Info

Menjelang Akhir Tahun, Purbaya Akan Kirimkan Surat Cinta ke WP

 

Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa berencana mengirim banyak surat permintaan penjelasan atas data dan/atau keterangan (SP2DK) kepada wajib pajak pada akhir tahun ini. Topik tersebut menjadi salah satu pembahasan utama media nasional pada hari ini, Senin (17/11/2025).

Pengiriman 'surat cinta' ini menjadi bagian dari upaya pemerintah untuk memastikan para wajib pajak menunaikan kewajiban pembayaran pajaknya pada tahun ini. Sebab, masih ada beberapa wajib pajak pelaku usaha yang belum membayar pajak sesuai dengan besaran yang seharusnya.

"Ada beberapa yang belum bayar secara penuh, akan kita approach. Akan kita datangi supaya mereka bayar pajak tepat waktu. Kita akan kirimkan surat cinta ke mereka supaya bayar tepat waktu. Segala effort diarahkan untuk yang belum bayar pajak, bayar pajak sesuai aturan," ujar Purbaya.

Baca Juga :Serapan Anggaran MBG Sentuh Rp43 Triliun dari Dana Pajak

Tak hanya itu, Purbaya mengatakan pihaknya juga akan terus melakukan penagihan pajak atas 200 wajib pajak yang memiliki tunggakan pajak inkracht senilai Rp60 triliun.

Dari total tunggakan tersebut, Purbaya mengatakan tunggakan pajak senilai Rp20 triliun akan cair pada tahun ini.

Hingga saat ini, total tunggakan pajak yang sudah berhasil dicairkan oleh DJP adalah senilai Rp8 triliun. "Kemungkinan besar tertagih [Rp20 triliun]. Mereka jangan main-main sama kita," ujar Purbaya.

Dengan langkah-langkah di atas, pendapatan negara akan terjaga sehingga defisit anggaran pada akhir tahun tidak akan melebihi threshold yang ditetapkan dalam UU Keuangan Negara, yakni sebesar 3% dari PDB.

Sebagai informasi, realisasi penerimaan pajak hingga akhir September 2025 tercatat baru senilai Rp1.295,3 triliun. Adapun outlook penerimaan pajak pada tahun ini adalah senilai Rp2.076,9 triliun.

Selain topik tersebut, terdapat ulasan tentang peluang memperpanjang periode penerapan skema PPh final dengan tarif 0,5% tanpa batas waktu khusus untuk wajib pajak orang pribadi UMKM. Setelahnya, ada pembahasan soal usulan insentif pajak untuk perusahaan media massa.

Kesimpulan

Dengan adanya rencana penerbitan dan pengiriman SP2DK besar-besaran di akhir tahun ini, diharapkan para bisnis owner dapat lebih tertib dalam memenuhi kewajiban perpajakan. Jika masih bingung, ragu, atau khawatir terkena ‘surat cinta’ dari Purbaya, langsung saja konsultasikan ke kami sekarang! Yuk, buruan konsultasi—sebelum surat itu datang!

Serapan Anggaran MBG Sentuh Rp43 Triliun dari Dana Pajak

Badan Gizi Nasional (BGN) mencatat realisasi anggaran makan bergizi gratis (MBG) naik secara eksponensial menjelang akhir tahun.

Kepala BGN Dadan Hindayana mengatakan realisasi anggaran MBG hingga 11 November 2025 mencapai Rp43,47 triliun, atau 61,23% dari pagu anggaran belanja MBG yang senilai Rp71 triliun.

"Minggu ini masih akan bertambah karena kita masih akan proses beberapa tagihan yang akan segera kita bayarkan di pekan ini, jadi akan melebihi Rp43 triliun," ujar Dadan dalam rapat bersama Komisi IX DPR, Rabu (12/11/2025).

Sebagai gambaran, realisasi belanja MBG hingga akhir kuartal III/2025 tercatat Rp19,38 triliun atau 27,4% dari pagu. Pada Oktober 2025, realisasi belanja MBG tercatat mencapai Rp35,4 triliun atau 49,9% dari pagu.

Ke depan, realisasi anggaran MBG akan terus bertumbuh seiring dengan bertambahnya dapur umum MBG atau satuan pelayanan pemenuhan gizi (SPPG) yang beroperasi dan menyalurkan MBG kepada penerima manfaat.

Saat ini, sudah ada 14.773 SPPG yang sudah beroperasi secara operasional dan 14.189 SPPG yang sedang dalam proses persiapan.

