Info

Mengenal Pajak Progresif atas Kendaraan Bermotor yang Harus Anda Bayar

Apa itu Pajak Kendaraan Bermotor Progresif?

Pajak Kendaraan Bermotor Progresif adalah tarif pemungutan Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) dengan persentase yang naik dengan banyaknya jumlah kendaraan yang dimiliki sebagai dasar pengenaan pajak. Intinya, jika mempunyai lebih dari satu kendaraan atas nama dan alamat yang sama, hitungan pajaknya jadi beda.

Kebijakan tarif Pajak Kendaraan Bermotor juga diarahkan untuk mengurangi tingkat kemacetan di daerah perkotaan dengan memberikan kewenangan daerah untuk menerapkan tarif pajak progresif untuk kepemilikan kendaraan kedua dan seterusnya.

Tanda dikenai pajak progresif adalah adanya kode berupa angka di bagian atas STNK. Kalau ada angka 003, berarti kita kena pajak progresif ketiga. Kalau 004, berarti pajak progresif keempat, dan seterusnya. Kode itu sekaligus menjadi bukti pembayaran pajak progresif kendaraan.

Baca juga: Simak Manfaat Invoice Financing Bagi Industri Manufaktur

Wajib Pajak

Wajib Pajak pajak progresif terhadap Pajak Kendaraan Bermotor adalah orang pribadi yang memiliki kendaraan bermotor baik roda dua maupun roda empat.

 

Objek Pajak

Pasal 6 ayat (2) Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah mengatur bahwa pajak progresif dikenakan terhadap kepemilikan kendaraan bermotor pribadi baik roda dua dan roda empat didasarkan atas nama dan/atau alamat yang sama. Jika nama dan alamat pemilik berbeda, maka tidak dikenakan pajak progresif. Pajak progresif ini tidak berlaku untuk kendaraan dinas pemerintahan dan kendaraan angkutan umum.

 

Rumus Perhitungan Pajak Progresif atas Pajak Kendaraan Bermotor

a. Dasar Pengenaan Pajak

Untuk menghitung pajak progresif kendaraan bermotor, harus diketahui dulu Dasar Pengenaan Pajak (DPP) kendaraan. DPP ditentukan oleh pemerintah daerah masing-masing dengan melihat harga pasaran kendaraan dan hal-hal yang mengurangi nilai kendaraan itu, seperti jalan yang rusak.

Dasar pengenaan Pajak Kendaraan Bermotor adalah hasil perkalian dari 2 unsur pokok, yaitu:

  • Nilai Jual Kendaraan Bermotor (harga pasaran umum); dan
  • Bobot yang mencerminkan secara relatif tingkat kerusakan jalan dan/atau pencemaran lingkungan akibat penggunaan kendaraan bermotor yang dinyatakan dalam koefisien yang nilainya 1 atau lebih besar dari 1.

DPP = Nilai Jual Kendaraan Bermotor (NJKB) x Bobot yang ditetapkan PerGub (bukan nilai jual dipasaran)

Khusus kendaraan bermotor yang digunakan di luar jalan umum, termasuk alat-alat berat dan alat-alat besar serta kendaraan di air, dasar pengenaan Pajak Kendaraan Bermotor hanya NJKB.

b. Tarif Pajak Kendaraan Bermotor

Mengambil contoh penerapan pajak progresif atas Pajak Kendaraan Bermotor di DKI Jakarta, Pasal 7 ayat (1) Perda DKI No. 8 Tahun 2010 ditetapkan sebagai berikut:

  • 1,5% untuk kepemilikan kendaraan bermotor pertama;
  • 2% untuk kepemilikan kendaraan bermotor kedua;
  • 2,5% untuk kepemilikan kendaraan bermotor ketiga; dan
  • 4% untuk kepemilikan kendaraan bermotor keempat dan seterusnya.

 

Lapor ke SAMSAT

Untuk menghindari terkena Pajak Progresif, lakukan proses Balik Nama Kendaraan kepada orang yang akan membeli kendaraan Anda. Setelah itu, Anda dapat melaporkannya ke Sistem Administrasi Manunggal Satu Atap (SAMSAT) Dinas Pelayanan Pajak Pemerintah Provinsi tempat kendaraan bermotor yang telah dialihkan tersebut terdaftar dan dilakukan 30 hari setelah pengalihan kendaraan bermotor. Anda mengajukan surat pernyataan yang tersedia di Samsat terkait. Setelah surat pernyataan tersebut diisi dengan lengkap dan benar, ditandatangani di atas meterai Rp6.000 serta dilengkapi dengan fotokopi KTP dan Kartu Keluarga.

Komponen Pajak Kendaraan (Termasuk Perubahan 2025)

Mulai 5 Januari 2025, pemerintah akan mengatur lebih banyak komponen pajak yang wajib dibayar pemilik kendaraan, baik saat membeli maupun memiliki kendaraan. Total ada 7 komponen pajak yang akan dibebankan, berikut adalah komponen pajak tersebut:

  1. Pajak Kendaraan Bermotor (PKB): Pajak tahunan wajib yang dibayarkan oleh semua pemilik kendaraan. Besarannya 2% dari NJKB.
  2. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB): Pajak ini dikenakan saat kendaraan baru atau bekas berpindah kepemilikan. Untuk kendaraan baru, tarifnya sekitar 10% dari NJKB.
  3. Pajak Progresif: Pajak tambahan untuk kendaraan kedua dan seterusnya. Tarifnya meningkat sesuai jumlah kendaraan.
  4. Pajak Pertambahan Nilai (PPN): Pajak sebesar 11% dari harga jual kendaraan. Hal ini sesuai dengan perubahan terbaru dalam tarif PPN di Indonesia.
  5. Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM): Pajak yang dikenakan pada kendaraan mewah. Besarannya bervariasi tergantung jenis kendaraan dan aturan yang berlaku.
  6. Pajak Daerah Lainnya: Pajak ini bergantung pada peraturan pemerintah daerah masing-masing. Misalnya, ada biaya tambahan untuk pengelolaan jalan atau lingkungan.
  7. Sumbangan Wajib Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan (SWDKLLJ): Biaya ini digunakan untuk mendanai asuransi kecelakaan lalu lintas. Tarifnya sekitar Rp143.000 untuk kendaraan roda empat.

Cara Menghitung Pajak Kendaraan Bermotor Progresif

Yuda memiliki 1 unit mobil sedan merk ABC dengan tipe XYZ Tahun pembuatan 2015 (“Mobil I”) dan 1 unit mobil jeep merk DEF dengan tipe KLM dengan tahun pembuatan 2015 (“Mobil II”). Kedua mobil tersebut didaftarkan atas namanya dan alamatnya di Kota Jakarta Timur. Bagaimana tata cara perhitungan Pajak Kendaraan Bermotor terutang untuk 1 tahun pajak?

