRD maksimal sebesar 35%.

"Ini harus kita cermati ada penurunan tarif yang ditetapkan UU yang semula jasa kesenian dan hiburan umum itu sampai dengan 35%, dengan UU ini menjadi sampai dengan 10%. Mengapa? jawabannya adalah karena pemerintah sangat mendukung pengembangan pariwisat di daerah," kata Lydia.

 

Kesimpulan

Data menunjukkan bahwa industri hiburan telah pulih dari dampak pandemi, dan pajak hiburan khusus dengan tarif 40-75% telah memberikan kontribusi signifikan terhadap pendapatan daerah. Penurunan tarif pajak umum dianggap sebagai langkah pemerintah untuk mendukung pengembangan pariwisata di daerah. Meskipun ada kontroversi terkait kenaikan tarif pajak hiburan, data ini memberikan gambaran tentang pemulihan ekonomi sektor hiburan di Indonesia.

Dengan adanya Penerbitan PMK baru ini, diharapkan bisnis owner dapat melakukan manajemen perpajakan yang baik. Jika bisnis owner masih bingung dan masih gagal paham. Langsung saja konsultasikan ke kami sekarang!! Yuk buruan konsultasi dengan kami, tunggu apa lagi??

 

Ketentuan Pemotongan Tarif Efektif PPh 21 dalam PMK 168/2023

Pemerintah secara resmi telah merilis peraturan baru yang menjadi petunjuk pelaksanaan pemotongan pajak penghasilan Pasal 21 dan/atau Pasal 26. Pedoman tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 168 Tahun 2023.

PMK Nomor 168 Tahun 2023 ini menggantikan PMK Nomor 252 Tahun 2008 yang sekaligus sebagai turunan dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 58 Tahun 2023 tentang Tarif Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, atau Kegiatan Wajib Pajak Orang Pribadi yang baru diluncurkan pemerintah.

 

 

Berikut rangkuman ketentuan pelaksanaan pemotongan PPh Pasal 21 menurut PMK Nomor 168 Tahun 2023:

PPh Pasal 21 untuk Pegawai Tetap

• Pasal 15 ayat (1) dan (2) PMK 168/2023 menyebutkan tarif efektif bulanan diterapkan untuk penghitungan PPh Pasal 21 per masa, sedangkan tarif Pasal 17 PPh digunakan untuk penghitungan PPh Pasal 21 pada masa pajak terakhir. Ketentuan itu juga berlaku untuk pensiunan dan pegawai yang berhenti di pertengahan tahun.

• Tarif efektif bulanan digunakan untuk setiap mas apajak dan penghitungan ulang menggunakan tarif progresif dilakukan untuk masa pajak terakhir, yaitu masa saat pegawai berhenti bekerja (resign).

• Kewajiban pajak subjektif untuk pegawai tetap baru akan dimulai setelah bulan Januari atau sebelum berakir bulan Desember, penghitungan PPh Pasal 21 yang terutang dilakukan berdasarkan penghasilan neto yang disetahunkan. Pajak dihitung secara proporsional terhadap jumlah bulan di dalam bagian tahun pajak yang bersangkutan.

 

PPh Pasal 21 untuk Pegawai Tidak Tetap

• PPh Pasal 21 pegawai tidak tetap dengan penghasilan rata-rata harian sampai dengan Rp2.500.000, akan dihitung menggunakan tarif efektif harian

• Jika lebih dari Rp2.500.000, PPh Pasal 21 terutang dihitung dengan menggunakan tarif Pasal 17 UU PPh dikalikan dengan 50% dari jumlah penghasilan bruto sehari atau rata-rata jumlah penghasilan bruto sehari.

• Pegawai tidak tetap yang menerima/memperoleh penghasilan secara bulanan, PPh Pasal 21 dihitung menggunakan tarif efektif bulanan dikalikan denfan penghasilan bruto dalam masa pajak yang bersangkutan.

 

Baca Juga : Begini Kelebihan Menjadi PKP, Non PKP Jangan Iri!

PPh Pasal 21 untuk Bukan Pegawai

• PMK 168/2023 tidak lagi membedakan antara bukan pegawai/tenaga ahli yang menerima penghasilan berkeseinambungan dengan tidak berkesinambungan.

• Untuk kategori bukan pegawai seperti tenaga ahlidan orang pribadi yang memberikan jasa, ada penegasan PPh Pasal 21 hanya dikenakan atas jasa.

• Selain jasa katering, penghasilan bruto sebagai dasar pengenaan pajak adalah jumlah penghasilan di luar pembelian material, pembayaran upah kepada pihak lain yang dikerjakan, atau pembayaran kepada pihak ketiga.

• PPh Pasal 21 dihitung menggunakan tarif progresif sesuai dengan Pasal 17 UU PPh.