Bila 14.189 SPPG yang sedang dipersiapkan dimaksud resmi beroperasi, akan ada 28.962 SPPG yang beroperasi dan menyalurkan MBG kepada penerima manfaat.

Baca Juga: Pemerintah Siapkan RUU Redenominasi, Rp1.000 Akan Setara Rp1 pada 2027

"Pekan ini kami menerjunkan tim dari pusat untuk menganalisis kesiapan para mitra di lapangan karena banyak yang dalam proses persiapan sudah lebih dari 90 hari belum ada laporan. Kita akan cek, kalau ternyata tidak ada progres maka kami akan delete dan akan buka kesempatan bagi mereka yang serius," tutur Dadan.

 

Kesimpulan

Dengan perkembangan anggaran dan operasional MBG yang terus bergerak cepat ini, diharapkan para pemangku kebijakan dan pelaku usaha dapat memahami dinamika pengelolaan anggaran dan program secara lebih baik. Update terus artikel lainnya kalau masih bingung atau belum paham soal implikasinya. Yuk buruan sebelum makin ketinggalan, tunggu apa lagi??

Kenali Perbedaan Pegawai Tetap dan Tidak Tetap dalam PPh

Status kepegawaian dapat berpengaruh pada ketentuan pajak penghasilan (PPH) Pasal 21. Misal, ketentuan pengenaan PPh Pasal 21 atas penghasilan yang diterima pegawai tetap berbeda dengan pegawai tidak tetap.

Untuk itu, memahami ketentuan pemotongan PPh Pasal 21 untuk pegawai tetap dan pegawai tidak tetap sangat krusial. Salah satu poin yang perlu ditekankan adalah perbedaan pengertian serta karakteristik antara pegawal tetap dan pegawai tidak tetap.

Sebab, karakteristik pegawai tetap dalam konteks PPh sedikit berbeda dengan yang diatur dalam Undang-Undang No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan s.t.d.d UU No. 11/2020 tentang Cipta Kerja (UU Ketenagakerjaan), Hal ini sebagaimana dijelaskan Ditjen Pajak (DJP) melalui buku Cermat Pemotongan PPh Pasal 21/26.

"...Karakteristik pegawai tetap dalam konteks perpajakan memiliki sedikit perbedaan dengan yang diatur dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan)," jelas DJP dalam buku Cermat Pemotongan PPh Pasal 21/26, dikutip pada Kamis (6/11/2025).

Perincian pengertian serta karakteristik pegawai tetap dan pegawai tidak tetap dalam konteks PPh pun telah diatur dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh) dan Peraturan Menteri Keuangan Republik (PMK) 168/2023.

Baca Juga : PPh 21 Harus Diterima Penuh oleh Karyawan, Bukan Dipegang Perusahaan

Merujuk Pasal 1 angka 10 PMK 168/2023, pegawai tetap adalah pegawai yang menerima atau memperoleh penghasilan secara teratur, termasuk anggota dewan komisaris dan anggota dewan pengawas, serta pegawai yang bekerja berdasarkan kontrak untuk suatu jangka waktu tertentu sepanjang pegawai yang bersangkutan bekerja penuh dalam pekerjaan tersebut.

Berdasarkan pengertian tersebut, kategori pegawai tetap dalam konteks PPh dilihat berdasarkan pada 3 karakteristik. Pertama, pegawai tersebut memperoleh penghasilan secara teratur, tidak dipengaruhi oleh jumlah hari bekerja atau penyelesaian pekerjaan.

Kedua, pegawai tersebut bekerja secara penuh dalam pekerjaan tersebut. Ketiga, pegawai tersebut bekerja berdasarkan kontrak/kesepakatan/perjanjian tertulis/tidak tertulis/menduduki jabatan tertentu.

"Dengan demikian, pegawai outsourcing pun dapat dikategorikan sebagai pegawai tetap secara perpajakan jika memenuhi ketiga karakteristik tersebut," terang DJP dalam buku Cermat Pemotongan PPh Pasal 21/26. Simak 'Apa Itu Pegawai Tetap dan Pegawai Tidak Tetap dalam PPh Pasal 21?'

Sementara itu, berdasarkan Pasal 1 angka 11 PMK 168/2023, pegawai tidak tetap adalah pegawai, termasuk tenaga kerja lepas, yang hanya menerima penghasilan apabila pegawai yang bersangkutan bekerja, berdasarkan jumlah hari bekerja, jumlah unit hasil pekerjaan yang dihasilkan, atau penyelesaian suatu jenis pekerjaan yang diminta oleh pemberi kerja.