Jawab:

Mobil I memiliki Nilai Jual Kendaraan Bermotor sebesar Rp120.000.000,00 dengan koefisien Bobot senilai 1;

Mobil II memiliki Nilai Jual Kendaraan Bermotor sebesar Rp275.000.000,00 dengan koefisien Bobot senilai 1;

Maka perhitungannya adalah:

Tarif PKB = DPP X Tarif Pajak

Mobil I = (Rp120.000.000,00 x 1) x 1,5% = Rp1.800.000,00

Mobil II = (Rp275.000.000,00 x 1) x 2% = Rp5.500.000,00

Jadi, total Pajak Kendaraan Bermotor terutang untuk 1 tahun masa pajak yang wajib dibayarkan Yuda adalah sebesar Rp7.300.000,00

Pajak Progresif Kendaraan bermotor ini dikenakan dengan alasan untuk memenuhi rasa keadilan dan mempertimbangkan asas kemampuan lebih wajib pajak atas kepemilikan kedua dan seterusnya. Alasan ini muncul kedepannya untuk mempersiapkan Pemerintah dengan transportasi umum dengan makin tingginya angka kepemilikan kendaraan pribadi.

 

Kesimpulan

Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) Progresif adalah pajak yang meningkat seiring bertambahnya jumlah kendaraan yang dimiliki oleh seseorang. Semakin banyak kendaraan, semakin tinggi tarif pajaknya. Kebijakan ini bertujuan mengurangi kemacetan dan memastikan keadilan pajak. Mulai 2025, ada juga komponen pajak tambahan seperti PPnBM, PPN, dan SWDKLLJ yang harus dibayar oleh pemilik kendaraan. Pemerintah berharap ini bisa mengurangi penggunaan kendaraan pribadi dan mendorong transportasi umum. Nah itulah informasi Tentang Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) Progresif, Diharapkan informasi diatas bisa membantu Anda untuk lebih mengenal dan memahami tentang Perpajakan. Bila Bisnis owner masih bingung dan gak punya waktu, KWA Consulting bisa bantu! jadi tunggu apalagi?? Hubungi kami sekarang juga ya!

Mengenal Core Tax Administration System dan Implementasi CTAS

Core Tax Administration System (CTAS) atau Sistem Inti Administrasi Perpajakan adalah inovasi digital yang dikembangkan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Ketahui bagaimana implementasi dan cara kerja core tax system ini.

Dengan implementasi CTAS, DJP mengadopsi teknologi berbasis Comercial Off-the-Shelf (COTS) untuk membangun sistem yang lebih modern dan berbasis data.

Transformasi ini tidak hanya menyederhanakan proses administrasi pajak, tetapi juga meningkatkan kepatuhan wajib pajak serta mengoptimalkan penerimaan negara.


Apa itu CTAS (Core Tax Administrasi System)?

Coretax System atau CTAS adalah sistem administrasi pajak yang merupakan bagian dari upaya pemerintah melakukan reformasi perpajakan di Indonesia.

Seperti dikutip dari laman resmi Ditjen Pajak, reformasi perpajakan sendiri terdiri dari lima pilar yakni penyederhanaan organisasi, penyediaan SDM yang berintegritas, teknologi informasi berbasis data, penyederhanaan proses bisnis, dan kepastian hukum melalui penyederhanaan peraturan perpajakan.

Reformasi perpajakan melalui sistem informasi sudah dilakukan secara bertahap sejak 2017 dengan penggunaan teknologi untuk pembayaran dan pelaporan pajak secara elektronik.

Sedangkan upaya reformasi perpajakan sendiri sudah dilakukan sejak 1983 yang dimulai dengan mengubah paradigma petugas pajak, hingga berlanjut pada 1998 dengan melaksanakan modernisasi administrasi perpajakan.

Kemudian DJP terus mengembangkan transformasi digital perpajakan di Indonesia melalui implementasi core tax atau CTAS.

“Dengan core tax system, tidak ada lagi perekaman administrasi pajak secara manual atau diperiksa oleh manusia. Sedikit mungkin intervensi dari manusia dalam proses data input karena datanya digital.“ demikian pernyataan Staf Ahli Bidang Peraturan dan Penegakan Hukum Pajak DJP, Iwan Djuniardi, seperti dikutip dari CNBC Indonesia.

 

Apa Tujuan dan Manfaat CTAS atau Core Tax System?

Transformasi digital ini diharapkan dapat menyederhanakan proses bisnis pelaksanaan administrasi perpajakan, baik dari sisi DJP dalam melaksanakan tugasnya maupun bagi wajib pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya.

Hal ini sebagaimana disebutkan dalam Peraturan Presiden (Perpres) No. 40 Tahun 2018 tentang Pembaruan Sistem Administrasi Perpajakan, bahwa tujuan pembaruan tersebut di antaranya:

  • Mewujudkan institusi perpajakan yang kuat, kredibel dan akuntabel yang mempunyai proses bisnis yang efektif dan efisien.
  • Membangun sinergi yang optimal antar lembaga.
  • Meningkatkan kepatuhan wajib pajak.
  • Meningkatkan penerimaan negara.

Kemudian manfaat core tax administration system di antaranya:

  • Lebih simpel karena menggunakan omnichannel & borderless
  • Lebih praktis karena penggunaan sistem yang universal
  • Lebih cepat karena sistem dan data yang terintegrasi
  • Lebih efektif karena akses sistem yang mudah

Sehingga perbedaan CTAS dengan sistem administrasi pajak sebelumnya dengan adanya core tax ini adalah sistem yang terotomasi dan terintegrasi sehingga proses administrasi perpajakan lebih sederhana.

Contoh CTAS berupa:

  • Integrasi data wajib pajak antara sistem DJP dengan Dinas Kependudukan berupa NIK sebagai NPWP.
  • Pemeriksaan dan penagihan pajak hingga fungsi taxpayer accounting atau aktivitas perpajakan wajib pajak.
Baca Juga:Panduan Komprehensif mengenai Ketentuan Pajak THR (Tunjangan Hari Raya)

 

Perbedaan CTAS dengan Sistem Administrasi Pajak Sebelumnya

Melalui akun media sosial resmi DJP Youtube @DitjenPajakRI melakukan sosialisasi implementasi CTAS dalam memberikan kemudahan layanan administrasi pajak.

Berikut tabel perbedaan CTAS dengan sistem administrasi pajak sebelumnya:

 

Implementasi Core Tax System atau CTAS

Dikutip dari laman Ditjen Pajak, CTAS atau dengan nama lain Pembaruan Sistem Inti Administrasi (PSIAP) ini merupakan proyek rancang ulang proses bisnis administrasi perpajakan melalui pembangunan sistem informasi yang berbasis COTS (Commercial Off-the-Shelf) yang disertai dengan pembenahan basis data perpajakan.

Proses ini melibatkan pengujian integrasi sistem, verifikasi fungsional, serta pengujian non-fungsional untuk memastikan sistem berfungsi sesuai standar kualitas yang ditetapkan.

Setelah serangkaian persiapan dan pengujian, DJP mengumumkan implementasi CTAS secara nasional pada 1 Januari 2025, yang disertasi dengan masa transisi.

Setidaknya implementasi CTAS/PSIAP dilakukan secara bertahap, mulai dari persiapan dan dilakukannya pengujian hingga pelaksanaan penuh.

Sebagai langkah mendukung implementasi CTAS, pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 81 Tahun 2024 yang mengatur ketentuan perpajakan dalam penerapan core tax system.

Peraturan tersebut mencakup berbagai aspek perpajakan yang berkaitan dengan CTAS, seperti pelaksanaan hak dan kewajiban perpajakan secara digital, prosedur pendaftaran wajib pajak, pengukuhan status Pengusaha Kena Pajak (PKP), mekanisme pembayaran dan penyetoran pajak, serta proses penyampaian dan pengelolaan Surat Pemberitahuan pajak (SPT).