• Dasar pengenaan pajak yang digunakan adalah 50% dari penghasilan bruto

• Tarif pemotongan untuk setiap masa didasarkan pada jumlah penghasilan bruto yang diterima di masa tersebut, tidak lagi ditentukan berdasarkan penghasilan kumulatif dengan masa sebelumnya.

 

Zakat Dapat Menjadi Pengurang dalam Menghitung PPh Pasal 21

• PMK 168/2023 menegaskan bahwa pemberi kerja bisa memperhitungkan zakat yang dibayarkan pegawai/pensiunan sebagai pengurang. Ini merupakan pengaturan baru karena sebelumnya komponen zakat hanya dihitung sebagai pengurang dalam SPT Tahunan PPh.

• Ketentuan tersebut berlaku juga untuk sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia selama dibayarkan kepada badan amil zakat, lembaga amil zakat, dan lembaga keagamaan yang disahkan pemerintah.

 

Kelebihan Pembayaran Wajib Dikembalikan Kepada Pegawai

• Perusahaan dapat memberikan kompensasi jika terjadi kelebihan pemotongan.

• Pengembalian pembayaran dilakukan bersamaan dengan pemberian bukti pemotongan PPh Pasal 21 paling lambat akhir bulan berikutnya setelah masa pajak terakhir

• Di sisi pemberi kerja/pemotong, jika terdapat kelebihan penyetoran, pemberi kerja dapat melakukan kompensasi kelebihan pembayaran tersebut dengan PPh Pasal 21 atau 26 yang terutang pada bulan berikutnya melalui SPT Masa.

 

Pemotongan PPh Pasal 21 Lainnya

• PPh Pasal 21 untuk dewan komisaris atau dewan pengawas yang menerima penghasilan secara tidak teratur, dihitung menggunakan tarif efektif bulanan dikalikan dengan penghasilan bruto dalam satu masa pajak

• PPh Pasal 21 untuk peserta kegiatan dihitung menggunakan tarif Pasal 17 UU PPh dikalikan dengan penghasilan bruto. Jika yang menerima adalah pegawai tetap, penghasilan digabungkan dengan penghasilan lain dan dihitung dengan mekanisme untuk pegawai tetap.

• PPh Pasal 21 bagi pegawai yang melakukan penarikan dana pensiun, dihitung menggunakan tarif PPh
Pasal 17 UU PPh dikalikan dengan penghasilan bruto dalam satu masa pajak

• PPh Pasal 21 untuk mantan pegawai, dihitung menggunakan tarif Pasal 17 UU PPh dikalikan dengan penghasilan bruto dalam satu masa pajak.

 

Baca Juga : Pengenaan Pajak Atas Transaksi Elektronik di Platfrom E-Commerce

 

KESIMPULAN

Dengan adanya perubahan ini, diharapkan proses perhitungan pajak menjadi lebih jelas dan sesuai dengan jenis pekerjaan serta status pegawai. Pemberlakuan zakat dan sumbangan keagamaan sebagai pengurang juga menjadi langkah positif untuk mendukung kegiatan keagamaan yang diakui oleh pemerintah.

Bagi bisnis owner yang sedang mencari layanan konsultan pajak terbaik untuk mengurusi kesulitan Masalah Perpajakan lainnya, kwa-consulting.id merupakan pilihan yang tepat. Alasannya karena layanan konsultan pajak ini sudah berpengalaman dan terpercaya. Selain itu, juga memiliki rekam jejak yang baik.Yuk buruan konsultasi dengan kami, tunggu apa lagi??

Ditjen Pajak Siap Rilis Aplikasi PPh 21 Tarif Efektif pada Januari 2024.

Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) tengah menyiapkan alat bantu atau aplikasi untuk menghitung pajak penghasilan (PPh) Pasal 21 menggunakan tarif efektif.


Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat Dwi Astuti mengatakan, alat bantu tersebut siap meluncur dan bisa diakses oleh Wajib Pajak mulai Januari 2024.


"DJP sedang menyiapkan alat bantu yang akan membantu dalam memudahkan penghitungan PPh Pasal 21, yang dapat diakses melalui DJPOnline mulai bulan Januari 2024," ujar Dwi dikutip dari Kontan.co.id, Sabtu (30/12/2023).


Baca juga: Hak dan Kewajiban Wajib Pajak saat Pemeriksaan Bukper, Ini Detailnya

 

Seperti diketahui, Pemerintah resmi menerbitkan aturan yang menjadi dasar dalam penggunaan tarif efektif untuk penghitungan pajak penghasilan (PPh) Pasal 21. Hal tersebut tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2023 yang ditekan Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada tanggal 27 Desember 2023.