Di sisi lain UU Ketenagakerjaan menggunakan istilah pekerja, alih-alih pegawai. Dalam UU Ketenagakerjaan, penggolongan pekerja mengacu pada perjanjian kerja. Ada 2 status pekerja, yaitu perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) dan perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT).

Merujuk UU Ketenagakerjaan, PKWT merupakan perjanjian kerja yang hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu. Adapun PKWT tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap.

PKWT juga dapat diperpanjang atau diperbaharui. Secara ringkas, umumnya PKWT merupakan perjanjian kerja yang mengikat karyawan kontrak dan pekerja lepas, sedangkan PKWTT merupakan perjanjian kerja yang mengikat karyawan tetap.

 

Kesimpulan

Dengan adanya penjelasan mengenai perbedaan pegawai tetap dan pegawai tidak tetap dalam PMK 168/2023, diharapkan teman bisnis dapat lebih paham dalam melakukan pemotongan PPh Pasal 21 secara tepat sesuai ketentuan.

Perbedaan status kepegawaian ini penting agar tidak salah dalam perhitungan dan pelaporan pajak. Jika teman bisnis masih bingung atau ragu dalam menerapkan aturan PPh Pasal 21 di perusahaan, langsung saja konsultasikan ke KWA Consulting! Yuk, buruan konsultasi sekarang, biar urusan pajak jadi lebih mudah dan aman!

 

Pemerintah Siapkan RUU Redenominasi, Rp1.000 Akan Setara Rp1 pada 2027

 

Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa berencana merampungkan kebijakan redenominasi rupiah, yaitu penyederhanaan nominal uang dari Rp1.000 menjadi Rp1.

Kebijakan tersebut telah ditetapkan dalam Rencana Strategis Kementerian Keuangan Tahun 2025-2029 melalui penerbitan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 70 Tahun 2025 pada 10 Oktober 2025."RUU tentang Perubahan Harga Rupiah (Redenominasi) merupakan RUU luncuran yang rencananya akan diselesaikan pada 2027," tulis aturan tersebut, yang dikutip Minggu, 9 November 2025.

Baca Juga : PPh 21 Harus Diterima Penuh oleh Karyawan, Bukan Dipegang Perusahaan

Redenominasi ini tidak akan merugikan masyarakat karena nilai uang terhadap barang atau jasa tidak berubah, melainkan membuat sistem keuangan nasional lebih efisien, simple, dan modern.

Redenominasi berbeda dengan sanering. Dalam redenominasi, nilai tukar dan daya beli tetap sama, yang berubah hanya jumlah angka nol di nominal rupiah.

Sebagai contoh, harga Seporsi Bakso yang semula Rp10.000 akan menjadi Rp10 setelah redenominasi. Nilainya tetap setara, hanya tampilan nominalnya yang disederhanakan.

 

Mengutip dari siaran pers Bank Indonesia, wacana redenominasi rupiah sebenarnya sudah muncul sejak 2010, namun belum terealisasi karena berbagai pertimbangan. Kini, di bawah kepemimpinan Purbaya, rencana tersebut kembali dibahas.

Salah satu alasan Purbaya ingin merealisasikan kerangka aturan redenominasi ialah efisiensi perekonomian, sebagaimana terungkap dalam bagian urgensi di PMK 70/2025.

Penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU) Redenominasi diketahui akan dikoordinasikan oleh Direktorat Jenderal Perbendaharaan Kementerian Keuangan sebagai penanggung jawab utama. Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menargetkan penyelesaian kerangka regulasi tersebut pada tahun 2026.

Selain RUU Redenominasi, Purbaya tengah menyiapkan tiga rancangan undang-undang lainnya, yaitu RUU tentang Perlelangan yang ditarget rampung pada 2026, RUU Pengelolaan Kekayaan Negara pada 2026, serta RUU Penilai yang dijadwalkan selesai lebih dahulu pada 2025. 

 

Kesimpulan

Teman bisnis, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa tengah mempersiapkan redenominasi rupiah penyederhanaan nilai nominal dari Rp1.000 menjadi Rp1 tanpa mengubah daya beli masyarakat. Kebijakan ini masuk dalam PMK Nomor 70 Tahun 2025 dan ditargetkan selesai pada tahun 2027.

Tujuannya adalah untuk menciptakan sistem keuangan yang lebih efisien, modern, dan mudah dipahami, sekaligus memperkuat stabilitas ekonomi nasional. Redenominasi ini bukan pemotongan nilai uang, teman bisnis, melainkan penyederhanaan angka agar transaksi dan pelaporan keuangan jadi lebih praktis.