Cara Penggunaan CTAS untuk Administrasi Perpajakan

Berikut proses bisnis tata cara penggunaan sistem core tax untuk melakukan administrasi pajak berdasarkan sosialisasi proses bisnis CTAS dalam akun media sosial resmi DJP di @DitjenPajakRI:

A. Registrasi Wajib Pajak

1. Memiliki NPWP/NIK

Sebelum melakukan pendaftaran wajib pajak, terlebih dahulu harus memiliki NPWP yang dapat diperoleh dengan cara berikut:

  • Melakukan pendaftaran wajib pajak melalui salah satu dari 3 saluran yang tersedia: Penyedia Jasa Aplikasi Perpajakan (PJAP), Online Single Submission (OSS) bagi wajib pajak pribadi usahawan, Saluran Terintegrasi Kemenkumham bagi wajib pajak badan hukum atau badan usaha.
  • Bagi WNI/WNA yang memiliki NIK: Melakukan aktivasi NIK menjadi NPWP. WNA yang tidak mempunyai NIK pendaftaran NPWP dilampiri validasi nomor Paspor Ditjen Imigrasi dan diterbitkan nomor baru sebagai NPWP.
  • Bagi Badan Hukum (PT, PP, Yayasan, Asosiasi, dan Koperasi): Memperoleh NPWP melalui sistem Sistem Administrasi Badan Hukum (SABH) Ditjen Administrasi Hukum Umum (AHU).
  • Badan Usaha (CV, Firma dan Persekutuan Perdata): Memperoleh NPWP melalui sistem SABH Ditjen AHU.
  • Jika ada kendala pendaftaran atau bagi badan selain yang memperoleh NPWP, dapat melakukan pendaftaran melalui kanal 3C (laman pajak.go.id, Kring Pajak 1500200, Pos/Loket di KPP/KP2KP) dengan validasi SK Pengesahan.
  • Kantor Cabang: Diberikan NITKU atau identitas tempat kegiatan usaha.
  • Instansi Pemerintah: Dapat dilakukan pendaftaran melalui kanal 3C (laman pajak.go.id, Kring Pajak 1500200, Pos/Loket di KPP/KP2KP) atau saluran lain.
  • Bagi Instansi Pemerintah Pusat: dilakukan validasi kode satuan kerja ke Ditjen Perbendaharaan.

2. Aktivasi akun wajib pajak

Setelah memiliki NPWP, dilanjutkan dengan melakukan aktivasi akun wajib pajak melalui laman DJP atau datang langsung ke kantor KPP/KP2KP:

  • Proses aktivasi akun wajib pajak akan diberikan verifikasi OTP nomor telepon dan email.
  • Kemudian verifikasi identitas wajah melalui face recognition untuk WP ber-NIK atau penelitian foto untuk WP tidak ber-NIK.
  • Permohonan diterima paling lama 1 hari kerja setelah BPE/BPS dan diberikan akun wajib pajak atau pemberitahuan penolakan.
  • Wajib pajak yang tidak melakukan aktivasi akun pajak tetap dapat melakukan aktivitas perpajakan tapi terbatas.

3. Menyiapkan tanda tangan elektronik

Tanda Tangan Elektronik (TTE) digunakan untuk menandatangani dokumen wajib pajak. Tanda tangan elektronik ini meliputi:

  • TTE tidak tersertifikasi atau kode otorisasi DJP. WP perlu membuat passphrase atau kode keamanan.
  • TTE tersertifikasi atau sertifikat digital yang terintegrasi dengan laman penyelenggara sertifikat elektronik Indonesia atau PSrE. Sedangkan untuk mendapatkan Sertifikat Elektronik harus mengajukan ke laman DJP atau datang ke KPP/KP2KP.
  • Sertifikat Elektronik akan otomatis diterbitkan jika sudah memenuhi ketentuan penerbitan di PSrE.
  • Perlu diingat, sertifikat elektronik

4. Perubahan data & status

Apabila diperlukan, wajib pajak dapat melakukan perubahan data dan status:

  1. Perubahan data dapat dilakukan melalui kanal 3C (laman pajak.go.id, Kring Pajak 1500200, Pos/Loket di KPP/KP2KP)
  2. Perubahan yang dapat dilakukan di antaranya perubahan data identitas & profil wajib pajak, serta perubahan data objek PBB.
  3. Sedangkan perubahan status meliputi status aktif/inaktif wajib pajak, status pemungutan PPN PMSE Dalam Negeri, status pemungutan bea meterai, status dapat ditunjuk sebagai kuasa, pemotong/pemungutan PPh/PPN, status lembaga keuangan pelapor/non pelapor.
  4. Beberapa perubahan dapat langsung diproses oleh sistem dan beberapa lainnya masih membutuhkan penelitian.

5. Pemindahan wajib pajak

Pemindahan wajib pajak dilakukan apabila ada perubahan wilayah administrasi wajib pajak:

  • Pemindahan wajib pajak dapat diajukan melakukan kanal 3C (laman pajak.go.id, Kring Pajak 1500200, Pos/Loket di KPP/KP2KP).
  • DJP menerbitkan surat pindah atau surat penolakan pemindahan wajib pajak dalam 5 hari kerja.
  • Penghapusan NPWP.

Penghapusan dilakukan apabila wajib pajak sudah tidak memenuhi persyaratan subjek dan/objektif sesuai dengan ketentuan undang-undang perpajakan.

  • Penghapusan dapat dilakukan melalui kanal 3C (laman pajak.go.id, Kring Pajak 1500200, Pos/Loket di KPP/KP2KP).
  • Jangka waktu penyelesaian penghapusan NPWP 6 bulan untuk WP pribadi dan 12 bulan WP badan.
  • Jika masih ada tunggakan pajak, akan diberikan surat penolakan penghapusan NPWP dan diberikan waktu 30 hari untuk melunasinya. Setelah dilunasi, akan diterbitkan surat penghapusan NPWP. Jika tidak dilunasi NPWP tetap aktif.
 

B. Pembayaran Pajak

Berikut proses bisnis tata cara pembayaran pajak di sistem inti administrasi perpajakan atau core tax:

  1. Pembayaran pajak dilakukan dalam satu aplikasi saja karena sistem pembayaran antara bank persepsi dan sistem DJP sudah sudah terintegrasi.
  2. Satu kode billing dapat digunakan untuk melakukan satu atau lebih jenis masa dan ketetapan pajak. Sehingga tidak perlu membuat kode billing untuk setiap jenis pajak yang terutang.
  3. Tersedia akun deposit pajak untuk memudahkan penyetoran pajak dengan melakukan penyetoran lebih awal untuk menyediakan saldo yang cukup dalam melunasi kewajiban perpajakan agar terhindar dari sanksi keterlambatan pembayaran.
  4. Terdapat fitur pemberian imbalan bunga dan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak secara online dengan proses penyelesaian yang instan.
  5. Terdapat fitur yang otomatis menampilkan tagihan pajak yang belum dibayar.