Aturan ini bertujuan untuk memberikan kemudahan dan kesederhanaan pelaksanaan pemenuhan kewajiban perpajakan kepada Wajib Pajak atas pemotongan PPh 21, termasuk bagi pejabat negara, pegawai negeri sipil (PNS), anggota TNI, anggota Kepolisian Negara RI, dan pensiunannya.

Untuk itu, perlu dilakukan penyesuaian terhadap mekanisme pemotongan dan pengenaan PPh Pasal 21. Pemerintah menyebut, penerapan tarif efektif ini akan memberikan kemudahan dan penyederhanaan pemotongan PPh 21 bagi Wajib Pajak.

"Penetapan tarif efektif pemotongan PPh Pasal 21 dilakukan dengan telah memperhatikan adanya pengurang penghasilan bruto berupa biaya jabatan atau biaya pensiun, iuran pensiun, dan Penghasilan Tidak Kena Pajak," bunyi bagian Penjelasan beleid tersebut.

 

Baca juga: Gaji Rp5 Juta Kena Pajak, Berapa Potongan Pajaknya??

 

Dwi menjelaskan, kemudahan tersebut tercermin dari kesederhanaan cara penghitungan pajak terutang. Sebelumnya, untuk menentukan pajak terutang, pemberi kerja harus mengurangkan biaya jabatan, biaya pensiun, iuran pensiun, dan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) dari penghasilan bruto. Hasilnya baru dikalikan dengan tarif pasal 17 UU PPh.

"Dengan PP ini, penghitungan pajak terutang cukup dilakukan dengan cara mengalikan penghasilan bruto dengan tarif efektif," kata Dwi. 

 

Kesimpulan

Kesederhanaan cara penghitungan pajak terutang menjadi nilai tambah, memudahkan pemberi kerja dalam menentukan kewajiban perpajakan. Semoga langkah-langkah ini tidak hanya memberikan kemudahan administratif, tetapi juga memberikan manfaat maksimal bagi Wajib Pajak di Indonesia, mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.

Dengan adanya peraturan baru ini, diharapkan bisnis owner dapat melakukan manajemen perpajakan yang baik. Jika bisnis owner masih bingung dan masih gagal paham. Langsung saja konsultasikan ke kami sekarang!! Yuk buruan konsultasi dengan kami, tunggu apa lagi??

Catat!! Perhitungan PPh 21 Menggunakan TER

 

Menghitung PPh 21 Menggunakan TER

Tahun baru 2024 diawali dengan berlakunya penggunaan tarif efektif rata-rata, atau sering disebut juga dengan TER. Skema TER digunakan untuk menghitung besarnya Pajak Penghasilan Pasal 21 (PPh 21), yang merupakan jenis pajak yang dikenakan untuk pegawai. 

Kebijakan TER diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2023 (PP 58/2023). Aturan tersebut ditetapkan pada tanggal 27 Desember 2023, meskipun demikian, isu perubahan penghitungan PPh 21 menggunakan skema TER telah muncul sejak awal tahun 2023.

 

Mengapa Kebijakan Penghitungan PPh 21 Diubah?

Penghitungan PPh 21 diubah bukan tanpa alasan. Pemerintah menjelaskan, salah satu alasan perubahan skema penghitungan PPh 21 yaitu karena saat ini penghitungan pemotongan PPh 21 memiliki berbagai skema perhitungan yang dapat membingungkan Wajib Pajak. Selain itu, banyaknya skema penghitungan PPh 21 secara administrasi perpajakan memberatkan bagi Wajib Pajak. 

Setidaknya terdapat tiga tujuan perubahan penghitungan PPh 21, yaitu:

  1. Memberikan kemudahan dan kesederhanaan bagi Wajib Pajak untuk menghitung pemotongan PPh Pasal 21 di setiap Masa Pajak;
  2. Meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya; dan
  3. Memberikan kemudahan dalam membangun sistem administrasi perpajakan yang mampu melakukan validasi atas perhitungan Wajib Pajak.

 

TER Berlaku: Apakah Ada Pajak Baru yang Muncul?

TER merupakan sebuah skema untuk menghitung PPh 21, bukan merupakan jenis pajak baru. Dengan demikian, tidak terdapat jenis pajak yang baru yang timbul akibat berlakunya ketentuan TER. Skema TER hanya digunakan untuk selain masa pajak terakhir. 

Apabila perusahaan menggunakan tahun buku Januari s.d. Desember, maka penghitungan PPh 21 dilakukan menggunakan skema TER untuk bulan Januari s.d. November, sedangkan penghitungan PPh 21 dilakukan menggunakan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh. Tarif Pasal 17 UU PPh maupun TER digunakan untuk pemotongan PPh Pasal 21 bagi Wajib Pajak Orang Pribadi (WPOP) yang menerima penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan, termasuk pejabat negara, PNS, TNI, Polisi dan pensiunannya.

Mengenal TER PPh 21

 

TER terdiri atas tarif efektif bulanan dan tarif harian.