Langkah ini menunjukkan komitmen pemerintah dalam membangun perekonomian yang lebih tertata dan transparan, demi kemudahan dunia usaha dan kenyamanan teman bisnis dalam bertransaksi.

 

PPh 21 Harus Diterima Penuh oleh Karyawan, Bukan Dipegang Perusahaan

PPh Pasal 21 atas gaji pegawai pada sektor industri dan pariwisata yang tidak dipotong karena pemanfaatan fasilitas ditanggung pemerintah (DTP) harus dibayarkan secara tunai kepada pegawai bersangkutan.

Pembayaran secara tunai tersebut juga berlaku meski pemberi kerja memberikan fasilitas tunjangan PPh Pasal 21 ataupun menanggung PPh Pasal 21.

"PPh Pasal 21 DTP...merupakan insentif yang harus dibayarkan secara tunal oleh pemberi kerja pada saat pembayaran penghasilan kepada pegawai tertentu, termasuk dalam hal pemberi kerja memberikan tunjangan PPh Pasal 21 atau menanggung PPh Pasal 21 kepada pegawai," bunyi Pasal 5 ayat (1) PMK 72/2025, dikutip pada Kamis (30/10/2025)Bagi pegawai, pembayaran tunai atas PPh Pasal 21 DTP yang diterima dari pemberi kerja dimaksud tidak diperhitungkan sebagai penghasilan yang dikenai pajak.

Baca Juga : Aturan terbaru soal kelebihan bayar PPh 21 bagi pelaku sektor wisata penerima insentif DTP!

Sebagai informasi, insentif PPh Pasal 21 DTP diberikan kepada pegawai di industri alas kaki, tekstil, pakaian jadi, furnitur, kulit, dan barang dari kulit sejak awal 2025. Khusus untuk pegawai pada sektor pariwisata, insentif mulai berlaku pada Oktober 2025.

Pegawai tetap pada sektor-sektor di atas bisa memperoleh insentif PPh Pasal 21 bila NIK-nya sudah terintegrasi dengan sistem DJP serta memiliki penghasilan bruto tetap dan teratur tidak lebih dari Rp10 juta pada masa pajak Januari 2025.

Sementara itu, pegawai tidak tetap bisa memperoleh fasilitas PPh Pasal 21 DTP jika NIK-nya sudah terintegrasi dengan sistem DJP dan memiliki upah harian tidak lebih dari Rp500.000. Batasan upah harian ini berlaku apabila pegawai tidak tetap menerima upah secara harian, mingguan, satuan, atau borongan.

Jika pegawai tidak tetap menerima upah secara bulanan maka pegawai dimaksud bisa memperoleh fasilitas PPh Pasal 21 DTP bila upahnya tak melebihi Rp10 juta per bulan.

 

Kesimpulan
Teman bisnis perlu paham bahwa PPh Pasal 21 Ditanggung Pemerintah (DTP) wajib dibayarkan secara tunai langsung kepada pegawai, meskipun perusahaan sudah memberikan tunjangan atau menanggung PPh 21 tersebut. Artinya, insentif ini adalah hak penuh pegawai, bukan milik perusahaan.

Agar pengelolaan pajak dan pembukuan usaha tetap tertib serta sesuai aturan terbaru seperti PMK 72/2025, urus pembukuan lebih mudah bersama KWA Consulting solusi praktis untuk bisnis yang patuh pajak dan efisien.

Aturan Terbaru Soal Kelebihan Bayar PPh 21 bagi Pelaku Sektor Wisata Penerima Insentif DTP!

Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 72 Tahun 2025 juga mengatur ketentuan khusus mengenai penerapan fasilitas PPh Pasal 21 yang ditanggung pemerintah (DTP) bagi pegawai tetap di sektor pariwisata.

Aturan ini menjelaskan tata cara pengembalian dan kompensasi apabila jumlah PPh Pasal 21 yang telah dipotong serta mendapatkan insentif DTP ternyata melebihi pajak terutang dalam satu tahun pajak.

Untuk pegawai sektor pariwisata, pengembalian hanya dapat dilakukan atas kelebihan PPh Pasal 21 yang tidak termasuk dalam bagian yang telah ditanggung pemerintah.