 

Kesimpulan

CTAS (Core Tax Administration System) adalah sistem administrasi pajak digital yang merupakan bagian dari reformasi perpajakan Indonesia. Sistem ini menggantikan metode manual dengan proses otomatis dan terintegrasi, sehingga mempermudah administrasi pajak baik untuk DJP maupun wajib pajak. CTAS bertujuan untuk meningkatkan efisiensi, kepatuhan pajak, dan penerimaan negara, serta memberikan layanan yang lebih cepat, praktis, dan transparan. Implementasi penuh CTAS diperkirakan akan dimulai pada Juli 2024 setelah melalui serangkaian pengujian. Bagi bisnis owner yang sedang mencari layanan konsultan pajak terbaik untuk mengurusi kesulitan Masalah Perpajakan lainnya, kwa-consulting.id merupakan pilihan yang tepat. Alasannya karena layanan konsultan pajak ini sudah berpengalaman dan terpercaya. Selain itu, juga memiliki rekam jejak yang baik.Yuk buruan konsultasi dengan kami, tunggu apa lagi??

Beberapa Panduan PPh Pasal 23 Tarif dan Contoh Perhitungan

 

 

Apa itu PPh Pasal 23?

PPh Pasal 23 adalah pajak yang dikenakan pada penghasilan yang berasal dari modal, penyerahan jasa, hadiah, atau penghargaan, kecuali yang sudah dikenakan PPh Pasal 21. Pajak ini dipotong oleh pihak yang memberikan penghasilan kepada pihak yang menerima penghasilan.

Tarif PPh 23 bervariasi tergantung pada jenis transaksi dan status wajib pajak yang terlibat. Jika penerima penghasilan tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), maka tarif yang dikenakan lebih tinggi dibandingkan dengan yang memiliki NPWP.

Untuk diketahui, seiring pembaruan sistem pajak Direktorat Jenderal Pajak dalam coretax system, identitas pajak orang pribadi menggunakan nomor induk kependudukan.

 

Dasar Hukum PPh 23

Beberapa peraturan yang menjadi dasar hukum PPh 23 antara lain:

  • Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, yang telah mengalami beberapa perubahan hingga UU No. 36 Tahun 2008, yang mengatur pengenaan PPh 23 atas yang dipotong saat transaksi.
  • Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) No. 7 Tahun 2021, yang mengharmonisasi regulasi perpajakan, termasuk ketentuan pemotongan dan tarif pajaknya.
  • Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 141/PMK.03/2015 tentang jenis jasa lain yang dikenakan PPh 23.
  • PMK No. 69/PMK.03/2022, yang mengatur pajak atas teknologi finansial (fintech), termasuk pinjaman online (P2P lending).

 

Aturan Pengecualian Terkait Jasa Lain PPh 23

Selain peraturan di atas, terdapat juga beberapa pembaruan aturan dengan pengecualian terkait jasa lain PPh 23.

Sebelumnya, jasa lain ini diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 244/PMK.03/2008. Aturan ini kemudian diperbarui dengan berlakunya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 141/PMK.03/2015.

Pasal 1 PMK Nomor 141/PMK.03/2015

“Imbalan sehubungan dengan jasa lain selain jasa yang telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 Ayat 1 Huruf c Angka 2 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, dipotong Pajak Penghasilan sebesar 2% (dua persen) dari jumlah bruto tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai.”

Berdasarkan peraturan di atas, jasa lain yang telah diatur dalam PMK Nomor 141/PMK.03/2015 tidak dilakukan pemotongan PPh 23 jika jasa yang dimaksud tersebut sudah terlebih dahulu dipotong PPh 21.

 

Pasal 2 PMK Nomor 141/PMK.03/2015

“Dikecualikan dari pemotongan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada Ayat 1 dalam hal imbalan sehubungan dengan jasa lain tersebut telah dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final berdasarkan peraturan perundang-undangan tersendiri.”

Berdasarkan hal di atas, maka jasa lain yang sudah dikenai PPh Final akan dilakukan pemotongan PPh 23. Misalnya saja jasa lain terkait dengan jasa instalasi atau pemasangan mesin, peralatan listrik, telepon, air, gas, AC, dan/atau TV kabel.

Disebutkan bahwa jasa lain tersebut akan dipotong PPh Pasal 23 apabila yang melakukan jasa tersebut selain yang dilakukan oleh wajib pajak yang ruang lingkupnya di bidang konstruksi dan mempunyai izin dan/atau sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi. Karena bila demikian akan dipotong PPh Pasal 4 Ayat 2 jasa konstruksi.

 

Objek PPh 23

Objek pajak PPh 23 mencakup berbagai jenis penghasilan, antara lain:

  • Dividen, bunga, dan royalti.
  • Hadiah, penghargaan, bonus, dan sejenisnya.
  • Sewa dan penghasilan terkait penggunaan aset.
  • Jasa teknik, manajemen, konstruksi, dan konsultasi.
  • Jasa lainnya sesuai ketentuan PMK No. 141/PMK.03/2015.

 

Pengecualian PPh 23

Tidak semua penghasilan dikenakan PPh 23. Berikut adalah beberapa jenis penghasilan yang dikecualikan dari pemotongan pajak ini:

1. Pembayaran kepada bank, baik secara langsung maupun berulang.

2. Sewa dalam sewa guna usaha dengan hak opsi tidak dikenakan PPh 23.

3. Dividen atau laba yang diterima oleh perseroan terbatas, koperasi, BUMN/BUMD, jika berasal dari:

  • Cadangan laba yang ditahan dan kepemilikan sahamnya minimal 25% dari modal yang disetor.
  • Bagian laba yang diterima anggota dari badan usaha tertentu, seperti perseroan komanditer, firma, atau koperasi.
  • Sisa Hasil Usaha (SHU) yang dibayarkan koperasi kepada anggotanya.
  • Penghasilan dari jasa keuangan yang berperan sebagai penyalur pinjaman atau pembiayaan.

Dengan pengecualian ini, beberapa transaksi keuangan tidak dikenakan pemotongan PPh 23 sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

 

Subjek PPh Pasal 23

Pihak yang dikenakan pemotongan PPh 23 adalah:

A. Pihak yang penghasilannya dipotong PPh 23

Penerima penghasilan (wajib pajak dalam negeri, baik perorangan maupun badan, serta Bentuk Usaha Tetap atau BUT).

B. Pihak yang memotong PPh 23

Pemotong pajak (badan pemerintah, perusahaan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, dan bentuk usaha tetap).

1. Pemotong PPh 23 Bentuk Badan

  • Badan pemerintah
  • Subjek pajak badan dalam negeri
  • Penyelenggara kegiatan
  • Bentuk Usaha Tetap (BUT)
  • Atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya

2. Pemotong PPh 23 oleh Orang Pribadi

Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri (hanya memotong PPh Pasal 23 atas sewa saja) yang ditunjuk sebagai pemotong PPh 23.

Harus ada Surat Keputusan Penunjukan (SKP) yang diterbitkan oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP), namun tidak ada format baku yang tersedia.

Wajib Pajak Orang Pribadi dalam negeri tertentu yang ditunjuk Direktur Jenderal Pajak untuk memotong PPh 23 sesuai dengan KEP-50/PJ/1994, yaitu:

  • Akuntan
  • Arsitek
  • Dokter
  • Notaris
  • Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) kecuali PPAT tersebut adalah camat, pengacara, dan konsultan, yang melakukan pekerjaan bebas
  • Orang pribadi yang menjalankan usaha yang menyelenggarakan pembukuan atas pembayaran berupa sewa.
  • Wajib pajak orang pribadi ini hanya melakukan pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 23 atas sewa selain tanah dan bangunan saja.
Baca Juga: Simak Cara Mengatasi Error 'Unregistered Jar2Exe' pada E-Faktur 4.0"

 

Tarif PPh Pasal 23

Jika wajib pajak yang dipotong pajaknya tidak memiliki NPWP, tarif pajak yang dikenakan akan lebih tinggi hingga 100% dari tarif normal.