1. Tarif Efektif Bulanan 

Tarif efektif bulanan ditentukan berdasarkan PTKP. Terdapat tiga kategori untuk tarif bulanan, yaitu kategori A, B, dan C. Adapun rincian PTKP untuk masing-masing kategori adalah sebagai berikut:

  • Kategori A (TER A) yaitu TK/0 (dengan PTKP Rp54 juta) serta TK/1 dan K/0 (dengan PTKP Rp58,5 juta)
  • Kategori B (TER B) yaitu TK/2 dan K/1 (dengan PTKP Rp63 juta) serta TK/3 dan K/2 (dengan jumlah PTKP Rp67,5 juta)
  • Kategori C (TER C) yaitu K/3 (dengan PTKP Rp72 juta)

Besarnya tarif efektif bulanan bervariasi antarkategori. Namun secara umum, tarif efektif bulanan berkisar antara 0%-34% per bulan. Adapun banyaknya lapisan TER A adalah 44 lapis, TER B 40 lapis, dan TER C 41 lapis.

 

2. Tarif Efektif Harian

Tarif harian ditentukan berdasarkan besaran penghasilan bruto harian. Penghasilan bruto harian yang menjadi dasar pengenaan PPh 21 dengan skema TER yaitu penghasilan pegawai tidak tetap yang diterima secara harian, mingguan, satuan atau borongan. Dalam hal penghasilan tidak diterima secara harian, TER dikalikan dengan jumlah rata-rata pengasilan sehari (rata-rata upah mingguan, satuan, borong, untuk setiap hari kerja yang digunakan).

Besarnya tarif efektif harian (TER Harian) dibagi menjadi dua, yaitu 0% dan 0,5%. Tarif 0% digunakan apabila penghasilan bruto harian paling tinggi Rp450 ribu, sedangkan tarif 0,5% digunakan apabila penghasilan bruto harian lebih dari Rp450 ribu sampai dengan Rp2,5 juta.

 

Cara Menghitung PPh 21 Menggunakan TER

Secara sederhana, penerapan kebijakan TER untuk menghitung PPh 21 pegawai tetap adalah sebagai berikut:

• Penghitungan TER per bulan untuk Januari-November adalah sebesar

= Penghasilan bruto x TER

 

Besarnya penghasilan bruto bulanan yang menjadi dasar penghitungan TER bulanan yaitu penghasilan yang diterima WPOP dalam satu masa pajak. Besarnya TER ditentukan berdasarkan PTKP

• Penghitungan TER bulan Desember adalah sebesar

= Penghasilan aktual Januari-Desember x Tarif Pasal 17(1) huruf a UU PPh

 

Penghitungan PPh 21 di Bulan Desember dilakukan dengan mempertimbangkan jumlah penghasilan secara aktual. Selain itu, penghitungan PPh 21 di Bulan Desember dilakukan menggunakan tarif Pasal 17 UU PPh. Setelah penghitungan PPh 21 selama setahun tersebut diketahui, maka besarnya PPh 21 Masa Desember dihitung sebagai berikut:

= PPh 21 setahun yang dihitung dengan tarif Pasal 17 UU PPh – PPh yang sudah dibayar Januari-November yang dihitung dengan TER Bulanan.

 

Skema Perubahan PPh 21 

Melalui slide materi Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2023 tentang Tarif Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan  Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, atau Kegiatan Wajib Pajak Orang Pribadi, DJP memaparkan skema perubahan PPh 21 sebagai berikut:

 

1. Pegawai Tetap

 

2. Pegawai Tidak Tetap

 

3. Bukan Pegawai

 

4. Subjek Lainnya

 

Kesimpulan

Dalam keseluruhan, perubahan ini diharapkan dapat membuat penghitungan PPh 21 menjadi lebih sederhana, memberikan kemudahan bagi Wajib Pajak, dan meningkatkan kepatuhan perpajakan.

Dengan adanya Perubahan baru ini, diharapkan bisnis owner dapat melakukan manajemen perpajakan yang baik. Jika bisnis owner masih bingung dan masih gagal paham. Langsung saja konsultasikan ke kami sekarang!! Yuk buruan konsultasi dengan kami, tunggu apa lagi??

KWA Consulting adalah salah satu perusahaan Jasa konsultan Pajak professional di Indonesia yang menyediakan layanan dengan cakupan luas di bidang konsultasi Pajak, Akutansi, Keuangan dan Pembukuan Perusahaan.
Contact Detail
Whatsapp: +62 81808328841
Email: admin@kwa-consulting.id
Podomoro Golf View Tower Dahoma

Jl. Raya Bojong Nangka, Bojong Nangka, Kec. Gn. Putri, Kabupaten Bogor 16963.

Office Hour

Monday - Friday,
08:00 17:00