Baca Juga : PPh Final 0,5% Diperpanjang, Tantangan Pengawasan Semakin Besar

"Dikecualikan dari ketentuan ayat (5), untuk pegawai tetap tertentu dari pemberi kerja tertentu... yang PPh Pasal 21 nya telah dipotong dan telah diberikan insentif dalam tahun kalender yang bersangkutan lebih besar dari PPh Pasal 21 yang terutang untuk 1 tahun pajak, kelebihan PPh Pasal 21 dapat dikembalikan oleh pemberi kerja kepada pegawai tetap bersangkutan hanya sebesar bagian kelebihan pemotongan pajak yang tidak DTP," bunyi Pasal 5 ayat (5a) PMK 72/2025, dikutip Rabu (29/10/2025).

Bagi pemberi kerja sektor pariwisata, kelebihan pembayaran PPh Pasal 21 yang dapat dikompensasikan ke masa pajak berikutnya juga hanya sebesar bagian kelebihan pembayaran PPh Pasal 21 yang tidak mendapatkan fasilitas DTP.

Kelebihan pembayaran PPh Pasal 21 oleh pemberi kerja sektor pariwisata bisa dikompensasikan sepanjang pemberi kerja membuat dan menyampaikan kertas kerja penghitungan lebih bayar serta bukti potong BP21 tambahan atas bagian yang ditanggung pemerintah.

Contoh, Tuan Angga bekerja pada PT Belibis di bidang perhotelan. Tuan Angga berstatus K/3 dan memiliki gaji tetap senilai Rp9 juta per bulan. Meski demikian, Tuan Angga sempat memperoleh bonus sebesar 2 kali gaji pada Maret 2025.

Berikut rekapitulasi penghasilan Tuan Angga:

Mulai Oktober 2025, pemerintah memberikan fasilitas PPh Pasal 21 DTP untuk pekerja sektor pariwisata. Tuan Angga memenuhi kriteria untuk mendapatkan.

fasilitas DTP karena penghasilan bruto tetapnya pada Januari 2025 tidak lebih dari Rp10 juta.

Berikut rekapitulasi penghitungan PPh Pasal 21 bagi Tuan Angga:

Pada tabel dimaksud, diketahui terdapat pemanfaatan fasilitas PPh Pasal 21 DTP pada Oktober dan November 2025 masing-masing senilai Rp112.500. PPh Pasal 21 DTP yang diterima oleh Tuan Angga pada kedua bulan tersebut adalah senilai Rp225.000.

Adapun pada masa pajak Desember 2025 diketahui terdapat kelebihan pemotongan PPh Pasal 21 senilai Rp1.425.000. Dalam kasus ini, kelebihan pemotongan PPh Pasal 21 senilai Rp1.425.000 tidak dikembalikan seluruhnya kepada Tuan Angga

Kelebihan pemotongan PPh Pasal 21 yang dikembalikan kepada Tuan Angga adalah sebesar bagian kelebihan yang tidak mendapatkan fasilitas DTP, yakni Rp1.425.000 Rp225.000 Rp1.200.000.

Kelebihan di atas bisa dikompensasikan oleh PT Belibis selaku pemberi kerja ke masa pajak berikutnya sepanjang PT Belibis membuat kertas kerja dan bukti potong tambahan sesuai dengan Pasal 5 ayat (6b) PMK 72/2025. (rig)

 

Kesimpulan

PMK Nomor 72 Tahun 2025 mengatur bahwa jika terjadi kelebihan pemotongan PPh Pasal 21 bagi pegawai sektor pariwisata yang mendapat insentif DTP, maka jumlah yang dikembalikan kepada pegawai atau dikompensasikan oleh pemberi kerja tidak termasuk bagian yang telah ditanggung pemerintah (DTP). Kelebihan yang dikembalikan/dikompensasikan hanya sebesar selisih antara total kelebihan pemotongan dikurangi total insentif DTP yang telah diterima. Tujuannya adalah memastikan insentif DTP yang telah diberikan tidak dibatalkan atau dikembalikan lagi kepada negara melalui mekanisme pengembalian kelebihan pajak akhir tahun. Pemberi kerja wajib membuat dokumentasi tambahan (kertas kerja dan bukti potong) untuk mengkompensasi kelebihan tersebut.

KWA Consulting adalah salah satu perusahaan Jasa konsultan Pajak professional di Indonesia yang menyediakan layanan dengan cakupan luas di bidang konsultasi Pajak, Akutansi, Keuangan dan Pembukuan Perusahaan.
Contact Detail
Whatsapp: +62 81808328841
Email: admin@kwa-consulting.id
Podomoro Golf View Tower Dahoma

Jl. Raya Bojong Nangka, Bojong Nangka, Kec. Gn. Putri, Kabupaten Bogor 16963.

Office Hour

Monday - Friday,
08:00 17:00