Tarif pajak yang dikenakan pada PPh 23 tergantung pada jenis objek pajaknya:

1. Tarif 15% dari jumlah bruto untuk:

  • Dividen (kecuali kepada wajib pajak orang pribadi, dikenakan final).
  • Bunga dan royalti.
  • Hadiah, penghargaan, dan bonus (selain yang sudah dipotong PPh 21).

2. Tarif 2% dari jumlah bruto untuk:

  • Sewa dan penghasilan lain terkait penggunaan aset (kecuali sewa tanah dan bangunan).
  • Imbalan jasa teknik, manajemen, konstruksi, dan konsultasi.
  • Jasa lainnya sesuai dengan ketentuan PMK No. 141/PMK.03/2015.

3. Tarif khusus untuk fintech berdasarkan PMK No. 69/PMK.03/2022:

  • Fintech dalam negeri: 15%.
  • Fintech luar negeri: 20%.

4. Tarif lebih tinggi untuk yang tidak memiliki NPWP:

  • 30% untuk dividen, bunga, dan royalti.
  • 4% untuk jasa tertentu.
  • 50% untuk hadiah atau undian.

 

Contoh Perhitungan PPh 23

PT XYZ melakukan pembayaran royalti kepada tiga desainer pada Januari 2025:

  • Tuan A (NPWP) menerima Rp35.000.000.
  • Tuan B (NPWP) menerima Rp25.000.000.
  • Tuan C (tanpa NPWP) menerima Rp5.000.000.

Perhitungan PPh 23:

  • Tuan A: 15% x Rp35.000.000 = Rp5.250.000
  • Tuan B: 15% x Rp25.000.000 = Rp3.750.000
  • Tuan C: 15% x Rp5.000.000 = Rp750.000

Karena Tuan C tidak memiliki NPWP, tarifnya naik dua kali lipat menjadi 30%:

  • 30% x Rp5.000.000 = Rp1.500.000

Setelah pemotongan pajak, pihak penerima akan mendapatkan bukti potong pajak sebagai dokumentasi pelaporan SPT Tahunan.

 

Pengecualian PPh 23 Final

Pengecualian PPh 23 final adalah jumlah bruto yang dibayarkan oleh badan pemerintah, subjek pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada WP di dalam negeri atau bentuk usaha tetap, namun ini tidak termasuk:

  • Pembayaran gaji atau payroll, upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran lain sebagai imbalan pekerjaan yang dilakukan.
  • Pembayaran untuk pembelian barang atau material yang dibuktikan dengan faktur pembelian.
  • Pembayaran pada pihak kedua (perantara), yang selanjutnya dibayarkan kepada pihak ketiga.
  • Pembayaran penggantian biaya (reimbursement).

Jumlah bruto tersebut tidak berlaku untuk kondisi seperti berikut:

  • Penghasilan yang dibayarkan untuk jasa katering.
  • Penghasilan yang dibayarkan untuk jasa, yang dikenakan pajak yang bersifat final.
  • Pembayaran gaji, upah, tunjangan, honorarium, dan pembayaran lain yang merupakan imbalan atas pekerjaan yang dilakukan.
  • Pembayaran kepada penyedia jasa atau pengadaan barang atau material terkait jasa yang diberikan.
  • Pembayaran jasa kepada pihak ketiga.
  • Pembayaran kepada penyedia jasa yang berupa penggantian atau reimbursement

 

Wajib Membuat Bukti Potong PPh Pasal 23

Pajak Penghasilan Pasal 23 biasanya terjadi ketika ada transaksi antara pihak pemberi penghasilan (pembeli atau penerima jasa) dengan yang menerima penghasilan (seperti penjual atau pemberi jasa).

Pemberi penghasilan selanjutnya akan memotong dan melaporkan pajak yang akan dipotong tersebut ke negara.

Sebagai pemotong Pajak Penghasilan pasal 23, maka wajib membuat Bukti Potong pajak dan menyerahkan bukti potongnya kepada lawan transaksi atau pihak yang telah dipotong pajak penghasilan tersebut.

Pembuatan bukti potong PPh Pasal 23 dan pelaporan SPT Masa ini juga dapat KWA Consulting bantu!

Jatuh tempo pelaporan Pajak Penghasilan PPh 23 ini setiap tanggal 20, sebulan setelah bulan terutang pajak penghasilan 23. Berikut kode akun pajak & jenis setoran antara lain :

 

Kesimpulan

Pajak Penghasilan Pasal 23 (PPh 23) dikenakan atas penghasilan tertentu di Indonesia, seperti dividen, royalti, bunga, sewa, dan jasa tertentu. Pemotongan pajak ini dilakukan oleh pihak yang memberikan penghasilan, dan tarifnya bervariasi berdasarkan jenis transaksi serta status wajib pajak (dengan atau tanpa NPWP). PPh 23 diatur oleh sejumlah peraturan perundang-undangan, seperti UU No. 7 Tahun 1983 (yang telah direvisi), UU HPP No. 7 Tahun 2021, serta PMK terkait. Objek PPh 23 meliputi dividen, bunga, royalti, hadiah, sewa, jasa teknik, dan jasa lainnya. Beberapa pengecualian dari PPh 23 termasuk pembayaran kepada bank dan sewa guna usaha dengan hak opsi. Pemotong pajak bisa berupa badan pemerintah, perusahaan, dan bentuk usaha tetap, serta beberapa wajib pajak pribadi yang ditunjuk. Pajak yang dikenakan bisa lebih tinggi bagi wajib pajak tanpa NPWP. PPh 23 juga memiliki kewajiban untuk membuat bukti potong dan melaporkan pemotongan tersebut melalui aplikasi yang tersedia. Bagi bisnis owner yang sedang mencari layanan konsultan pajak terbaik untuk mengurusi kesulitan Masalah Perpajakan lainnya, kwa-consulting.id merupakan pilihan yang tepat. Alasannya karena layanan konsultan pajak ini sudah berpengalaman dan terpercaya. Selain itu, juga memiliki rekam jejak yang baik.Yuk buruan konsultasi dengan kami, tunggu apa lagi??

Simak Barang-Barang Mewah yang Dikenakan PPN 12 Persen Mulai 2025

Mulai awal 2025, pemerintah resmi memberlakukan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12% pada barang mewah. Ketahui kriteria dan jenis barang mewah kena PPN 12 persen ini. Kami akan mengulas daftar barang mewah kena PPN baru, kriteria barang mewah, serta dampak kebijakan ini bagi konsumen dan pelaku usaha. Daftar Lengkap Barang Mewah Kena PPN 12 Persen.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak, Dwi Astuti, dalam Keterangan Tertulis No. KT-03/2024 tentang Penyesuaian Tarif PPN 1%, menyatakan kenaikan tarif PPN dari 11% menjadi 12% merupakan amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.

“Sesuai kesepakatan Pemerintah dengan DPR, kenaikan tarif dilakukan secara bertahap, dari 10% menjadi 11% mulai 1 April 2022 dan kemudian dari 11% menjadi 12% pada 1 Januari 2025. Kenaikan secara bertahap ini dimaksudkan agar tidak memberi dampak yang signifikan terhadap daya beli masyarakat, inflasi, dan pertumbuhan ekonomi.” –Bunyi Surat Keterangan dari P2Humas DJP tersebut.

Daftar barang yang dikategorikan sebagai barang mewah dan dikenakan PPN 12 persen mulai 2025 di antaranya:

  1. Barang elektronik premium (televisi layar besar, lemari es multi-door, dan peralatan elektronik kelas atas lainnya).
  2. Kendaraan mewah (mobil sportsupercar, dan motor besar/moge).
  3. Properti mewah (rumah dan apartemen dengan harga tertentu).
  4. Perhiasan (emas, berlian, dan perhiasan eksklusif lainnya).
  5. Barang impor premium (barang-barang bermerek internasional).
  6. Layanan eksklusif (layanan tertentu seperti sekolah internasional dan golf club membership).

 

Kriteria Barang yang Masuk Kategori Mewah

Barang mewah didefinisikan sebagai barang dengan kriteria sebagai berikut:

  • Tidak termasuk kebutuhan dasar.
  • Dimiliki oleh segmen masyarakat dengan daya beli tinggi.
  • Memiliki harga jual jauh di atas barang sejenis dengan spesifikasi standar.

 

Barang Elektronik dan Peralatan Rumah Tangga Mewah

Barang elektronik dan peralatan rumah tangga yang terkena PPN baru mencakup:

  • Televisi premium yakni berukuran di atas 75 inci atau teknologi canggih seperti OLED (Organic Light Emitting Diode).
  • Lemari es mewah yakni dengan kapasitas besar dan fitur canggih.
  • Peralatan rumah tangga pintar, seperti vacuum cleaner robot dan oven canggih.

 

Kendaraan Mewah yang Kena PPN

Kendaraan mewah merupakan salah satu kategori utama yang dikenakan PPN 12 persen, termasuk:

  • Mobil dengan harga jual di atas Rp 2 miliar.
  • Motor gede (moge) dengan kapasitas mesin di atas 500 cc.
  • Mobil listrik premium dengan spesifikasi tinggi.

 

Properti dan Perhiasan dengan Tarif PPN Baru

Barang seperti properti dan perhiasan juga tidak luput dari kebijakan pengenaan PPN, yakni:

  • Properti mewah yakni rumah dan apartemen dengan harga minimal Rp 30 miliar.
  • Perhiasan eksklusif yakni berlian, emas, atau batu mulia lainnya dengan desain khusus.

 

Layanan Rekreasi Eksklusif

Kemudian untuk layanan rekreasi eksklusif yang dikenakan PPN 12 persen, antara lain sebagai berikut:

  • Kapal pesiar pribadi.
  • Jet pribadi.
  • Fasilitas rekreasi kelas atas, seperti Yacht Club.
Baca Juga:Simak Dampak Kenaikan Tarif PPN 12 Persen pada Barang Mewah

Pertanyaan yang Sering Diajukan Terkait PPN Barang Mewah

Berikut beberapa hal yang kerap menjadi pertanyaan masyarakat terhadap kebijakan tarif pajak pertambahan nilai pada barang mewah:

1. Apakah semua barang mewah kena PPN 12 persen?

Tidak semua barang mewah terkena PPN 12%. Pemerintah telah menentukan daftar spesifik barang yang dikenakan pajak berdasarkan kategori dan harga tertentu.

Namun demikian, daftar spesifik barang mewah yang dikenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) tidak diatur dalam satu pasal tertentu, melainkan tersebar dalam berbagai Peraturan Pemerintah (PP) dan Peraturan Menteri Keuangan (PMK).

2. Bagaimana cara mengetahui suatu barang masuk kategori mewah?

Barang dianggap mewah jika memenuhi kriteria seperti harga tinggi, fitur eksklusif, dan ditujukan untuk segmen tertentu.

3. Apakah barang impor termasuk dalam kategori barang mewah?

Barang impor premium juga termasuk dalam daftar barang yang dikenakan PPN 12%, terutama barang bermerek internasional.

Tips bagi Konsumen dalam Menghadapi Kebijakan PPN Baru

Berikut tips yang bisa dimanfaatkan dalam menghadapi kebijakan tarif pajak pertambahan nilai yang baru:

1. Buat perencanaan pembelian barang mewah sebelum ada kenaikan tarif

Sebelum berencana membeli barang mewah, sebaiknya melakukan pembelian sebelum kebijakan berlaku guna menghindari lonjakan harga.

2. Pilih produk alternatif dengan harga yang lebih terjangkau

Selain itu dapat mempertimbangkan membeli produk dengan spesifikasi yang mendekati barang mewah namun dengan harga lebih terjangkau.

 

Kesimpulan

Mulai 2025, tarif PPN barang mewah akan naik menjadi 12%, sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Barang-barang yang dikenakan tarif ini termasuk elektronik premium, kendaraan mewah, properti, perhiasan eksklusif, dan layanan rekreasi kelas atas. Barang mewah didefinisikan sebagai produk dengan harga tinggi, bukan kebutuhan dasar, dan ditujukan untuk segmen masyarakat dengan daya beli tinggi.Bagi bisnis owner yang sedang mencari layanan konsultan pajak terbaik untuk mengurusi kesulitan Masalah Perpajakan lainnya, kwa-consulting.id merupakan pilihan yang tepat. Alasannya karena layanan konsultan pajak ini sudah berpengalaman dan terpercaya. Selain itu, juga memiliki rekam jejak yang baik. Yuk buruan konsultasi dengan kami, tunggu apa lagi?? Konsumen disarankan untuk merencanakan pembelian sebelum tarif baru diterapkan atau memilih alternatif yang lebih terjangkau.

Simak Cara Mengatasi Error 'Unregistered Jar2Exe' pada E-Faktur 4.0"

 

Apa itu Error “Unregistered Jar2Exe” pada E-Faktur 4.0?

Error “Unregistered Jar2Exe” pada aplikasi e-Faktur 4.0 adalah salah satu kendala yang sering dialami oleh pengguna aplikasi e-Faktur 4.0.

Notifikasi kode error ini muncul saat pengguna mencoba menjalankan aplikasi e-Faktur, dengan pesan bahwa program dihasilkan oleh versi unregistered dari Jar2Exe.

 

Penyebab Error “Unregistered Jar2Exe”

Beberapa penyebab terjadinya error berupa ‘Unregistered Jar2Exe’ di antaranya:

1. Penggunaan Komponen Jar2Exe

E-Faktur menggunakan Jar2Exe untuk mengonversi file berbasis Java (.jar) menjadi aplikasi yang dapat dijalankan langsung (.exe). Error ini muncul karena lisensi Jar2Exe yang digunakan sudah kadaluwarsa atau tidak valid.

2. Patch Update Tidak Terpasang

Direktorat Jenderal Pajak (DJP) secara berkala merilis patch untuk memperbaiki bug, namun jika pengguna belum memperbarui aplikasi, error ini bisa muncul.

Saat ini DJP sudah merilis sistem e-Faktur versi terbaru. Jika Anda belum memperbaruinya, segera lakukan update eFaktur 4.0.

3. File Korup atau Tidak Kompatibel

File aplikasi e-Faktur lama mungkin mengalami korupsi, sehingga fungsi tertentu gagal dijalankan.

Langkah-Langkah Mengatasi Error “Unregistered Jar2Exe”

Untuk mengatasi error ‘Unregistered Jar2Exe’, ikuti langkah-langkah berikut:

1. Mengunduh Patch Update Terbaru dari DJP

Patch terbaru untuk e-Faktur 4.0 disediakan oleh DJP untuk mengatasi masalah seperti ini. Berikut panduan mengunduhnya:

  • Buka Situs Resmi DJP: Kunjungi https://efaktur.pajak.go.id/login atau portal e-Faktur yang telah ditentukan.
  • Login ke Akun Anda: Gunakan NPWP dan password Anda untuk masuk ke sistem.
  • Akses Halaman Unduhan: Navigasi ke bagian “Unduhan” atau “Patch e-Faktur”.
  • Pilih Versi Patch Terbaru: Pastikan Anda mengunduh patch yang sesuai dengan sistem operasi yang Anda gunakan (Windows, Mac, atau Linux).
  • Simpan File: Unduh dan simpan file patch di direktori yang mudah diakses.

2. Mengganti File Aplikasi Lama dengan File Baru

Setelah patch diunduh, Anda perlu mengganti file lama dengan yang baru:

  • Ekstrak File Patch: Gunakan aplikasi seperti WinRAR atau 7-Zip untuk mengekstrak file patch.
  • Salin dan Timpakan File: Salin semua file hasil ekstraksi ke folder instalasi e-Faktur Anda. Biasanya, folder ini berada di direktori C:\Program Files\eFaktur atau lokasi instalasi Anda sebelumnya.
  • Konfirmasi Penggantian File: Ketika diminta untuk mengganti file lama, pilih “Yes to All”.

Baca Juga: Cara Mengajukan Permohonan Sertifikat Digital Di Coretax

3. Memastikan Keberhasilan Pembaruan Aplikasi

Untuk memastikan error telah teratasi, lakukan cara ini:

  • Jalankan Aplikasi: Buka aplikasi e-Faktur seperti biasa.
  • Cek Versi Aplikasi: Pastikan aplikasi menunjukkan versi terbaru sesuai dengan patch yang diunduh.
  • Verifikasi Fungsi Utama: Coba lakukan aktivitas seperti pembuatan faktur atau sinkronisasi data untuk memastikan tidak ada error lain.

 

Pertanyaan Umum yang Sering Ditanyakan Seputar Error “Unregistered Jar2Exe”

Berikut adalah beberapa pertanyaan yang sering ditanyakan terkait kendala munculnya error ‘Unregistered Jar2Exe’:

1. Mengapa E-Faktur 4.0 Menampilkan Notifikasi “Unregistered Jar2Exe”?

Error ini disebabkan oleh penggunaan teknologi Jar2Exe dalam aplikasi e-Faktur. Lisensi yang tidak terdaftar atau sudah kadaluwarsa menjadi penyebab utama munculnya notifikasi ini. Oleh karena itu, DJP merilis patch sebagai solusi untuk memperbarui dan memperbaiki aplikasi.

2. Apakah Error “Unregistered Jar2Exe” Bisa Diatasi dengan Patch Terbaru?

Ya, error ini dapat sepenuhnya diatasi dengan mengunduh dan menerapkan patch update terbaru dari DJP. Patch tersebut memperbarui file executable e-Faktur sehingga lisensi Jar2Exe yang digunakan menjadi valid dan aplikasi dapat berjalan tanpa kendala.

 

Kesimpulan

Error "Unregistered Jar2Exe" pada aplikasi e-Faktur 4.0 disebabkan oleh lisensi Jar2Exe yang tidak valid atau kadaluwarsa. Untuk mengatasinya, pengguna perlu mengun duh dan menginstal patch update terbaru dari DJP, serta mengganti file aplikasi lama dengan versi terbaru. Melakukan pembaruan ini akan memastikan aplikasi berjalan dengan lancar tanpa error dan mempermudah proses pelaporan pajak elektronik. Bagi bisnis owner yang sedang mencari layanan konsultan pajak terbaik untuk mengurusi kesulitan Masalah Perpajakan lainnya, kwa-consulting.id merupakan pilihan yang tepat. Alasannya karena layanan konsultan pajak ini sudah berpengalaman dan terpercaya. Selain itu, juga memiliki rekam jejak yang baik.Yuk buruan konsultasi dengan kami, tunggu apa lagi??

Simak Batas dan Cara Pembetulan SPT Tahunan

Pembetulan SPT pajak diperlukan ketika ada koreksi fiskal maupun adanya kekeliruan dalam pengisian SPT Tahunan. Kapan batas pembetulan SPT Tahunan?

Direktorat Jenderal Pajak (DJP) memberikan pelonggaran kepada wajib pajak yang membutuhkan waktu lebih lama guna menyampaikan SPT pajak yang benar.

Tapi bukan tanpa syarat. Selain ada ketentuan yang berlaku dalam melakukan pembetulan SPT pajak, juga ditetapkan batas akhir pembetulan SPT.

Kapan itu? Simak penjelasannya di bawah ini, KWA Consulting  akan mengulasnya untuk Anda agar proses pelaporan SPT pajak dapat berjalan lancar.


Tentang Pembetulan SPT

Sesuai Undang-Undang No. 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, wajib pajak dapat melakukan pembetulan SPT yang sebelumnya telah disampaikan.

Namun pembetulan SPT tersebut hanya dapat dilakukan selama Ditjen Pajak belum melakukan pemeriksaan.

Sehingga apabila DJP telah menerbitkan Surat Pemeriksaan, maka wajib pajak tidak memiliki hak untuk melakukan pembetulan SPT yang sebelumnya telah dilaporkan.

Pemeriksaan terjadi ketika Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Pajak (SP3) telah disampaikan kepada wajib pajak, wakil, kuasa, pegawai/anggota keluarga wajib pajak yang telah dewasa.

Tindakan pemeriksaan pajak pada prinsipnya dilaksanakan dalam rangka untuk menerbitkan Surat Ketetapan Pajak.

Dalam hal pembetulan SPT Tahunan, maka apabila DJP telah menyampaikan Surat Pemberitahuan Hasil Verifikasi, meskipun belum memeriksa bukti permulaan, WP tidak lagi dapat melakukan pembetulan SPT.

“Terkait pembetulan SPT, Wajib Pajak dapat membetulkan SPT yang telah disampaikan jika DJP belum melakukan tindakan Pemeriksaan ataupun Pemeriksaan Bukti Permulaan.” –Cuit DJP dalam Tweet X @kring_pajak seperti dikutip.

 

Syarat Pembetulan SPT

Ketentuan dan syarat pembetulan SPT sebagaimana diatur dalam Pasal 20 Peraturan Menteri Keuangan No. 9/PMK.03/ 2018 tentang Perubahan atas PMK No. 243/PMK.03/2014 tentang Surat Pemberitahuan (Spt), s.t.d.t.d. PMK No. 18/PMK.03/2021 tentang Pelaksanaan UU Cipta Kerja, yakni:

  • DJP belum menerbitkan surat Pemeriksaan
  • DJP belum menerbitkan surat pemberitahuan Pemeriksaan Bukti Permulaan secara terbuka
  • Pernyataan tertulis dengan cara memberi tanda pada tempat yang tersedia dalam SPT yang menyatakan bahwa wajib pajak membetulkan SPT

Baca Juga: Metode Perhitungan Pajak Penghasilan Pribadi

 

Batas Pembetulan SPT Tahunan

Batas akhir pelaporan SPT Pajak Tahunan setiap tanggal 31 Maret untuk WP Orang Pribadi (OP) dan 30 April untuk WP Badan.

Sedangkan batas akhir waktu lapor pajak masa berbeda-beda tergantung jenis pajaknya. Merujuk Pasal 8 ayat (1) UU KUP, tidak ada batasan waktu pembetulan SPT selama Dirjen Pajak belum melakukan pemeriksaan.

Namun apabila dalam pembetulan SPT yang dilakukan ternyata mengalami rugi atau lebih bayar, maka batas pembetulan SPT paling lama 2 tahun sebelum daluwarsa pendapatan.

Kemudian sesuai Pasal 20 ayat (4) PMK 9/2018, wajib pajak dapat membetulkan SPT Tahunan dalam jangka waktu 3 bulan setelah menerima Surat Keputusan Pembetulan.

Jangka waktu pembetulan 3 bulan ini jika wajib pajak menerima Surat Keputusan Pembetulan untuk Tahun Pajak sebelumnya atau beberapa Tahun Pajak sebelumnya, yang menyatakan rugi fiskal yang berbeda dengan rugi fiskal yang telah dikompensasikan dalam SPT Tahunan yang akan dibetulkan tersebut.

 

Penerbitan Surat Keputusan Pebetulan

Setelah wajib pajak menyampaikan pernyataan tertulis pembetulan SPT, berikutnya Ditjen Pajak akan menerbitkan Surat Keputusan Pembetulan.

Dalam Pasal 1 angka 29 Peraturan Pemerintah No. 50 Tahun 2022 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan, yang dimaksud Surat Keputusan Pembetulan adalah:

“Surat keputusan yang membetulkan kesalahan tulis, kesalahan hitung, dan/atau kekeliruan penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undangan perpajakan yang salah satunya terdapat dalam Surat Keputusan Pembetulan.”

Aturan itu menegaskan kembali bahwa batas waktu WP dapat melakukan pembetulan SPT Pajak adalah sepanjang belum dilakukan tindakan pemeriksaan, verifikasi dalam rangka menerbitkan Surat Ketetapan Pajak, dan pemeriksaan bukti permulaan oleh DJP.

Ketentuan Pembetulan SPT jika Pajak Terutang Lebih Besar

Pembetulan SPT untuk meluruskan ketidakbenaran (kekeliruan) pengisian SPT Masa maupun SPT Tahunan yang telah disampaikan sebelumnya, hanya boleh pada hal-hal berikut ini saja:

  1. Pajak-pajak terutang yang masih harus dibayar menjadi lebih besar
  2. Rugi menjadi lebih kecil, berdasarkan ketentuan perpajakan
  3. Jumlah harta menjadi lebih besar
  4. Jumlah modal menjadi lebih besar

Ketika pembetulan disampaikan dan hasilnya ternyata PPh terutang dinyatakan jauh lebih besar dibanding pelaporan SPT sebelumnya, maka akan dikenakan sanksi dan harus menyampaikan pelaporan pembetulan paling lama 2 tahun setelah dinyatakan lebih atau kurang bayar oleh DJP dan sebelum kedaluwarsa penetapan.

Kedaluwarsa penetapan adalah jangka waktu selama 5 tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak, sebagaimana tertuang dalam Pasal 13 Ayat 1 UU KUP.

Jika masih bingung, simak contoh kasus berikut ini untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas terkait pembetulan SPT yang hasilnya PPh terutangnya lebih besar:

PT AAA menyampaikan pembetulan SPT Tahunan PPh Tahun 2023. Berdasar hasil Pembetulan, dinyatakan pajak penghasilan terutang lebih besar dibanding sebelum dilakukan pembetulan.

Maka batas waktu pembetulan SPT Pajak-nya dapat dilakukan paling lama 2 tahun sebelum daluwarsa penetapan, yakni 3 tahun setelah berakhirnya Tahun Pajak.

Sehingga PT AAA harus membetulkan SPT Tahunan PPh sampai dengan 31 Desember 2026.

 

Sanksi Pembetulan SPT

Berdasarkan UU KUP yang diubah dengan Undang-Undang No. 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), pembetulan SPT yang mengakibatkan utang pajak lebih besar akan dikenakan sanksi administrasi berupa bunga dengan tarif bunga per bulan yang ditetapkan Menteri Keuangan.

1. Pembetulan SPT Masa

Dalam Pasal 8 ayat (2) KUP dalam UU HPP, apabila pembetulan Surat Pemberitahuan Masa mengakibatkan utang pajak menjadi lebih besar, akan dikenakan sanksi administrasi.

Besar sanksi administrasi berupa bunga sesuai tarif bunga per bulan dihitung berdasarkan suku bunga acuan ditambah 5% dan dibagi 12 yang berlaku pada tanggal dimulainya penghitungan sanksi.

Sanksi dihitung sejak saat penyampaian SPT berakhir sampai dengan tanggal pembayaran.

Sanksi ini dikenakan paling lama 24 bulan dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 bulan.

2. Pembetulan SPT Tahunan

Pada Pasal 8 ayat (2a) KUP dalam UU HPP, jika pembetulan SPT Tahunan mengakibatkan utang pajak jadi lebih besar, dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sesuai tarif bunga per bulan diihitung berdasarkan suku bunga acuan ditambah 5% dan dibagi 12 yang berlaku pada tanggal dimulainya penghitungan sanksi.

Besar sanksi dihitung sejak jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran, dan dikenakan paling lama 24 bulan, serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 bulan.

 

Infografis Batas Pembetulan SPT

KESIMPULAN

Sertifikat Elektronik Pajak wajib dimiliki oleh wajib pajak yang berstatus Pengusaha Kena Pajak (PKP) maupun Non-PKP yang melakukan transaksi perpajakan tertentu, seperti pembuatan e-Faktur dan bukti potong. Meskipun EFIN digunakan untuk mengakses layanan pajak online, Sertifikat Elektronik berfungsi untuk otentikasi identitas pengguna dan akses layanan yang lebih spesifik, seperti pembuatan faktur pajak dan pelaporan SPT. Seiring perubahan regulasi, Non-PKP yang terlibat dalam transaksi tertentu kini juga diwajibkan memiliki Sertifikat Elektronik untuk mengakses layanan perpajakan elektronik.

 

KWA Consulting adalah salah satu perusahaan Jasa konsultan Pajak professional di Indonesia yang menyediakan layanan dengan cakupan luas di bidang konsultasi Pajak, Akutansi, Keuangan dan Pembukuan Perusahaan.
Contact Detail
Whatsapp: +62 81808328841
Email: admin@kwa-consulting.id
Podomoro Golf View Tower Dahoma

Jl. Raya Bojong Nangka, Bojong Nangka, Kec. Gn. Putri, Kabupaten Bogor 16963.

Office Hour

Monday - Friday,
08:00 17:00